chapter 3

11.3K 981 16
                                    

Harvy kembali dirawat di rumah sakit. Sebenarnya ia tak suka berada di kamar perawatan ini. Ada banyak hal yang membuatnya tak ingin berada di tempat ini. Bau rumah sakit selalu membuatnya mual, ia juga punya kenangan masa kecil yang tak ingin lagi ia kenang dan juga ia tak tahu bagaimana harus membayar biaya rumah sakit ini yang tentu saja tak sedikit jumlahnya.

Harvy bisa mengesampingkan biaya rumah sakit, ada orang yang berbesar hati menanggung semua biaya rumah sakitnya. Ia tak tahu atas motif apa orang itu rela mengeluarkan uang banyak untuk orang yang tak ia kenal seperti dirinya. Mungkinkah benar hanya kebaikan hati ataukah ini adalah harga yang ia bayar atas nyawa Harvy yang ingin ia buang sia-sia?

Harvy ingat ucapan pria yang tak ia kenali itu, “kalo kamu menyerah dengan hidup kamu, berikan saja hidup kamu untukku. Aku beli, seberapa mahal pun kamu menjualnya.”

Apakah itu berarti bahwa sekarang hidupnya telah berada ditangan pria yang mengaku sebagai dokter itu?

Rasanya tidak mungkin. Bagaimana bisa seseorang yang telah membeli nyawanya, sekalipun tak pernah datang mengunjunginya.

"Suster, kapan aku bisa keluar?" Tanya Harvy kepada perawat yang datang mengecek kondisinya sore itu. Ini sudah yang kesekian kalinya ia bertanya dengan pertanyaan yang sama. Kepada dokter ataupun kepada perawat. Setiap kali dokter ataupun perawat masuk ke ruang perawatannya, ia selalu melontarkan pertanyaan itu yang membuat suster yang ia tanya sore itu hanya tersenyum lalu memberikan jawaban yang sama.

"Kalo mas sudah sembuh." Jawab perawat itu dengan sabar.

"Oh iya suster, dokter yang nolongin aku kemarin kerja di sini juga?" Tanya Harvy kemudian. Ia penasaran apakah Devan kerja di rumah sakit ini juga. Devan hanya mengatakan jika ia seorang dokter, entah ia dokter di rumah sakit ini atau di rumah sakit lain. kala itu, tak ada satu atribut pun yang ia gunakan Devan yang menandakan bahwa ia adalah dokter di rumah sakit ini.

"Kenapa? Kamu mencari aku?" Devan muncul tiba-tiba dari balik pintu. Sekarang, tanpa ia jawab pun, jawabannya sudah jelas dengan apa yang dikenakan oleh Devan saat itu. Ia mengenakan jas dokternya sebagai identitasnya bahwa ia dokter di rumah sakit itu.

“Gimana keadaannya suster?” tanyanya kepada perawat yang baru saja memeriksa keadaan Harvy. Ia mengambil catatan medis yang dibawa perawat itu. Dari catatan medis itu, seharusnya kondisi Harvy sudah lebih baik sekarang.

“Terima kasih yah.” Ucapnya mengembalikan catatan itu kembali.

Perawat itu kemudian keluar, sekarang hanya ada mereka berdua di ruangan itu. Untuk orang yang tidak saling mengenal, entah bagaimana mereka akan saling menyapa?

“Nih, punya kamu.” Devan mengeluarkan dompet dan ponsel dari dalam sakunya. Itu milik Harvy yang ia ambil saat kecelakaan terjadi. Entah karena alasan apa, ia baru mengembalikannya.

Harvy menerimanya tanpa berucap kata, ucapan terima kasih pun tak ia ucapkan. Sepertinya ia masih dendam karena Devan telah memaksanya untuk berada di ruang perawatan ini. Atau mungkin, ia hanya tidak ingin mengakrabkan diri kepada orang yang tak ia kenal sama sekali.

“Kamu gak coba hubungin keluarga kamu?” tanya Devan melihat Harvy meletakkan ponselnya begitu saja. Sepengetahuan Devan, belum ada satupun keluarga yang menjenguk Harvy. Sebenarnya ia telah mencoba mencari kontak keluarga Harvy di ponsel pria itu, tetapi satupun kontak yang tersimpan di ponselnya, riwayat pesannya pun tak ada.

"Aku gak punya keluarga." jawabnya memalingkan muka, ada raut kesedihan yang coba ia sembunyikan.

"Oh sorry." Devan meminta maaf. Devan tak tahu menahu masalah hidup Harvy, dia adalah orang asing yang kebetulan saja jatuh di depan mobilnya. Tak ada alasan baginya mencampuri urusan pria misterius itu. Dan karena urusannya telah selesai, dompet dan ponsel telah ia kembalikan, tak ada alasan baginya untuk tinggal lagi di ruangan itu.

Fall In Love by AccidentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang