Kita adalah manusia yang ingat Tuhan, tapi ibadah kita berbeda. Ada kalung salib yang melingkar di lehermu. Ada tasbih yang selalu di tanganku.
***
Anzel sudah mengutarakan maksud kedatangannya di rumah Vanilla kepada Dito. Suasana ruang tamu jadi serius mendengarkan penjelasan Anzel tentang toko kue di Hong Kong dan kerjasama dengan Vanilla. Lain halnya dengan Vanilla justru serius memandangi kalung salib yang melingkar di leher Anzel.
Memang benar, hijrah itu mudah, yang sulit itu istiqomah dan menjaga hati serta iman. Meski terus memandangi kalung salib yang dikenakan Anzel, Vanilla masih menyimak obrolan Anzel dengan ayahnya. Tentang meneruskan usaha kue di toko kue milik Anzel memang tidak terikat kontrak dan persyaratan di atas kertas. Anzel justru dengan senang hati jika tokonya di Hong Kong ada orang yang bisa mengelola.
"Kak Anzel bener-bener pengen tokonya ramai lagi, tapi diisi dengan kue-kue buatanku. Kayaknya aku punya ide buat mengajukan persyaratan, kalau Ayah dan Ibu terima kerjasama bisnis ini," gumam Vanilla.
"Mendengar penjelasan dari Nak Anzel, jujur saya turut tertarik atas kerjasama ini. Tapi, saya masih ragu dan hati-hati, apalagi saya belum kenal betul sama Anzel. Bisa kasih saya waktu untuk mempertimbangkan secara matang?" jelas Dito kepada Anzel.
"Saya sudah menduga jawaban Bapak akan seperti ini. Untuk memastikan semuanya, apabila Bapak berkenan, saya akan mengajak Bapak, Ibu dan Vanilla ke Hong Kong," ucap Anzel.
"Hah, Hong Kong! Udahlah, Mas, jangan dipersulit, tinggal terima aja kerjasama ini. Kapan lagi kita ke luar negeri? Terus kita jadi dapat kesempatan emas untuk mengembangkan usaha sampai ke Hong Kong," seru Ranti sambil memijat bahu Dito.
Dito seketika nanar ke istrinya. "Ranti, kita aja belum punya visa, pasport dan lain-lain. Boro-boro punya, ngurus semuanya aja belum ada waktu."
"Ya, diuruslah, mumpung kita banyak rezeki. Jangan sampai Mas nyesel kalau enggak terima kerjasama bisnis ini. Anzel cuma pengen kita nerusin tokonya buka. Anzel baik, loh, enggak pakai kontraklah, syaratlah dan ini itulah."
"Aku hanya pengen meyakinkan kalau Anzel ini anak baik, bukan bermaksud untuk suudzon, tapi kita lebih hati-hati. Aku juga tertarik kok sama kerjasama ini, tapi masih aku pikirkan lagi. Paham enggak, Ran?"
"Ya, udah deh!" Ranti bersungut-sungut seraya mendekap dua tangan.
Adzan dzuhur sudah menggema dari masjid hingga ke rumah Vanilla. Dito beranjak ke luar rumah untuk bersiap diri salat dzuhur ke masjid. Anzel yang sedari tadi gugup, akhirnya bisa minum segelas es sirup. Vanilla dan Ranti masih duduk sembari memperhatikan kepergian Dito.
Ibu dengan putrinya pun beranjak dari duduk. Vanilla pamit ke Anzel karena hendak salat. Sementara Ranti justru terus menawarkan Anzel untuk makan kue dan minum sirup. Ranti lantas menyusul Vanilla karena hendak salat dzuhur.
Ranti tiba-tiba menarik lengan Vanilla dan bertanya, "Anzel enggak kamu ajak salat?"
"Ibu lihat di leher Kak Anzel, dia non-muslim, Bu," jawab Vanilla sembari mengarahkan mata ke kalung yang dikenakan Anzel.
Ranti mengangguk-angguk. "Oh, Ibu enggak kepikiran di situ, ya? Kenapa giliran ada yang baik ke putriku, justru berbeda keyakinan?"
"Memang Ibu ngarepin apa ke Vanilla dan Kak Anzel?"
"Oh, enggak, enggak ngarepin apa-apa. Cuma dia itu udah ganteng, baik lagi sama kamu. Apa kamu enggak ada pikiran dia itu suka sama kamu?"
"Astaghfirullah, Ibu, Vanilla enggak mau mikirin ke situ. Diajak jadi partner bisnis aja udah syukur. Itu berarti ikhtiar Vanilla jadi enggak mengkhianati hasil."
KAMU SEDANG MEMBACA
Semanis Hati Vanilla (Buku & Ebook Terbit)
RomanceOrder buku Semanis Hati Vanilla di etalase Tik Tok Shop @novellovela.id dan e-book di Play/Google Book. Setiap gadis jika sedang patah hati pasti mengalami frustasi dan melampiaskan remukkan hati dengan melakukan hal nekat. Berbeda dengan gadis mani...