01. Pria Kesepian

41 7 0
                                    

Menurut mu memiliki mata yang dapat melihat mereka yang tidak dapat dilihat manusia adalah sebuah anugerah atau malah sebuah bencana?

Bagi Vandra Dirgantara itu bisa jadi keduanya. Antara bahagia atau malah menyesalinya. Melihat mereka adalah hal langka yang dimiliki sebagian orang saja. Vandra Dirgantara bahkan di caci maki karena dianggap aneh dengan kemampuan yang dapat melihat mereka yang tak kasat mata.

Vandra Dirgantara biasa di panggil Vandra adalah keturunan dari keluarga Dirgantara yang terakhir. Lahir dari keluarga yang memiliki perjanjian keramat dengan iblis adalah kenangan kelam tersendiri baginya yang membuatnya memiliki kepribadian dingin dan misterius.

Banyak yang mencibirnya karena kemampuannya. Banyak yang bilang dia anak jin lah, anak aneh dan juga yang paling parah dia dibilang anak haram hasil dari bersekutu dengan iblis.

Semakin banyak yang mencibir dirinya semakin pula Vandra menarik dirinya dari pergaulan para manusia tak berperasaan. Bahkan ketika ia sudah duduk di bangku kuliah, memang tidak separah saat sekolah. Tapi tetap saja, tindakan perundungan sangatlah dilarang!! Beruntungnya saja Vandra menguasai ilmu beladiri, sehingga ia tak begitu banyak menerima pembullyan.

Seperti saat ini, disaat jam perkuliahan telah usai, dia lebih suka menyendiri, salah satunya di bawah pohon beringin yang berada di kawasan kampus Sanata Dharma. Ada sebuah pohon beringin yang lumayan besar dengan akar-akarnya yang besar menjuntai. Hampir seluruh mahasiswa selalu bilang. "Jangan pernah mendekati pohon beringin, itu pohon nya wingit (angker)."

Vandra menyukai tempat ini, karena cenderung sepi dan tak banyak mahasiswa yang lewat karena mereka lebih memilih jalan memutar untuk menghindari pohon beringin yang katanya angker. Memang banyak sekali arwah di sini, mulai dari yang baik, ramah hingga yang jahat, semuanya ada disini.

Salah satunya yang Vandra cukup akrab adalah dengan seorang lelaki blesteran pribumi dengan paras tampan seperti warga Eropa, memiliki mata biru, kulit putih, dan rambut kecoklatan. Mirip sekali. Paramudana namanya, dia mati saat era Portugis menguasai Indonesia.

Selain Pram, ada juga arwah lain seperti Ningsih wanita cantik yang mati di tahun 1943 saat Jepang menduduki Indonesia. Ely, gadis berdarah blesteran Indonesia-Belanda yang mati di pancung karena mencintai seseorang budak pribumi.

Ranum, yang merupakan sinden saat era sultan agung Hamengkubuwono VII memimpin. Ia mati karena di tuduh melakukan percobaan pembunuhan terhadap salah satu anggota kerajaan.

"Apa tidak bosan datang terus kemari?" tanya Ranum.

"Tidak, selain tempat ini sepi, aku juga membutuhkan teman seperti kalian," jelas Vandra.

"Jangan begitu, bertemanlah dengan sebangsa mu. Kita berada di dunia yang berbeda, Vandra," jelas Ranum.

Vandra tiba-tiba teringat saat ia pertama kali kemari, saat itu penghuni di pohon ini merasa terganggu dengan kehadirannya. Termasuk Ranum, ia yang paling tidak suka dengan Vandra. Tapi menurut penuturan Ningsih, Ranum seperti itu karena wajah Vandra yang mirip dengan seseorang di eranya.

Saat itu Vandra sedang berbicara dengan Pram dan beberapa arwah lain di bawah pohon beringin. Ningsih saat itu menemui Ranum yang menatap tajam Vandra dari atas gedung.

"Kenapa kamu tidak menyukai Vandra? Dia laki-laki yang baik," tanya Ningsih yang tiba-tiba datang.

"Dia mirip seperti seseorang di masa lalu, aku membencinya!! Sangat sangat membencinya!" Ranum menatap tajam Vandra dengan penuh kebencian, tangannya terkepal kuat.

"Itu hanya masa lalu, Ranum," Ningsih menjelaskan dengan suara yang lembut.

"Siapa yang tau kalau itu keturunannya,"

"Kamu tidak mengetahuinya ya?" tanya Ningsih dengan senyum simpul, air mukanya tampak getir.

"Mengetahui apa?" tanya Ranum yang bingung.

"Dia sudah meninggal." Jawab Ningsih yang membuat Ranum diam terpaku. "Sepuluh tahun setelah kematian mu dia meninggal," jelas Ningsih kembali yang membuat Ranum menangis seketika.

"Kenapa kamu tidak bilang, Ningsih." Ranum menunduk sambil mengigit bibirnya dan meremat jariknya.

"Aku ingin mengatakannya kepadamu, tapi kamu dibutakan kebencian mu sendiri. Aku tentu memahami perasaan mu, jadi aku diam saja. Aku akan mengatakannya nanti saat keadaan mu sudah lebih baik, tolong mengertilah Ranum. Aku hanya tidak ingin kamu menjadi arwah yang dibutakan dendam dan cemburu mu." Ningsih memeluk Ranum, ia juga ikut menangis. Saat itu ia benar-benar dilema. Ia bingung harus berbuat apa.

"Tidak apa-apa, setidaknya aku sudah mengetahui kebenarannya." Ranum mengusap air mata di pipinya. "Terimakasih sudah memberitahu ku."

Ningsih tersenyum lalu melepaskan pelukannya dan menatap lamat-lamat Ranum dengan getir. "Aku harap setelah ini kamu menerima kehadiran Vandra. Dia laki-laki yang baik, lihat saja bagaimana ia berbicara dengan Pram." Dari atas gedung Ningsih menunjuk Vandra yang sedang berbicara dengan Pram di bawah pohon beringin seperti biasanya. "Dia berbeda dengan manusia lain, aku melihat di matanya dia sangat kesepian. Dia tulus berteman dengan kita, dia menganggap kita teman, bukan seperti mereka yang menganggap kita pengganggu. Dia berbeda..."

Ranum mengikuti arah yang di tunjuk Ningsih, saat waktu tak sengaja membuat Vandra menoleh kebelakang. Ia pun baru menyadari sorot mata itu, sorot mata kesepian yang begitu dalam dari sepasang pandangan yang teduh. "Aku perlu waktu," ia bergumam namun masih dapat di dengar oleh Ningsih.

"Baiklah, gunakan sebanyak yang kamu mau," Ningsih memeluk Ranum dan Ranum pun membalas pelukannya.

Pada saat itu Vandra mendengar pembicaraan kedua arwah sejoli itu, meskipun samar ia masih bisa mendengarnya. Vandra hanya tersenyum saat itu.

"Hey!" Vandra tersadar dari lamunannya, Ranum masih berada di sebelahnya dan ada Ningsih di depannya melambai-lambaikan telapak tangannya.

"Kamu melamunkan apa?" tanya Ranum. "Hingga tidak menjawab pertanyaan ku."

Vandra menggeleng. "Tidak ada," jawabnya.

Ningsih tampak memicingkan matanya, ia menelisik wajah Vandra. Tampak ada yang disembunyikan begitu pikirnya.

"Apa kamu memikirkan seorang wanita?" tanya Ningsih dengan mendekatkan wajahnya dengan wajah Vandra. Ranum sontak terkejut bukan main, ia langsung menempel pada Vandra dan memberondong dirinya dengan pertanyaan.

"Benarkah itu? Siapa? Apa dia cantik? Dimana rumahnya? Bagaimana dia? Seperti apa dia? Apakah kalian masih satu universitas? Ohh ini berita yang besar!! ... " Dan bla bla bla.

Ely yang sedang berbicara dengan Pram di atas dahan pohon pun ikut turun bersama dengan Pram.

"Wahh sekarang Vandra bermain rahasia dengan kita." Ely mengerucutkan bibirnya. Lucu. Kemudian menggelayuti lengan Vandra seperti anak kecil "Beri tahu kami! Beri tahu! Beri tahu!"

"Aku penasaran dengan gadis itu," ucap Pram dengan wajah yang nampak berpikir keras. Sontak saja itu membuat Ningsih, Ranum, dan Ely mendekati Pram. Ketiga arwah itu menatap Pram dengan tatapan penuh selidik seolah berkata, "Cepat katakan!! Jangan ada rahasia diantara kita, ya!!!"

"Jangan ngaco deh, Pram!" Vandra gelagapan. Ia hampir lupa bagaimana caranya bernafas.

"Mengaku saja lah, Vandra. Beberapa hari lalu aku melihatmu menemui seorang wanita di kantin," jelas Pram. "Dia kekasih mu, ya?"

Pram menaikan satu alisnya dengan wajah yang menurut Vandra sangat menyebalkan. Ningsih, Ranum dan Ely pun sama. Mereka memasang wajah menyelidik pada Vandra.

"Ahh elah, itu cuma temen. Nggak lebih." Peluh sebiji jagung meluncur mulus dari pelipisnya.

"Yakin?" Para arwah itu berujar serempak.

"Iya lahh." Vandra tersenyum kikuk, lalu mengambil tasnya di tanah. "Udah ahh, pulang dulu ya." Ia langsung pergi, menghindar dari berbagai kemungkinan pertanyaan yang akan di tanyakan oleh teman-teman invisible nya.

.

.

.

TBC


Silence Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang