Awal Puzzle

10 3 0
                                    

  "Kak, lihat ini" Suara itu menyapaku saat tengah hiruk pikuk dengan tugas-tugas yang sama sekali tidak aku mengerti. Aku tambah malas menjawabnya, dan lebih memilih terfokus pada layar laptop yang menampilkan angka-angka.

"Kak ayolah, lihat sebentar aja. cantik loh!" Suaranya kembali menginterupsiku. Aku hanya bisa berdehem untuk menjawabnya. Merasa kesal Ia menggoyangkan tanganku dengan keras agar aku bisa memperhatikan apa yang ia tunjukkan. Dengan kesal aku menoleh cepat, dapat kulihat gelang dengan gantungan Dreamcatcher mini itu. Tak menunjukkan respon lebih, aku hanya menatapnya datar.

"Hm, bagus" kataku dan kembali terfokus ke layar laptop. Aku dapat melihat jelas perubahan raut bahagianya menjadi suram dari ekor mataku

"Padahal aku berniat untuk memberikannya pada kakak, tapi sepertinya kakak gak peduli" Dengan langkah terhentak ia keluar kamar, tak lupa membanting pintu hingga jantungku ingin melompat.

Seharusnya aku tidak melakukan itu, jika saja aku bisa kembali ke masa lalu...Aku akan melakukan banyak hal untuknya. Tapi itu selalu berputar pada kata 'jika', kenyataannya...waktu tidak akan kembali hanya untuk memulihkan kebahagiaanmu. Aku tak lebih dari seorang pecundang yang memohon belas kasihan. Semua penyesalan ini, semakin mengurungku.

Lily selalu sendirian. Kami mengadopsinya saat ia kelas 2 SD. Dia adalah anak semata wayang Om dan Bibiku, mereka terlalu sibuk hingga Aku sudah sering mengasuhnya sejak ia Bayi. Kesibukan mereka benar-benar membuat Lily sendirian. Sampai suatu hari, kesibukan mereka lah yang membuat nyawa mereka menghilang. Tanpa sempat Lily merasakan hangatnya keluarga yang makan malam bersama, liburan, dongeng sebelum tidur...bahkan perayaan ulang tahun. Keluargaku langsung mengambil hak asuh Lily, Aku masih ingat jelas bagaimana ia menahan air mata haru-nya saat makan malam, tawanya saat kami bermain di taman...sebelum akhirnya aku masuk kuliah dan bertingkah bodoh.

Aku tahu bagaimana takutnya ia merasa sendirian...saat ia memintaku berjanji untuk terus menggenggam tangannya...mata kesepian itu sangat kentara. Dan aku mengingkari janji itu tanpa sadar. Aku...memang kakak yang buruk.

Tepukan keras dibahu membuatku sadar dari lamunan, Kutatap sekitar yang melihatku aneh. Saat setetes air mengenai tanganku, baru kusadari kalau aku sedang menangis.

"Kau baik-baik saja?" Tanya Keyla yang dengan sigap memberikan tisu padaku. Aku hanya diam, tidak tahu ingin mengatakan apa atas pertanyaan yang sudah ia tanyakan sedari awal aku datang ke kampus.

"Bagaimana perkembangan Lily?" Tanyanya lagi, Aku menghela nafas panjang.

"Masih sama seperti kemarin, Dokter sudah melakukan tes lab untuk mengetahui apa penyebab ia koma. Tapi, hasilnya normal. Tidak ada penyakit. Aku tidak tahu apa yang terjadi dengan Lily, Aku ingin dia cepat sadar" Jawabku terbata-bata.

Keyla mengusap bahuku berusaha menenangkan. Tak ingin menarik perhatian orang di kantin, aku berusaha keras untuk menahan isak tangisku dan berpura untuk kuat.

"Aku bisa mengantarmu ke toilet kalau kau ingin menangis disana" Bisik Keyla. Aku menggeleng pelan.

"Tidak, Aku baik-baik saja" Akhirnya kata itu keluar juga dari mulutku, walau aku tahu betul...kenyataannya berbeda jauh. Aku hanya tak ingin terus membebaninya.

Mataku tak sengaja berpapasan dengan sorot tajam milik Manda yang kurasa menguping apa yang Aku katakan. Alisnya menekuk, seperti orang yang berfikir keras. Sadar aku berhasil memergokinya, Ia beranjak meninggalkan kantin dengan langkah seribu khas saat ia kutagih bagiannya dalam tugas kelompok.

Keyla tampak melihat ke arah yang sama denganku, sepertinya Ia juga ikut sadar dengan aksi memata-matai milik Manda.

"Apa anak itu kesal denganku karena kutinggal saat presentasi kemarin?" Tanyaku heran melihat gelagatnya.

DC : Wake upTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang