02. Sosok Penjaga

39 6 0
                                    

Laju motornya membawa Vandra memasuki kawasan perumahan, agak lain memang untuk seorang mahasiswa. Alih-alih tinggal di kos-kosan, ia malah memilih tinggal di perumahan. Alasannya singkat, Vandra tak begitu menyukai keramaian, tak suka di ganggu oleh siapapun, dan juga ia tak pandai bersosialisasi. Menurutnya berhubungan dengan manusia hanya membuatnya lelah, baik secara fisik maupun mental nya.

Maka dari itu ia memilih tinggal di perumahan, menurutnya tinggal di perumahan tidak seramai tinggal di kos. Ia lebih memiliki privasinya sendiri.

Saat melewati gerbang perumahan, seorang pak satpam yang sedang berjaga di posnya memanggil Vandra. Jarak Vandra dan pos satpam sekitar lima meteran, mau tidak mau membuatnya menoleh kebelakang.

"Mas Vandra!" panggilnya. "Kesini sebentar mas!"

Vandra memutar arah, berbalik menuju pos satpam, ia turun dari motor tanpa membuka helmnya. "Ada apa, pak?"

Satpam yang memanggilnya tadi mendekat dengan membawakan sebuah paper bag hitam, dari balik helmnya Vandra membaca sebuah nama pada name tag yang ada di seragamnya.

"Tadi ada orang yang datang ke rumah, tapi saya bilang kalau mas Vandra lagi keluar dan biasanya pulang pas sore," jelas pak Didit, Vandra hanya menyimak. "Orang tadi nitipin ini ke mas."

Vandra melihat paper bag hitam itu dengan tatapan datar lalu menghembuskan nafas berat. "Ya udah, makasih ya pak."

"Iya mas, sama-sama. Mau langsung pulang, mas?"

"Iya pak, hampir magrib ini."

"Hati-hati ya mas!"

"Iya pak, saya pulang duluan ya."

Pak Didit mengangguk. "Iya mas, monggo."

Vandra menaiki motornya. "Duluan ya pak."

"Monggo monggo."

Setelah menerima barang titipan dari seseorang yang dititipkan di pos satpam, Vandra bergegas menuju ke rumahnya. Karena sudah menjelang magrib, Vandra memelankan laju motornya. Tinggal sedikit lagi dia memasuki blok A tempat tinggalnya, hanya saja seseorang yang menurutnya menyebalkan memanggilnya.

"Vandra.." panggilnya dari kejauhan ada seorang gadis yang memanggil namanya. Vandra tak menggubrisnya, ia tetap melajukan motornya. Gadis itu tak menyerah, ia tetap mengejar Vandra walaupun nafasnya tersengal.

"Vandra!" panggilnya lagi. "Vandra tunggu!"

Karena jengah, Vandra berhenti dan turun dari motornya. Dari balik helmnya ia menatap datar seseorang di depannya.

Gadis itu terengah-engah di depannya. "Kamu kok nggak dengerin aku.. aku capek tau ngejar kamu," jelasnya yang bagi Vandra itu memiliki arti yang lain di telinganya.

"Bisa gak sih lo berhenti ngejar gue!" Vandra melepas helm yang ia kenakan. Tatapannya menyorot tajam.

"Apa sih kurangnya aku? Sampai kamu nggak mau nerima aku?" Gadis itu berkaca-kaca.

Vandra mendekat, masih dengan tatapannya yang datar. "Lo bukan yang gue mau, paham lo!"

"Aku siap kok berubah buat kamu, aku bakalan..."

Sebelum gadis itu selesai dengan kalimatnya, Vandra lebih dulu menyela. "Kalau gue nyuruh lo mati demi gue mau?!" ucapnya dengan tatapan setajam elang. Gadis itu diam tak bereaksi, namun tangannya terkepal kuat di sebelahnya. Matanya memerah menahan tangis.

"Gak bisa jawab kan lo?!" Vandra menaiki motornya kembali, tak memperdulikan gadis yang sekarang ini menatapnya tajam penuh dendam.

"Vandra, kalau gue gak bisa dapetin lo, maka orang lain juga ga bisa. Tunggu aja balesan dari gue..," ucapnya penuh penekanan, kemudian gadis itu pergi.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 09, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Silence Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang