Chapter 32

2.4K 388 37
                                    

Awan side...




Awan gak tau dia ada di mana. Yang jelas buat saat ini awan lagi di ruang sempit dan pengap, dan gak lupa kalau awan bisa ngerasain guncangan-guncangan kecil yang bisa awan tebak kalau dia lagi ada di dalam bagasi mobil.

Awan gak nangis. Dia tenang cuma badannya gemeteran. Badannya basah sama keringat dingin. Satu hal yang bisa di pastikan, dia bakal trauma sama tempat gelap dan sempit ini.

"A—ayah... U—unda... T—tolongin abang..." Lirih awan.

Awan gak tau salah dia apa, atau salah orang tuanya apa. Tapi kenapa acara penculikan anak tuh jadi solusi dari sekian banyak permasalahan orang dewasa?

Awan laper. Dia belum makan dari siang tadi dan sekarang kayaknya udah malem. Beruntung tangan sama kaki awan gak di ikat. Jadi awan ngeluarin permen yang selalu dia bawa kemana-mana buat ganjel rasa lapernya.

Awan sedih. Dia gak mau pisah sama orang tuanya. Dia gak mau hidupnya berakhir kayak gini. Dia masih punya cita-cita yang harus dia wujudkan. Awan akhirnya nangis juga. Bukan karena takut sama nasibnya selanjutnya, tapi lebih ke kangen sama keluarganya.

"A—ayaaah... U—undaaa..."

.
.
.

PRANG!



Gelas yang di bawa haechan meluncur jatuh ke lantai. Dia kayak denger suara awan yang lagi manggil dia buat minta tolong. Tangan Haechan gemeteran, dia gak sadar kalau pecahan gelas tadi ada yang melukai kakinya.

"Astaghfirullah yang!"

Mark dengan panik narik haechan menjauh terus di peluk tubuh gemetar haechan "ssstttt... Tenang oke? Awan pasti ketemu" bujuk Mark sambil ngelus-ngelus punggung Haechan.

Haechan gelengin kepalanya gak setuju "enggak yang... Aku bisa denger suara awan yang manggil kita. Dia ketakutan mar!"

Mark cuma bisa pelukin haechan dengan elusan di punggungnya yang dia rasa bisa sedikit nenangin haechan. Sumpah, bukannya Mark ragu sama ikatan batin mereka, enggak. Mark gak mungkin sepelein hal itu. Tapi buat sekarang ini anak buahnya lagi ngelacak di mana titik awan terakhir terlihat.

Semua itu butuh waktu, karena Mark cuma manusia biasa. Yang mana kemampuannya pun punya batasnya.

***

Awan gak sadar kalau dia udah di bawa keluar dari dalam bagasi mobil. Mungkin pas tengah malam, yang jelas dermaga ini sangat sepi pas malam hari. Jadi gak ada yang sadar kalau ada penyelundupan anak-anak di dalam peti kemas sebuah kapal laut.

"Akh!" Awan ngeringis ngilu pas punggungnya membentur dinding peti kemas yang terbuat dari besi tebal dan berat.

Awan ngedarin pandangannya dan nemuin kalau dia bukanlah satu-satunya anak yang di culik buat entah kepentingan apa. Yang jelas kepentingan itu melanggar hak asasi manusia.

Mungkin mereka juga sama kayak awan. Pulang sekolah, masih dengan seragam sekolah yang nempel di badan eh udah di bawa kabur aja.

Awan bisa pastiin di dalam sini ada puluhan anak-anak yang di culik. Bahkan mungkin udah nginep berhari-hari di sini.

Dan yang bikin awan agak tercekat adalah...

Kondisi mereka.

Ada yang luka-luka parah, bahkan sampai baju mereka yang awalnya putih berubah jadi merah kecoklatan. Wajah-wajah di sana juga bukan wajah pucat pasi, tapi wajah-wajah penuh tekanan, penuh ketakutan dan mungkin depresi juga. Kisaran umur yang bisa awan simpulkan adalah dari umur tujuh tahun hingga remaja, lima belas enam belas tahun gitu lah.

"Akh!"

"Kamu baru masuk kan?! Jangan coba-coba lari atau kamu saya habisi!"

Awan yang tadi diem memperhatikan keadaan langsung di seret sama orang yang mungkin penjaga di sini. Awan di cambuk pakai ikat pinggang di bagian punggungnya. Abis itu orangnya pergi entah kemana.

"Hiks.. s—sakit.. ayaahh.. undaaa..." Lirih awan dengan nahan sakit di bagian punggungnya.

Ini juga pengalaman pertama awan yang kalau dia bisa memilih, dia gak bakalan mau kayak gini. Di pukuli kayak binatang, di siksa dengan gak manusiawi. Dan mungkin ada yang meninggal di sini.

Awan meringkuk di lantai besi yang dingin, tangannya mengepal erat nahan kesakitan dan suara lirihnya bikin siapapun yang dengar bakalan ikut nangis.

"A—ayah... U—undaaa... Bawa abang pulang"

***


"Gimana? Ada perkembangan?"

"Maaf pak, tapi kami masih berusaha menemui titik koordinat terakhir mereka terlihat. Karena kemungkinan besar bisa saja mereka sindikat kasus perdagangan anak"

"Kalau begitu kemungkinan kendaraan apa yang mereka pakai?"

"Bisa melalui jalur laut maupun darat pak. Karena resikonya terlalu besar ketika memakai jalur udara. Untuk jalur laut mereka pasti memakai kapal tanpa awak, hanya nahkodanya saja. Mereka bisa menyembunyikan anak-anak itu di dalam lambung kapal atau bisa juga memakai peti kemas. Dan kalau jalur darat bisa memakai truk kontainer"

"Hmm, jika lewat jalur laut mereka pasti mengelabui petugas atau mereka punya backup orang dalam"

"Kami akan menyisir area laut yang kemungkinan menjadi jalur mereka. Karena ujung dari Perdagangan anak adalah Baltic. Tempat yang di duga menjadi laboratorium untuk ekstraksi darah anak-anak. Yang mana ekstraksi tersebut sudah ada yang menjadi pembelinya. Sudah menjadi rahasia umum jika darah anak-anak bisa menjadi treatment untuk kecantikan. Dan pastinya kolega mereka bukanlah orang sembarangan"

Mark terdiam. Otaknya lagi memproses penjelasan anak buahnya yang lewat telfon itu. Mark takut, takut kalau nanti awan di temukan dia udah gak bernyawa. Tubuhnya membiru dan darahnya sudah di jadiin treatment kecantikan orang-orang berhati iblis yang tidak punya nurani.

"Baiklah pak Zul, tolong tambah personil untuk menyisir daerah yang kemungkinan mereka lewati. Dan saya akan meminta bala bantuan untuk area darat. Dan mungkin saya akan meminta bantuan kepada teman kakak saya yang seorang Yakuza"

"Baiklah pak, mohon tunggu kabar dari kami"

"Terima kasih, selamat bertugas"

Bohong kalau Mark baik-baik saja, bohong kalau Mark gak panik, bohong kalau Mark bisa setegar ini. Karena ini semua juga untuk menguatkan keluarganya. Istrinya yang paling terpukul dengan keadaan ini.

Jika Mark juga ikut runtuh, siapa yang bakal menguatkan mereka?

Karena emang wanita itu selalu merespon apapun dengan perasaan, menyampingkan logikanya sejenak karena perasaannya yang mendominasi.

Sedangkan laki-laki lebih realistis, mereka pakai logika untuk mengatasi hal apapun. Termasuk yang seharusnya pakai perasaan. Karena laki-laki adalah penopang utama, tempat bersandarnya perasaan yang rapuh.

Dan Mark ingin menjadi tempat bersandarnya orang-orang yang dia cintai.



ʕ´•ᴥ•'ʔ

Hai;))

Senin,20/12/2021
05:43 p.m

Sh(i)awt(t)y 2.0Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang