🌧️ 𝐖𝐄 𝐁𝐑𝐎𝐊𝐄 𝐔𝐏 🌧️
「 𝐢 𝐧 𝐟 𝐞 𝐫 𝐧 𝐨. 」
229 Days
Winter, December 27th
Belum ada sedikit pun kegiatan bermanfaat yang dilakukan Allen sejak hampir satu jam terakhir, berdiam di studio hanya berpangku gitar. Nyatanya, sang netra terlalu tak mampu melewatkan objek menawan yang sengaja ia lekatkan pada wallpaper desktop.
Potret sengit Aileen yang memergokinya di dekat patung sendok dan ceri menjadi candu baru yang Allen masukkan dalam; daftar ekspresi Aileen—yang ia puja.
Sayangnya, itu hanya terkesan semu.
Mengulur menit berikutnya, sorot Allen menggelap atas itu semua.
Sial. Sepasang netra coklat itu. Bila diperhatikan lebih jauh ... kenapa mirip sekali dengan si bajingan itu?
Sorot yang terkadang bisa beralih kebencian dan seakan berganti kulit seperti ingin menghunusnya dalam satu tusukan belati. Bajingan, kenapa dua orang ini harus sangat mirip? Rahang Allen menggertak setengah mati.
'Makhluk sakit jiwa sepertimu tak pantas dicintai siapapun.'
Brengsek! Lagi–lagi suara itu bisa selalu dengan mudah menyulutkan amarah. Segala benak masih tergambar dengan baik di kepala Allen, menggali memori kelam yang terkubur dalam–dalam pada relung. Hari di mana iblis seolah memberinya kuasa untuk melenyapkan satu napas. Hari di mana semesta seakan berpihak penuh padanya. Serta hari di mana ... harga dirinya tak lagi diletakkan pada pijakan terendah di atas bumi.
Satu–satunya hal yang paling terlihat normal yang bisa Allen lakukan untuk meredam paksa semua kegilaan adalah di kamar mandi. Menyikat gigi hingga berulang kali sembari melemparkan tatapan tanpa kilatan berarti pada pantulan cermin wastafel. Figur di depannya yang selalu menunjukkan kejujuran tentang; siapa dia sebenarnya. Menanggalkan seluruh topeng yang ia gunakan pada seluruh manusia yang ia temui sepanjang hari.
Ya. Menahan diri untuk terlihat normal sepertinya tak sulit, mengingat bukan dirinya sendiri lagi yang mendiami ruang tersebut.
Langkah gontai itu menuntun tubuh menuju kamar, meninggalkan bulir–bulir air pada lantai akibat basuhan wajah hingga rambut depan yang masih sepenuhnya basah. Lalu, menutup pintu dengan sangat pelan, seolah sedikit bunyi saja bisa mengusik satu telinga. Kerjapan itu berakhir pada punggung yang tengah terlelap di atas kasur miliknya. Paras itu tak sekeras tadi, seketika luntur menjadi manusiawi kendati jemari masih menyatu erat dalam kepalan. Sesekali menggigit ujung ibu jari, mengatur deru sembari berhilir–mudik di dekat nakas.
Menit mengulur menit, guncangan kecil di atas kasur empuk mengusik kemudian. Memberi pertanda atas satu lengan kokoh yang melingkar erat pada pinggang kecil tersebut. Allen turut membenamkan diri dalam selimut tebal, larut menghirup dalam–dalam pada ceruk wanita yang menjadi porosnya. Hampir belasan tahun. "Ai, you're so warm."
KAMU SEDANG MEMBACA
we broke up. [vrene] ✔️
Fanfiction❝ 𝘩𝘰𝘸 𝘤𝘢𝘯 𝘭𝘰𝘷𝘦 𝘣𝘦 𝘴𝘰 𝘣𝘦𝘢𝘶𝘵𝘪𝘧𝘶𝘭 𝘢𝘯𝘥 𝘱𝘢𝘪𝘯𝘧𝘶𝘭 𝘢𝘵 𝘵𝘩𝘦 𝘴𝘢𝘮𝘦 𝘵𝘪𝘮𝘦? ❞ Aileen Scott kira, keputusan menginjakkan kaki kembali ke kota kelahirannya Minnesota adalah hal keliru yang membuat kepingan demi kepingan...