Desember, 2018
Desember, bulan terakhir, sang penutup tahun. Penutup segala permasalahan di tahun ini untuk bersiap menghadapi permasalahan di tahun-tahun selanjutnya.
"Bunda, Kana main ke rumah sakitnya Kak Kavin boleh, ya?" pintaku siang itu pada bunda yang sedang memasak.
"Iya, iya, tapi sekalian anterin makan siang Kakakmu ya," ujar bunda yang kubalas dengan anggukan kecil.
Untuk beberapa hari ini, harus aku yang mengantarkan makan siang Kak Kavin. Bagi lelaki manja yang satu itu, memakan masakan bunda seakan hal wajib untuknya. Dan karena keinginannya itu, harus aku yang di repotkan.
Tapi yasudah lah, setidaknya, libur akhir tahunku tidak terlalu membosankan.
; ;
"Kak Mahes!" panggilku pada seorang dokter muda tampan yang sedang berdiri di seberangku.
Kak Mahesa menoleh, kemudian tersenyum sambil mendatangiku. "Buat Kavin?" tanyanya saat melihat tas kecil di tanganku.
Aku mengangguk, "Orangnya mana, Kak?"
"Kurang tau juga, belum ketemu dari tadi," jawab kak dokter yang tampan itu.
"Lagi nggak ada pasien, kan?" tanyaku lagi. Ah, banyak tanya sekali kamu, Na.
"Iya, kayaknya lagi otw ke sini— eh, Ram!" Kak Mahesa berseru.
"Ram?" tanyaku bingung saat mendengarnya. Aku menoleh ke belakang mengikuti arah pandang Kak Mahesa. Dalam hati aku menggumam paham, ternyata memanggil temannya.
Laki-laki yang dipanggil 'Ram' oleh Kak Mahesa tadi berjalan santai ke arah kami berdua. Kemudian saat berhenti, ia justru menatapku dengan tatapan yang— err, tampan.
Untuk beberapa detik aku sedikit terbawa suasana ketampanan lelaki itu. Hei, salahkan dirinya mengapa menatapku dengan mata indahnya itu.
Semakin lama, laki-laki itu malah semakin menatapku dalam, "Kamu.." ia menunjukku seakan ingin melanjutkan kalimatnya namun tertahan.
"Apa kamu kamu, nggak usah sok kenal, ya," ketusku. Pada akhirnya, yang namanya perempuan tetaplah perempuan. Jual mahal adalah keahlian mereka, dan aku.
"Dih, kok nyolot sih," tukasnya, "siapa nih, Bang?" Kali ini ia bertanya pada Kak Mahesa.
"Eh, ini, adeknya Kavin. Temen gue, tau kan?"
Aku menoleh ke arah dokter muda itu, kak Kavin kenal dengan lelaki ini?
"Ooh, tapi kok kayak pernah liat ya." Ia meneliti penampilanku dari ujung kepala hingga ujung kaki, membuatku melemparkan tatapan sinis kepadanya.
"OH! Kamu! Gantari, kan?!" serunya setelah meneliti penampilanku selama beberapa waktu.
Aku melotot, menoleh meminta penjelasan pada Kak Mahesa, tetapi dokter muda itu hanya mengangkat bahu.
"Kamu pernah pingsan di gedung seni deket sini, kan?" tanyanya yang lagi-lagi membuatku memelototkan mata.
"Salam kenal, saya yang gendong kamu ke rumah sakit waktu itu," ujarnya sembari mengulurkan tangan.
"Hah?" Oke, ciri khas penghuni bumi Indonesia memang susah dihilangkan.
"Berterima kasih kek, apa kek. Masa 'hah?' doang jawabnya." Lelaki itu menyilangkan kedua tangannya di depan dada.
"Ya ngapain aku berterima kasih kalau aku aja nggak inget pernah kamu gendong. Lagian waktu pingsan, yang nyelamatin aku Kak Mahes kan, Kak?" Aku menoleh pada Kak Mahesa, meminta anggukan setuju darinya.
Namun sialnya, Kak Mahesa malah menjawab, "Btw yang bawa kamu kesini emang Rama."
Laki-laki yang ternyata bernama Rama itu terkekeh dan mencibir ke arahku, membuatku melemparkan tatapan sinis bercampur kesal kepada nya.
"Oi, cewek!" Aku menoleh pada sumber suara masih dengan tatapan sinis. Kak Kavin yang sedang berdiri setelah memanggilku tadi menjadi imbas dari kekesalanku saat ini.
"Masih nggak mau berterima kasih, Gantari?" tanya Rama dengan nada dan ekspresi yang penuh dengan ejekan.
Hei, bukankah tidak sopan berperilaku seperti ini pada orang yang baru saja dia temui?
"Terima kasih," jawabku singkat, padat, dan baku.
Aku berjalan meninggalkan dua lelaki yang sepertinya berteman itu lalu mendatangi Kak Kavin. Kemudian, tas kecil yang berisi makan siangnya kuberikan dan secepat mungkin aku meninggalkan rumah sakit yang sedang dipenuhi laki-laki tidak jelas ini.
"Heh, Dek! Tunggu! Kakak mau nitipin sesuatu buat Bunda!" seru Kak Kavin, "nanti aja di rumah!" ketusku.
Langkahku menghentak-hentak kesal. Jujur, bagiku saat mengingat hal-hal masa lalu yang terasa berlebihan itu, rasanya hanya bisa tertawa. Mengingat bagaimana berlebihannya aku bersikap.
Namun, seandainya waktu memang bisa diputar, aku akan tetap melakukan apa yang saat itu kulakukan. Karena tanpa hal itu, barangkali aku tidak akan pernah merasa dekat dengan dirinya.
"Aw!" pekikku kencang. Dalam hati aku sudah mengeluarkan banyak sumpah serapah sebelum 3 laki-laki tadi datang membantu.
"Tuh kan, udah Kakak tebak bakal gini. Kamu tuh bisa nggak kalo jalan pake mata?" Laki-laki yang sudah ada di sisiku sejak bayi itu mengambil tas selempangku dan merapikan beberapa barangku yang berserakan.
"Kamu nggak apa, Ta?"
Aku tertegun untuk beberapa detik saat suara berat yang ntah kenapa terdengar lembut dan penuh perhatian itu masuk ke telingaku. Aku menoleh pelan ke arah sumber suara.
Hei, dia betul memanggilku kan? Bagaimana bisa suara beratnya malah terdengar semanis itu?
"Ta?" ucapku dengan nada datar bercampur bingung.
"Eh, namamu Gantari, kan?"
Saat itu, bagiku, oknum yang bernama Rama ini berhasil mengubah persepsiku mengenai 'sifat tidak sopan' nya hanya dalam beberapa waktu.
Dan saat itu pula, untuk pertama kalinya sejak aku berhenti bersekolah dan menjalani home schooling, jantungku berdetak lebih cepat karena seorang lelaki. Terlebih lagi, lelaki itu baru saja kutemui beberapa menit yang lalu.
to be continued —
.
.
yuhuUuu, kapal jeno-xiyeon mana suaranya? 🙋🏻♀️🙋🏻♀️🙋🏻♀️
terima kasih untuk respon baiknya, sehat selalu para pembaca sekaligus penyemangat bagi seorang author🙆🏻♀️💗
anw, stay safe ya!

KAMU SEDANG MEMBACA
Without Reason - jeno xiyeon
Teen FictionNyatanya, satu pertemuan singkat dapat berakibat pada sebuah kisah panjang. © 𝐜𝐨𝐭𝐭𝐜𝐚𝐧𝐝𝐢𝐞, 𝟐𝟎𝟐𝟎