"Kanaa, ini anterin makan siang Kak Kavin! Ayo cepet! Nanti telat!" seruan bunda dari dapur menghentikan sejenak lamunanku.
Sebuah kanvas kosong yang kutatap dengan banyak lamunan panjang itu akhirnya kuletakkan.
"Bunda, suruh Kak Kavin ambil sendiri ke rumah boleh nggak, sih?" tanyaku saat baru saja keluar dari kamar.
Bunda melirikku, memberi tatapan tajam nan seramnya yang sudah berhasil membuatku bergidik ngeri.
"I—iya Bun, sini Kana anterin," cicitku sambil mengambil alih tas yang berisi bekal makan siang Kak Kavin.
"Setelah nganterin langsung pulang!" tegas bunda. Aku mengangguk-angguk.
Setelahnya, aku mengeluarkan sepeda dari dalam garasi dan mengayuh santai menuju rumah sakit tempat Kak Kavin bekerja.
Sembari mengayuh sepedaku dengan santai, ingatanku kembali pada kejadian bersama Rama saat itu. Dilihat dari penampilannya, tidak mungkin ia lebih tua dariku. Lalu, apa haknya bersikap mengesalkan dan dalam sekejap berubah menjadi semanis kemarin?
"Argh!" gumamku kesal. Ayolah Kana, memikirkan lelaki seperti ini sama sekali tidak terlihat seperti dirimu.
Brak!
"Aduh!" Aku mengaduh kesal saat sepedaku dihantam oleh sepeda lain dari arah berlawanan.
"Eh, maaf, maaf," Seseorang yang terlibat tabrakan kecil denganku itu meminta maaf.
"Hati-hati dong," ketusku sambil merapikan barang-barangku yang terjatuh. Aku mengangkat kepala untuk melihat orang yang kutabrak, dan ayolah, aku tidak sedang shooting drama kan? Bagaimana bisa lelaki yang memenuhi pikiranku sejak kemarin saat ini berada di hadapanku?
"Maaf, maaf — loh? Gantari?" Sosok itu menatapku terkejut, berbanding terbalik dengan aku yang menahan kesal dengan pertemuan ini.
Aku menghela napas kasar, kemudian bangkit mendirikan sepedaku. Melihatku, lelaki itu ikut bangkit dan menaikkan sepedanya.
"Mau nganterin ini ke rumah sakit?" tanyanya sambil membantuku merapikan barangku dan kotak makan Kak Kavin yang berserakan.
"Iya." Aku menjawab singkat, mengambil alih barangku yang berada di genggamannya. Bersamaan dengan itu, Rama menahan pergelangan tanganku dan menggenggamnya pelan.
"Woi?! Apaan sih—"
"Kamu luka." Ia berkata dengan suara bariton nya yang terdengar khas di telingaku. Menarik tanganku semakin dekat untuk melihat luka itu.
Aku tertegun memperhatikan wajah serius nya saat meneliti luka yang cukup parah karena goresan aspal di lenganku. Garis wajahnya yang keras itu membuatku tak berkedip untuk beberapa saat.
"Udah, biar aku yang urus—"
"Kamu kidal?" Lagi-lagi lelaki itu memotong perkataanku tanpa mengalihkan pandangan dari tanganku.
"Eh? Enggak."
"Kalo gitu mana bisa ngurusin sendiri. Sini," Ia menuntunku duduk di salah satu kursi di depan toko buku disana. Kemudian berlari pelan ke arah sepeda kami dan memarkirkannya di dekat kursi tempatku duduk.
Lelaki itu datang lagi dengan kotak P3K dari keranjang sepedanya. Ia mengeluarkan obat tetes dan beberapa kapas.
"Sebentar, maaf." Ia meraih pergelangan tanganku dan mengoleskan obat tetes dengan kapas secara perlahan.
"Aw.." Aku meringis pelan, pelan sekali. Namun, netra lelaki itu langsung menatapku bersalah, "Eh, maaf." ujarnya.
Aku membuang muka, mengatur napas karena baru saja wajah lelaki itu terlalu dekat denganku.
Rama beralih lagi menyelesaikan luka di tanganku. Ia dengan telaten membersihkan lukaku dan menutupnya dengan kapas.
"Udah, Ta." Ia menatapku, "Rumah kamu dari sini jauh?" tanyanya.
Aku menggeleng.
"Kalo gitu mending kamu pulang, langsung obatin luka kamu." suruhnya sambil merapikan peralatan di p3k nya.
"Ini kan udah diobatin?"
Rama menoleh, kemudian melirik ke celanaku yang ntah sejak kapan sedikit robek dan terdapat bercak merah di bagian lututnya. Aku menganga kecil, baru sadar lututku ikut terluka.
"Nggak kerasa sakit emangnya?" tanyanya lagi.
"Enggak." pelanku.
"Udah, makan siang Bang Kavin biar saya yang bawa, kamu langsung pulang tapi pelan-pelan aja. Nggak lucu kalo jatuh lagi."
Aku meringis malu, kemudian mengangguk-angguk saja. Jujur, aku sudah kehabisan kata-kata karena perlakuan Rama sejak tadi. Jantungku berdetak terlalu kencang tanpa bisa kucegah.
"Maaf ya soal tadi, saya nggak sengaja, Ta." Rama berkata pelan, dengan nada bersalahnya.
"Eh, nggak papa. Ini juga udah kamu obatin kok." ujarku.
Ia menggaruk kepalanya pelan, "Yaudah kalo gitu saya anterin makan siang Bang Kavin dulu ya."
"Eh, iya." Aku mempersilakan Rama pergi. Setelahnya aku ikut bangkit dan berjalan pelan dengan sepeda di sampingku.
Kami sama-sama pergi dengan arah berlawanan. Aku menoleh, melihat Rama yang pergi menjauh dengan sepedanya. Kemudian, tanpa kusadari bibirku terangkat pelan, tersenyum.
Hari itu, tepat pada 5 November 2018, separuh hatiku jatuh bersama sosok itu. Sosok manis dengan hati yang penuh kasih. Sosok yang masih memenuhi kepalaku hingga kini.
to be continued—
.
.
mohon maaf atas keterlambatan penulis, karena satu dua bahkan banyak hal cerita ini sempat terhenti kemarin.
terima kasih respon baiknya, teman ;)
cottcandie, 2021
KAMU SEDANG MEMBACA
Without Reason - jeno xiyeon
Teen FictionNyatanya, satu pertemuan singkat dapat berakibat pada sebuah kisah panjang. © 𝐜𝐨𝐭𝐭𝐜𝐚𝐧𝐝𝐢𝐞, 𝟐𝟎𝟐𝟎