Bagian dua

17 6 0
                                    

Narendra mengantarkan Kelana pulang. Meski sempat menolak hingga adu mulut, akhirnya Kelana menerima juga tawaran Narendra untuk mengantarnya pulang setelah melewati berbagai pertimbangan. Bus sudah tidak ada yang melintas ditambah gerimis sudah mulai turun membuat gadis itu mau tak mau harus menerima tawaran Narendra.

"Thanks udah nganterin gue pulang, sono cepet pulang hati-hati." Ucap Kelana setelah turun dari motor besar Narendra.

"Ngusir nih ceritanya? Tawarin masuk dulu gitu kek." Ujar Narendra dengan muka masam.

"Ya kalo mau dibogem bokap gue sih gapapa."

Narendra bergidik ngeri mendengar kalimat yang dengan santainya keluar dari mulut Kelana. Ia tau papa Kelana orangnya sangat keras dan tak ada satupun teman Kelana yang berani pada papa Kelana.

"Gak deh sayang muka ganteng gue. Kalo gitu gue duluan ya Na, langsung mandi lo biar nggak sakit." Tanpa menunggu jawaban dari Kelana, Narendra dengan segera melajukan motornya meninggalkan area rumah Kelana.

Setelah kepergian Narendra, dengan segera Kelana membuka pintu gerbang rumahnya. Langkahnya yang hendak memasuki rumah megah dihadapannya lantas terhenti saat sorot matanya menangkap sebuah mobil terparkir rapi di halaman rumahnya. Ia jelas tau siapa pemilik mobil ini.

Menghembuskan nafas sejenak gadis itu lantas melanjutkan langkahnya untuk masuk ke kediamannya. Kelana mematung sejenak saat melihat dua orang yang sedang mengobrol bersama di ruang tamu. Kedua orang itupun lantas mengalihkan atensinya pada Kelana begitu menyadari kehadiran gadis itu.

Laleta memutar bola matanya malas yang tentu saja tak dipedulikan oleh Kelana. Tatapan Kelana hanya tertuju pada seorang laki-laki yang duduk di samping Laleta. Pandangan matanya bertemu dengan Dentara yang menatapnya datar seperti biasa. Tak ingin berlarut-larut, Kelana memutus kontak mata mereka terlebih dahulu dan memilih kembali melangkahkan kaki menuju kamarnya di lantai dua.

"Lo tadi ditanyain papa, kayaknya sih bakal dapet hadiah." Sebuah kalimat yang keluar dari mulut Laleta membuat Kelana menghentikan langkahnya.

Sepertinya hari ini bukan waktu yang tepat bagi Kelana untuk mengistirahatkan dirinya.

~|•|~

Brakk

Mata Kelana yang baru saja tertutup itupun terpaksa harus terbuka kembali ditambah dengan keterkejutannya mendengar suara pintu yang dibuka dengan kasar.

"Bangun kamu!" Ujar seorang lelaki paruh baya sambil menarik tangan Kelana yang semula dalam posisi terlentang kini mau tak mau harus bangkit dengan posisi terduduk di pinggiran ranjang.

"Ada apa pa?" Tanya Kelana disertai dengan perasaannya yang tak enak.

Arwan, laki-laki yang disebut papa oleh Kelana itu tiba-tiba saja melemparkan sebuah kertas tepat di muka Kelana. "Berani banget kamu sembunyiin hasil ulangan kamu dari saya!"

Jantung Kelana semakin berdegup kencang mendengar ucapan sang papa. Gadis itu lalu melirik ke arah kertas ulangannya yang tergeletak di lantai. Kelana meraih kertas kusut yang bertuliskan angka 88 dengan garis di bawahnya.

Plakk

Satu tamparan berhasil mendarat dengan mulus di pipi kanan Kelana. Terlihat jelas sorot mata Arwan yang penuh dengan Kemarahan membuat nyali Kelana seketika menciut dan ia hanya bisa menunduk.

"Sengaja kamu sembunyiin itu biar saya nggak bisa lihat nilai buruk kamu itu hah?!" Bentak Arwan.

"Maaf..." Cicit Kelana pelan. Tubuhnya sudah bergetar takut tak lupa dengan cairan bening yang berhasil lolos dari pelupuk matanya.

Arwan meraih tangan Kelana kasar. Menarik paksa gadis itu dan menghempaskannya ke meja belajar Kelana hingga punggung gadis itu membentur kursi belajarnya. Kelana meringis kesakitan dengan air mata yang semakin deras menetes. Tapi Arwan tak peduli dengan hal itu.

Tanpa rasa kasihan Arwan melemparkan buku-buku tebal yang berada di meja belajar Kelana tepat ke muka gadis itu. "Belajar! Perbaiki nilai kamu yang ancur itu! Jangan cuma bisa bikin malu saya."

Setelah mengatakan itu Arwan segera pergi meninggalkan kamar Kelana tak lupa dengan membanting pintu kamar gadis itu. Tak peduli pada kondisi Kelana yang saat ini tengah menahan sakit untuk yang kesekian kalinya.

Kelana memungut buku-bukunya yang berceceran di lantai lalu duduk di kursi meja belajarnya. Mengusap sekilas pipinya yang basah karena air mata lalu mulai membuka halaman demi halaman buku yang ada di hadapannya. Ia harus belajar karena hanya nilai bagus yang mampu menyelamatkan hidupnya.

~|•|~

Kelana menatap pantulan dirinya pada cermin kamarnya. Bekas tamparan papanya semalam menimbulkan rona merah yang sangat jelas pada pipi Kelana. Masih berasa perih namun gadis itu tak memperdulikannya. Sedari semalam pun Kelana tak berniat untuk mengobati ataupun sekedar melihat luka tamparan dan luka pada punggungnya akibat terhantam kursi belajarnya.

Gadis itu tak peduli dengan rasa sakit, karena ia sudah sering merasakan itu.

Suara dentingan sendok dan piring membuat atensi Kelana yang baru saja menuruni tangga berpindah ke arah meja makan. Di sana Arwan, Yumna—mama Kelana, dan Laleta sedang sarapan bersama diiringi dengan renyah tawa. Sangat nampak seperti keluarga bahagia, yang tentunya tanpa Kelana.

Notifikasi dari ojek online membuat Kelana mengalihkan perhatiannya pada ponsel di genggamannya. Tanpa mengucap sepatah kata pun Kelana segera pergi dari sana karena tukang ojek online telah tiba dan menunggu di depan pagar rumahnya.

Langkah kaki Kelana mendadak terhenti saat ia berpapasan dengan Dentara di halaman rumah gadis itu. Kelana tersenyum tipis lalu kembali melangkah, sadar jika kehadiran Dentara di sini bukan karena dirinya. Namun, dengan cepat laki-laki itu menahan tangan Kelana dan membawa gadis itu untuk berdiri di hadapannya. Tatapan mata Dentara menampilkan sorot khawatir saat melihat rona merah di pipi Kelana.

"Ini kenapa?" Tanya Dentara. Tangannya yang hendak meraih pipi Kelana langsung ditepis secara halus oleh gadis itu.

Kelana menatap Dentara dengan tatapan datarnya. "Peduli?" Ucap gadis itu dingin membuat Dentara seketika diserang rasa bersalah.

Dentara yang hendak menyangkal ucapan Kelana langsung menutup mulut saat gadis itu lebih dulu berbicara. "Jemput Kak Leta kan? Di dalem masih sarapan. Kak Denta kalau belum sarapan ikut aja biar makin keliatan kek keluarga bahagia." Ucap Kelana yang langsung melangkah meninggalkan Dentara yang mematung di tempatnya.

~|•|~

vote+komennya frenn

follow akunku juga sabi lah, yakali baca doang tapi gak follow

PancaronaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang