O1.

30 21 8
                                    

Kansa mempertajam pandangannya sambil menahan sakit di kepalanya. Ia mencoba mengedipkan mata berkali-kali untuk memastikan keberadaannya saat ini.

"Di mana ini? Bukannya gue udah meninggal? Kenapa masih ada di sini, masih hidup lagi?" Pertanyaan itu mulai bergelayut di benak Kansa.

Ia memperhatikan setiap sudut dengan seksama, meneliti setiap detail bangunan itu dengan teliti.

"Ini pasti rumah sakit. Yup! Dari gaya arsitekturannya, mirip banget sama rumah sakit. Tapi kenapa gue ada di sini? Siapa yang bawa? Ah, pusing!" gerutu Kansa sambil menyilangkan tangannya.

Pintu kamar terbuka, dan seorang pria berjas putih memasuki ruangan. Ia dengan ramah mendekati Kansa yang sedang bingung. "Sudah sadar? Bagaimana perasaanmu? Ada yang terasa sakit?"

Kansa merintih kesakitan sambil memegangi kepalanya, "Kepala saya kaya mau pecah, Dok. Sakit banget."

"Itu hal yang wajar setelah kamu jatuh dari tangga. Kepalamu pasti terasa sakit. Nah, sekarang kamu perlu istirahat dulu," saran sang Dokter.

Kansa menggeleng keras. Ia yakin bahwa ia baru saja jatuh dari lift, bukan tangga! "Dokter! Saya jatuh dari lift, bukan tangga! Jangan mengada-ada deh!"

Dokter tidak tahu harus berkata apa, ia sendiri mengernyitkan keningnya. "Sejak kapan kamu jatuh dari lift? Kamu jatuh dari tangga, Kansa. Jangan bersikeras."

Sebelum Kansa bisa menjawab, pintu ruangan terbuka perlahan, dan seorang gadis dengan mata sembab masuk ke dalam. Suaranya tercekat ketika ia melihat Kansa. "Kansa..."

"Akhirnya kamu sadar juga! Aku khawatir banget." bisiknya dengan suara yang terisak.

Kansa merasa hatinya tersentuh. Segala kebingungannya semakin memuncak. Berada di rumah sakit, disangka jatuh dari tangga, dan kini... siapa gadis ini yang begitu peduli padanya?

"Siapa kamu?" tanya Kansa sambil menunjuk gadis bermuka sembab di depannya.

Gadis itu menatap dokter dengan penuh tanya, "Dokter, sahabat saya kenapa?" teriaknya panik.

Dokter yang sedang menangani Kansa mulai memeriksa keadaannya. Lalu, ia beralih kepada gadis yang tadi bertanya.

"Kansa mengalami amnesia akibat benturan keras di kepalanya. Saya minta maaf dan izinkan saya pergi," ucapnya lalu meninggalkan mereka berdua.

"Apanya yang amnesia? Gue masih ingat nama sendiri, kok. Itu dokter palsu ya! Gue yakin," kesalnya.

Gadis itu terdiam sejenak, lalu dengan suara lembut menjawab pertanyaan Kansa, "Ini aku, Adinda Cempaka. Sahabat kamu."

Kansa merasakan kebingungan yang melanda dirinya. Dia ragu dengan jawaban yang pas. Bagaimana mungkin dia bisa mengingat segalanya sekarang? Dia bahkan tidak tau bagaimana bisa tiba-tiba di rumah sakit.

"Gue nggak tahu, mungkin... gue emang nggak mengingat apapun. Gue bahkan nggak mengingat siapa elo."

Adinda menatap Kansa dengan tatapan penuh perhatian. Suaranya penuh kekhawatiran saat dia bertanya, "Tapi ini aneh, kan? Dokter bilang kamu mengalami amnesia, terus gimana kamu bisa mengingat nama kamu sendiri? Bahkan kamu tahu kalau nama kamu Kansa."

Pertanyaan itu membuat Kansa kesulitan menjawab. Dia benar-benar terdiam, tak tahu bagaimana harus merespon.

"Dokter tadi panggil dengan sebutan 'Kansa' kan?"

Adinda mengangguk dengan penuh rahasia, "Iya, Kansava." Sorot matanya penuh misteri.

Kansa terpaku, terdiam. Apa yang harusnya ia katakan pada gadis misterius di hadapannya ini coba? Bagaimana mungkin Kansa sama sekali tidak mengenal Adinda?

"Eh, Adinda, kamu bisa pergi sebentar? Gue butuh waktu sendiri." bisik Kansa dengan rasa bingung yang meliputi dirinya.

Adinda menyetujui dengan tatapan yang lembut. "Okey, tapi kalau kamu butuh apapun panggil aja aku. Aku akan selalu ada untuk kamu 24/7." ucap Adinda seraya meninggalkan Kansa dengan kedamaian di wajahnya.

Setelah kepergian Adinda, Kansa meremas-remas pelipisnya. "What The Fu*k! Apa maksudnya coba?!"

Pintu ruangan dengan pelan bergeser, tanda kehadiran seseorang yang memasuki ruangan. Kansa menolehkan kepalanya, dan matanya bertemu dengan sosok yang baru saja memasuki ruangan itu.

"Kansa... kamu sudah sadar, Dek?" suara lembut itu meluncur ke telinganya seperti sentuhan kapas yang lembut.

Seorang pria dengan tinggi 180 cm perlahan muncul. Matanya berkeliling ruangan, dia duduk di samping Kansa sambil memegang erat tangannya.

Kansa merasa hatinya berdebar sendiri, suara pria itu begitu lembut seperti malaikat yang menyapa.

"Dek? abang di sini, kamu inget nggak?" tanya sosok itu dengan suara lirih.

Kansa menggeleng, ia tidak bisa mempercayai dirinya sendiri karena bisa melupakan sosok pria tampan dan lembut ini.

Dengan lembut, pria itu mengelus rambut cokelat Kansa. Tatapannya yang penuh kasih sayang membuat Kansa merasa tersentuh dan berdebar sendiri.

"Nama abang Arka, dulu kamu biasa manggil abang itu Aka, bahkan sejak kamu masih kecil,"

Kansa merasa tersentuh mendengar Arka berbicara dengan penuh perasaan.

"Kamu selalu berbagi curhat sama abang, memercayakan semua keluh kesah kamu ke abang, dan abang rindu, Sa. Abang merindukan omelan kecil itu. Kata kamu cuma abang yang bisa jadi tempat mengeluarkan segala unek-unek. Ayo pulang, Sa, jujur  abang rindu sama kamu." Arka melanjutkan dengan senyuman kecil.

Hati Kansa menjadi hangat setelah mendengar Arka mengungkapkan perasaannya, ia terpaku pada sosok dengan mata biru yang begitu dekat dengan dirinya.

"Maaf, abang. Tapi aku sama sekali nggak inget apapun tentang kita." Kansa berkata jujur.

Arka memeluk Kansa erat dalam dekapannya, Kansa bisa merasakan getaran kecil di punggung Arka, tampaknya pria itu menangis.

Dan saat senja yang membingungkan itu mereda, mereka berdua saling merangkul dalam pelukan hangat yang mempererat ikatan mereka sebagai kakak dan adik.

Arka dengan tekad yang bulat berjanji pada dirinya sendiri bahwa ia akan mengembalikan kenangan masa lalu Kansa. Dia tidak akan membiarkan Kansa menanggung beban itu sendirian.

Silent and Lost Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang