Bagian 2: Wisudawati

13 0 0
                                    

Seperti biasa: Sebagai mahasiswa tingkat akhir, aku selalu menghabiskan waktuku untuk mengerjakan skripsi. Dari pagi, siang, sore hingga malam; Seharian--sampai-sampai skripsi menjadi kawan mainku saban waktu, kawan paling akrab.

Semenjak aku memasuki tahun ke empat perkuliahan di program sarjana, hubunganku dengan kawan-kawanku sesama mahasiswa semakin merenggang. Biasanya, kami berangkat ke kampus bersama-sama. Namun, kami harus berangkat ke kampus sendiri-sendiri sekarang. Petang ini, misalnya.

Seperti petang-petang sebelumnya, aku menyibukkan diri di perpustakaan kampus. Sehabis menghadap dosen pembimbing untuk melakukan konsultasi terkait isi skripsi, aku bergegas mencari bahan perbaikan untuk skripsiku sesuai dengan instruksi yang diberikan dalam bentuk coretan. Kucari skripsi yang dapat kujadikan sebagai referensi sebanyak-banyaknya. Sembari terus mencari, sesekali informasi baru yang kudapat langsung kususunkan di skripsiku.

Sungguh, aku sibuk. Saking sibuknya, aku sama sekali tidak menyadari bahwa petang sudah berganti malam sehingga sebagian mahasiswa sudah pulang ke rumah atau kosan mereka masing-masing; menyisakan beberapa mahasiswa saja termasuk aku. Suasana pun mendadak sepi, sunyi.

Tetiba, aku merinding. Hawa dingin menjalar di badanku, menjadikan bulu roma mulai berdiri. Terang saja aku ketakutan, terlebih aku pernah mendengar rumor mengenai perpustakaan kampusku yang berhantu.

Usut punya usut: Dulu pernah ada seorang mahasiswi yang sering menghabiskan waktu luangnya di perpustakaan kampus untuk mengerjakan skripsi. Dikarenakan ia mengalami depresi selama pengerjaan skripsinya, ia memilih untuk bunuh diri. Ia tewas selepas menjatuhkan dirinya dari atap gedung yang berdasar danau sedalam tiga meter. Ia bukannya tewas tenggelam karena ia tidak mampu berenang. Ia tewas karena kepalanya lebih dahulu membentur batu yang ada di pinggiran danau sehingga ia langsung tercemplung tanpa sempat mengubah pikiran secara sadar; memohon kepada siapa-siapa untuk menyelamatkannya dari air danau yang menyesakkan dada. Air danau pun berubah warna menjadi merah, namun keruhnya kembali lagi tidak lama kemudian.

Keselamatan memang tidak diberikan pada mahasiswi itu. Namun, kesempatan diberikan padanya--untuk hidup kembali, sebagai hantu.

Ketakutanku pun semakin menjadi-jadi sehabis aku mengingat rumor tersebut. Akhirnya, aku memutuskan untuk kembali ke kosan.

"Skripsinya kusambung besok saja," pikirku.

Aku langsung mengemasi barang-barangku ke dalam tas, kemudian mengembalikan skripsi-skripsi yang kuambil sebagai referensi ke rak.

Tiga tahun yang lalu ketika aku dan kawan-kawanku masih sering diberi tugas kelompok oleh dosen pengampu mata kuliah, kami bekerja sambil berbagi cerita. Pelbagai cerita kami bagi, tanpa terkecuali. Namun ketika cerita yang dibagi bertema horor, aku menjelma sosok paling lantang yang berkata: Aku tidak akan pernah percaya bahwa hantu benar-benar ada sampai aku melihatnya sendiri dengan sepasang mata yang kupunya.

Sialnya, hantu menganggap perkataanku itu sebagai tantangan; agaknya. Maka dari itu, aku diperlihatkan sesuatu yang seharusnya tidak kulihat.

Dari kaca rak skripsi, tampak bayang-bayang dari seorang mahasiswi yang berdiri di belakangku dengan setelan hitam-putih formal. Ia tersenyum dengan senyuman yang manis--karena rupanya yang cantik. Namun, kenyataan itu tidak membuatku merasa nyaman sama sekali. Rambut mahasiswi itu terlihat basah, seolah ia baru saja mencuci tanpa sempat mengeringkannya.

Ketika aku--dengan segenap keberanian yang berhasil kukumpulkan--menolehkan kepala ke belakang untuk memastikan penglihatanku, aku tidak mendapati mahasiswi itu. Aku terdiam; merasakan jantungku yang mulai berdebar. Sedetik kemudian, aku menolehkan kembali kepalaku ke arah lain. Namun, nihil. Tanpa berpikiran panjang, aku pun berlari menuju kosan--sampai aku melupakan kebiasaanku; berpamitan pada satpam perpustakaan kampus.

MahasiswaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang