"Kana, ini Teh Aruna udah dateng!" Teriakan Bunda memenuhi rumah pagi itu.
"Sebentar Bunda!" balasku dari kamar. Aku merapikan peralatan lukisku yang berserakan. Lalu berlari secepat kilat ke arah ruang tamu.
Teh Aruna sudah duduk dengan anggun disana. Di hadapannya, buku-buku pelajaran sudah siap untuk menemani pagiku.
"Yah, Teh, Kana lagi sakit loh. Hari ini kita ke pameran aja yok?" bujukku yang langsung dibalas dengan tatapan tajam oleh Teh Aruna.
"Sakit apa kamu? Keliatannya sehat-sehat aja gitu?"
"Ih, Teh! Masa nggak liat tangan Kana?" Aku menjulurkan lenganku yang sudah diobati oleh Rama kemarin.
"Ya ampun, pasti sakit banget ya?" Teh Aruna bertanya khawatir.
"Iya, Teh! sakit banget.."
"Yaudah, hari ini kita cuma baca-baca, nggak perlu nulis." Teh Aruna tersenyum lebar sambil membuka lembaran buku biologi yang sukses memualkanku.
"Loh kok gitu Teh?!"
"Ya kan yang sakit tangannya. Masih bisa baca kan?" Teh Aruna menaikkan alisnya, bertanya kepadaku.
Aku merengut menatapnya. Kalau sudah begini, Teh Aruna nggak akan bisa dilawan. Teh Aruna sudah mengajarku sejak kelas 10, 2 tahun yang lalu. Teh Aruna selalu punya banyak cara untuk membuatku belajar.
Setelahnya aku menghela napas pasrah, mengambil posisi duduk di samping Teh Aruna, pelajaran dimulai. Walau terpaksa.
;;
Siangnya, sama seperti hari-hari sebelumnya, aku berangkat mengantar makan siang Kak Kavin dengan sepeda hitam-putih ku. Perlahan, langkahku memasuki rumah sakit besar itu.
Bruk!
"Aduh!" Seorang lelaki kecil mengaduh saat tubuhnya tertabrak denganku.
"Eh, ya ampun. Kamu nggak papa?" Aku langsung menunduk membantu bocah itu, kemudian menyejajarkan tinggi kami.
"Ari!" Seruan kencang itu membuatku maupun bocah kecil di hadapanku menoleh ke arah sumber suara.
Dari kejauhan, seorang lelaki datang berlari menghampiri kami. Ia menunduk, menyejajarkan tubuhnya dengan bocah itu.
"Kan udah abang bilang hati-hati." Ia berkata sambil mengusap-ngusap tubuh sang lelaki kecil.
Aku tertegun menatap lelaki itu untuk ke sekian kalinya. Ya, dia Rama. Lelaki yang berdiri di hadapanku dan di hadapan Ari itu adalah Rama. Sosok yang ntah sejak kapan memenuhi kepalaku.
Ari meringis minta maaf. Sedangkan Rama menoleh ke arahku, "Kamu nggak papa, Ta?"
"Eh, iya, nggak papa kok," balasku gugup.
"Ari!" Satu lagi orang yang memanggil bocah kecil di hadapanku ini. Panggilan dengan nada khas orang tua. Seorang wanita paruh baya berlari menghampirinya, memeluk erat lelaki itu.
"Ari nggak mau disuntik, Ma." Bocah itu melirih dalam pelukan Mamanya.
Dapat kulihat Rama menghela napas, sedangkan sang Mama sudah terisak sejak memeluknya.
"Ari nggak disuntik kok, dokter cantiknya cuma mau periksa Ari, nggak lebih." Sang Mama berkata sambil mengusap punggung bocah itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Without Reason - jeno xiyeon
Fiksi RemajaNyatanya, satu pertemuan singkat dapat berakibat pada sebuah kisah panjang. © 𝐜𝐨𝐭𝐭𝐜𝐚𝐧𝐝𝐢𝐞, 𝟐𝟎𝟐𝟎