Bagian 1: Emas

18 0 0
                                    

Zlatan adalah namaku. Namun, orang-orang tiada adab di sekitarku menamaiku ulang: Setan. Sebagai anak pertama pula sebagai anak lelaki satu-satunya di keluarga, aku mengemban peranan yang sangat penting. Orang tuaku menggantungkan cita-citanya yang amat berat di pundakku. Rencana sudah dibuat, aku dimandatkan untuk memainkan peran bapak bagi adik-adik perempuanku nantinya. Adik lelaki? Tidak ada. Bukannya sudah kukatakan di awal bahwa aku adalah anak lelaki satu-satunya di keluarga? Adikku perempuan semua. Tiga orang; satu berumur sembilan tahun, satu berumur tujuh tahun, dan satu lagi berumur dua tahun. Masih kecil-kecil.

Bapakku bekerja sebagai kuli bangunan. Setiap hari, ia berlomba dengan matahari. Ia harus berangkat kerja sebelum matahari terbit, lalu pulang setelah matahari terbenam. Sementara itu, ibuku bekerja sebagai penatu. Jam berangkat kerjanya sama dengan bapak, yang berbeda hanyalah jam pulang kerja. Jika bapak harus berangkat sebelum matahari terbit lalu pulang setelah matahari terbenam, maka ibu berangkat sebelum matahari terbit lalu pulang setelah matahari terbit. Kenapa ibu bisa pulang lebih cepat? Karena, ibu hanya perlu mengantar cucian kemarin dan menjemput cucian hari ini. Ia dapat melakukan pekerjaannya di rumah kami.

Karena bapak dan ibu sibuk bekerja, kami jarang menghabiskan waktu bersama bahkan untuk sekadar berbasa-basi di meja makan. Ralat! Maksudku bukan meja makan melainkan tikar makan. Kami tidak punya meja.

Di rumah, aku kebanyakan menghabiskan waktu bersama adik-adikku. Namun, aku tidak selalu di rumah. Tentulah kalian tahu alasannya: Aku harus sekolah.

Oh... Ya! Sebelum terlupakan, kurasa akan lebih baik jika kuceritakan sekarang. Saat ini, aku berusia dua puluh satu tahun; belum layak menikah karena usia ideal menikah bagi laki-laki adalah dua puluh lima tahun. Aku berstatus sebagai mahasiswa--satu hal selain Tuhan yang mendapat gelar maha--karena aku tengah berkuliah di salah satu perguruan tinggi di daerahku. Bertingkah laku seperti anak lelaki kebanyakan menjadikan orang-orang tidak akan keheranan jika kampusku tidak memberiku beasiswa. Kampus mana yang akan memberikan uangnya secara cuma-cuma untuk mahasiswa dungu--yang hidup enggan tapi mati tak mau? Tidak ada, tentunya.

Tiga tahun lebih menunggui kampus menjadikanku mahasiswa tingkat akhir. Tahu masalah terbesarku--sebagai mahasiswa tingkat akhir? Skripsi. Ya, skripsi. Suatu karangan ilmiah yang wajib ditulis olehku--barangkali, kalian juga--sebagai syarat untuk mendapatkan gelar dari pendidikan yang sudah ditempuh. Entah apa alasanku melabeli skripsi sebagai masalah; yang kutahu skripsi sedemikian susah. Bapak dan ibu mati-matian memohon padaku untuk menamatkan kuliah lebih cepat. Karena di kampusku wisuda hanya dilangsungkan setahun dua kali, maka kesempatanku untuk tamat cepat jatuh tempo pada tiga tahun setengah. Namun hingga hari ini tepatnya, skripsiku tak kunjung sudah. Saking tidak adanya perkembangan signifikan, aku tidak punya muka untuk menghadap dosen pembimbingku; melakukan konsultasi terkait isi skripsi.

Di tengah kepeninganku mengerjakan skripsi, kadang aku bertanya-tanya dalam hati: Kenapa harus tamat kuliah lebih cepat--sedangkan tamat tepat waktu saja sudah dikatakan baik?

Sebenarnya, tidak hanya bapak-ibu yang berambisi agar aku menamatkan kuliah lebih cepat. Kutengok, teman-temanku saling bersaing untuk tamat lebih cepat. Tapi lagi-lagi, kenapa? Apa yang mereka kejar setamatnya kuliah? Apa mereka sudah mendapat gambaran masa depan setamatnya kuliah; pekerjaan yang menunggu, misalnya?

Aku masih tak habis pikir. Jikalau memang mereka terburu-buru menamatkan kuliah karena mereka sudah ditunggu oleh pekerjaan, maka aku tak perlu turut terburu-buru karena tak ada pekerjaan yang menunggu orang sepertiku; orang yang tidak punya kemampuan, bahkan kemauan.

Orang-orang di sekitar menamaiku ulang sebagai Setan bukan tanpa alasan. Mereka menamaiku demikian karena tingkah lakuku yang menyerupai setan. Aku sangatlah bengal, katanya. Sejak kecil aku seringkali membuat onar di kampung. Waktu umurku masih tujuh tahun, aku pernah berkelahi dengan teman sebayaku karena ia merebut kelereng milikku--walau hanya sebutir. Waktu itu, kupukul temanku hingga ia tersungkur ke tanah. Dahinya robek, kalau tidak salah ia harus mendapat tiga jahitan. Aku juga pernah mencuri mangga dari pohon milik tetangga. Aku kedapatan mencuri saat dahan pohon mangga yang kupanjat patah sehingga tetanggaku langsung lari ke halaman rumahnya; menemukanku bertengger di dahan pohon lain sambil memeluk dua mangga di depan dada.

MahasiswaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang