SATU

17 0 0
                                    

Yogyakarta, kota nan romantis dengan hiruk pikuknya. Kota tempatku mengukir kisah-kisahku. Kota yang menjadi saksi perjalanan seorang Bintang dan Alam membina keluarga kecilnya. Aku mencintai kota ini, sebagaimana aku mencintainya.

Namaku Bintang Ningsih Pranoto. Aku adalah anak bungsu dari sepasang orang tua luar biasa, Hadi Pranoto dan Ningsih Ayu Pranoto yang juga memilki seorang kakak bernama Ide Bagus Alit Pranoto. Hidupku nyaris sempurna sejak aku lahir, sampai akhirnya kehadiran Alam Guana Pangestu dalam hidupku yang menyempurnakannya.

"Mbak Bintang, Den Sore sudah tidur dan sudah saya taruh di kamarnya"

Seruan Bu Gendhis membuatku seketika mengalihkan fokusku pada setiap bait tulisan dongengku di laptop. Dan Sore yang dimaksud oleh Bu Gendhis itu adalah anakku. Sore Sadhil Pangestu, si kecil yang langsung membuatku seolah selalu didatangi keberkahan dari langit.

"Makasih ya bu"

"Bu, Mas Alam belum pulang juga ya?" tanyaku menahan langkah Bu Gendhis yang sudah hendak pergi.

Oh iya, itu adalah Bu Gendhis. Aku mengenalnya dari Alam. Bu Gendhis adalah orang yang merawat Alam saat ia kecil dan sudah menemani Alam hingga saat ini. Dan sekarang, Bu Gendhis pun juga membantuku menjaga Sore.

"Belum mbak, sepertinya belakangan ini Mas Alam sedikit riweuh dengan pabrik"

"Ya sudah nanti kalau Mas Alam pulang, tolong hangatkan makanan di meja ya" ujarku lagi sembari beranjak menuju kamar.

Tahun ini memasuki tahun kelima pernikahanku dan juga Alam. Di usia mudaku, Alam yakinkan aku untuk membawa dirinya dalam hidupku. Dan seperti yang terlihat, aku begitu bahagia bersamanya. Bersama keluarga kecilku ini.

"Sayang, kamu harus bangun sekarang. Aku mau makan masakan istriku, bukan Bu Gendhis"

Perlahan aku mulai membuka mataku karena rasa geli yang Alam buat di telingaku. Masih dengan keadaan setengah sadar, senyumku mengembang melihat Alam yang tampak begitu tampan dengan rambut dan wajah acak-acakannya. Cup...seperti pagi-pagi lainnya, Alam berikan kecupan hangat pada bibirku.

"Morning Bin,"

"Morning" ujarku balas mengecupnya.

"Kamu pulang jam berapa tadi malam?" tanyaku menginterogasi Alam.

Paham dengan nada bicaraku, Alam kemudian menjawab dengan nada bersalah "aku minta maaf ya, tapi kerjaan aku memang sedang butuh perhatian ekstra"

"Tapi kamu juga harus perhatian sama tubuh kamu sendiri"

Alam hanya tersenyum seraya mengangguk patuh. Sekali lagi ia kecup kepalaku sebelum beranjak dari tempat tidur. Setelah siap dan tampak rapi, Alam datang menghampiriku yang tengah mempersiapkan sarapan. Aku mulai menceritakan perkembangan cerita yang kini tengah kutulis kepadanya.

"Menurut kamu terlalu klise gak idenya?" tanyaku.

"Bagus kok, aku suka ceritanya. Apalagi di bagian pertemuan Jenderal Bumi sama si Putrinya" Alam menanggapi ucapanku dengan kondisi mulut yang sibuk mengunyah sandwich yang kubuat.

"Beneran?" tanyaku lagi.

"Iya Bintang" Alam kembali berucap dengan nada penuh penekanan yang langsung membuatku tersenyum senang.

Setelah selesai memakan roti dan meminum segelas susunya, Alam kemudian beranjak untuk segera berangkat ke pabrik. "Ayah berangkat dulu ya sayang. Jagain ibu buat ayah ya" Alam memberikan kecupan bertubi-tubi pada pipi gembul Sore.

"Kamu gak usah nunggu aku pulang ya, takutnya sampai malam lagi" Aku hanya mengangguk mengiyakan. Selepas kepergian Alam, tatapanku beralih ke arah Sore yang tengah asik dengan biskuatnya. "Sayang, hari ini temenin ibu pergi mau kan?"

SinggahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang