chapter 9

7.1K 722 44
                                    

Devan menatap refleksi wajahnya di depannya cermin. Ia terpaku cukup lama sambil mengusap bibirnya. Ciuman Harvy kemarin masih berbekas hingga ia bangun dari tidurnya. Ciuman itu terasa manis, bibirnya terasa lembut, hal yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Yah, ini adalah ciuman pertama Devan. Sangat cemen memang, padahal ia bukan anak belasan tahun lagi, atau bahkan lelaki yang baru beranjak dewasa.

Devan meletakkan tangannya di dada, merasakan degupan jantungnya yang kian cepat. Apa yang sedang ia rasakan? Mengapa ia sangat terlena dengan ciuman kemarin?

Devan kemudian menggelengkan kepala, mengusir perasaan yang entah ini apa. Ia berusaha meyakinkan diri bahwa ini hanyalah perasaan sesaat. Ia harus melupakan kejadian kemarin, kejadian itu hanyalah kesalahan, apalagi saat tahu alasan Harvy menciumnya.

"Jadi tadi itu pacar kamu?" Tanya Harvy saat mereka di perjalanan pulang dari supermarket.

"Mmm." Jawab Devan hanya bergumam.

"Sorry yah atas kelancanganku tadi." Harvy meminta maaf kembali, mengungkit kembali kejadian yang terjadi beberapa waktu lalu, "aku pikir kamu....." Ucapannya terhenti, ia merasa tak enak hati untuk mengatakannya.

"Apa?" Desak Devan menoleh kearahnya.

"Sorry." Ucapnya lagi meminta maaf tanpa melanjutkan perkataannya tadi.

"Kamu sendiri gimana?" Tanya Devan kemudian setelah diam beberapa saat.

"Aku tak keberatan jika kamu menginginkannya." Jawab Harvy.

Dari apa yang ia tangkap dari ucapan Harvy itu bahwa Harvy menciumnya hanya karena kesalahan saja, kesalahan mengartikan apa yang sebenarnya ia inginkan dari lelaki itu.

Devan kemudian menghela nafas berat, tak ada gunanya mengingat kejadian kemarin yang hanya sebatas kesalahan saja. Yang harus ia lakukan sekarang segera bergegas dan bersiap menghadapi realita seakan kejadian kemarin tak pernah terjadi dan telah terhapus di ingatannya.

Hari ini Devan masih libur, namun ia tetap bangun lebih pagi seperti kebiasaannya, berolahraga, menyiapkan sarapan dan ia masih punya kewajiban lain hari ini, ia harus mengantar Harvy menuju tempat kerjanya.

"Biar aku yang nyetir." Ucap Harvy meminta kunci mobil ke Devan.

Devan tak protes, ia memberikan kunci mobilnya ke Harvy, sekalian ia ingin menguji, bagaimana kemampuan mengemudi Harvy.

Harvy cukup tenang mengemudi untuk seorang gangster, ia tak ugal-ugalan, iapun masih terlihat sabar walau sedang terjebak macet. Itu menjadi nilai plus untuk Devan hingga membuat senyuman  di bibirnya merekah.

Harvy tahu, apa yang membuat senyuman itu merekah. "Mulai sekarang, kalo mau kemana-mana, biar aku yang nyupirin kamu. Anggap saja, aku sopir kamu." Ucap Harvy.

Devan tak keberatan, mungkin dengan begitu, Harvy tak merasa terbebani lagi dengannya atau alasan lainnya karena ia ingin lebih dekat dengan di belakang kemudi itu.

"Kenapa kamu menatapku?" Tanya Harvy mendapati Devan yang terus menatapnya.

"Eng...enggak." ucap Devan langsung membuang muka. Ingatan Devan lagi-lagi teralihkan dengan ciuman kemarin saat melihat bibir Harvy. Mungkin karena itu ciuman pertamanya, hingga ingatannya sulit menghapus bagaimana lembutnya bibir Harvy saat menciumnya.

Sekali lagi, Devan melirik ke arah Harvy. Satu yang membuatnya kesal bahwa lelaki itu seperti tak punya rasa bersalah lagi, ia seakan telah melupakan saat ia mencium dirinya. Ia benci karena keresahan ini hanya dimiliki olehnya.

Akhirnya, mereka telah sampai di cafe. Seharusnya ini sudah terhitung telat untuk seorang karyawan. Namun bisa membuat sanksi dengan mereka, Harvy datang bersama pemilik kafe ini.

Fall In Love by AccidentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang