Hubungan dua manusia ini bukan cinta biasa itu tarik ulur antara kendali dan ketakutan, antara luka dan kenyamanan.
Ketika rahasia masa lalu, tekanan keluarga, dan luka-luka tersembunyi mulai terkuak, keduanya terjebak dalam hubungan yang tak jelas...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Di hari Minggu yang damai itu, rumah terasa lebih sunyi dari biasanya. Udara dari jendela yang terbuka membawa semilir angin yang membuat tirai menari perlahan. Viona memilih duduk santai di sofa ruang tengah dengan sebuah novel tebal di tangannya dan juga lagu yang sedang terputar dari ponselnya membuat suasana jadi lebih nyaman.
Matanya serius menelusuri baris demi baris cerita, bibirnya sesekali menyungging senyum kecil, hanyut dalam dunia fiksi yang sedang ia baca.
Tapi tentu saja, ketenangannya itu tak berlangsung lama.
Revan—manusia pengganggu yang akhir-akhir ini entah kenapa jadi lebih sering nongkrong di rumahnya dari pada diluar.
Revan ikut duduk di samping Viona, lalu dengan seenaknya merebahkan badannya, menjadikan paha Viona sebagai bantalan kepala. Sang empunya langsung mengalihkan atensinya dari novel ke wajah Revan yang kini tengah menatapnya dari bawah.
"Ngapain di paha gue? Minggir sana," usir Viona, namun seperti biasa, yang diusir tak pernah tahu diri. Revan malah mencari posisi paling nyaman, membalik badannya dan kini menghadap ke arah perut Viona, membuat gadis itu refleks menahan napas.
"Gawat... jantung gue nggak aman," batinnya panik, berusaha tetap terlihat biasa saja meski dalam hati heboh setengah mati.
"Napas, Na,” ucap Revan yang mengetahui kalau sang empu sedang menahan napas.
Huh
Viona menghembuskan udara panjang ke udara. "Lagian lo ngapain sih, kayak gitu segala?" omelnya pelan.
"Nyaman," jawab Revan singkat, tetap dengan nada datarnya yang khas, seolah posisi mereka sekarang adalah hal biasa.
Viona terdiam, menoleh ke arah lain, memutus kontak mata karena sadar wajah Revan terlalu dekat dan dia sangat tidak kuat kalau harus bertatapan mata terlalu lama.
"Sialan... murahan banget hati gue. Gitu doang, geter," gerutunya dalam hati.
"Lucu," ucap Revan tiba-tiba.
"Gue emang lucu," sahut Viona refleks.
"Bukunya, lucu," tambah Revan pelan membuat Viona langsung mengumpat.
"Sialan,"
Revan terkekeh pelan, matanya masih menatap Viona dari bawah, tatapan yang bikin gadis itu salah tingkah.
"Udah minggir. Kepala lo jangan di paha gue. Gak nyaman."