[satu] Caraka-Elara

18 8 2
                                    

Melukis sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari Elara. Karena dengan melukis dia dapat mengekspresikan dirinya, dengan melukis dia dapat menuangkan semua emosinya. Marah, tangis, tawa.

Seperti saat ini, ditengah rintik hujan di sore hari Elara masih berkutat dengan kuas dan kanvasnya dari setengah jam lalu dibalkon kamarnya. Menghiraukan udara dingin yang menusuk kulit putih pucatnya yang hanya terlapisi kaos berlengan pendek.

Ada rindu yang teramat dalam.
Ada sendu yang teramat kelam.
Ada peluru tak kasat mata yang terus menghujam.
Ruang usang dihatinya membuatnya bimbang.
Meskipun senyum nya tak pernah tertinggal, tapi ia merasa janggal.

Sebuah jaket disampirkan pada bahunya, membuat Elara sedikit tersentak. Saat ia berniat menoleh, pucuk kepalanya ditepuk pelan. Tak perlu memastikannya, ia sudah tahu. Parfume beraroma khas yang begitu familiar bagi indra penciuman Elara juga kebiasaan menepuk puncuk kepalanya.

"Disini dingin, lo gak ada niatan udahan?" Tanya Caraka. Dia duduk dikursi kosong disamping Elara. Membenarkan letak jaket miliknya pada tubuh mungil Elara yang tenggelam karena jaketnya kebesaran.

Caraka memperhatikan Elara yang tengah serius melukis. Sudah empat puluh tiga menit gadis itu sibuk dengan kegiatannya.
Sampai-sampai tak menyadari kehadirannya yang berdiri tepat didepan balkon Elara.

Ceroboh. Gadis itu tak terlalu memperhatikan keadaannya sehingga Caraka lah yang harus menjadi pengingat. Meski begitu, ia tak pernah keberatan, ia justru senang. Karena dengan begitu, dirinya merasa dibutuhkan.

Karena khawatir gadis itu terkena flu, Caraka memutuskan untuk menghampirinya.

Elara memasangkan jaket milik Caraka dengan benar lalu kembali berkutat dengan lukisannya.

"Tanggung, sebentar lagi beres." Membiarkan Caraka mengutak-atik alat-alat melukisnya.

"Tapi nanti lo sakit Elaa,"

"Sebentar lagi." Keras kepala. Caraka mengembuskan nafas kasar.

"Okey, gue temenin." Elara mengendikkan bahu sebagai balasan.

Caraka memilih diam memperhatikan. Tahu jika Elara tidak suka kegiatan melukisnya diganggu.

Sekitar dua puluh menit kemudian, Elara berhasil menyelesaikan lukisannya.

"Lukisan lo selalu indah..." Puji Caraka tulus, dia memperhatikan dengan seksama setiap goresan yang tertuang di kanvas. Walaupun ia tak terlalu mengerti arti dari lukisannya, tapi ia merasa ada sebuah kesedihan dan kebingungan didalamnya.

Dari setiap titik yang terhubung menjadi garis hingga membentuk pola yang berbentuk abstrak, dipadukan dengan warna-warna hingga membentuk sebuah karya yang mempunyai makna mendalam disetiap goresannya.

"Boleh tau makna dari lukisannya?" Caraka menatap penasaran. Membuat senyum Elara terbit.

"Ada deh, kamu gak perlu tahu." Elara tersenyum jahil. Caraka sedikit tertegun, wajah datar Elara saat melukis berganti begitu cepat dengan wajah riangnya.

"Ohh, jadi gak mau ngasih tahu nih?" Caraka pura-pura murung.

"Enggak."

"Beneran gak mau ngasih tahu nih, hm?" Caraka berancang-ancang.

"Hn," Elara menggeleng.

"Yakin, huh?" Kini Caraka yang tersenyum jahil.

"Yaks--," Lengan Caraka sudah lebih dulu melilit pinggangnya. Menggelitiki perutnya.

"Ampun--haha-," Elara berusaha untuk melepaskan diri. Tetapi tenaganya tak sebesar itu untuk melawan Caraka.

"Kala, aduh-- haha-- ampun--kalaaa-,"

"Kasih tau dulu, baru gue lepasin."

"I-iyaaa Ela kasih tahu tapi lepasin dulu," Caraka akhirnya melepaskan lilitannya, ia merapihkan poni Elara yang berantakkan.

Elara menghapus jejak air mata disudut matanya karena terlalu banyak tertawa.

"Tapi boong," Elara menginjak kaki Caraka, setelah itu berlari cepat menjauhi Caraka yang meringis mengusap kakinya.

Dan berakhirlah aksi kejar-kejaran didalam rumah Elara.

My UniverseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang