Author POV On
Andin paham betul pemilik suara itu.
Ya!
Itu suara Aldebaran. Pria itu menatap lurus pada pemuda yang berusaha merebut tunangannya itu.
"Berapa kali tunangan saya harus menjawab pertanyaan anda ?"
"Tunangan ?" Katanya meremehkan. Rahang Aldebaran mengeras, tangannya mengepal kuat.
"Dua tahun dan Andin tidak pernah bahagia."
"Jaga bicara anda."
"Kalian tidak saling mencintai."
"Cukup Zafran!"
"Hubungan kalian itu atas dasar perjodohan dan anda tidak mencintai Andin, bahkan setelah kalian berjalan 2 tahun lamanya. Jadi, lepasin dia." Andin menggeleng samar, berani sekali pria itu. Apa Zafran lupa Aldebaran adalah dosennya?
"Apa hak anda mengatur saya ?"
"Apa sekarang anda mencintainya ?" Aldebaran diam.
"Lo lihat Ndin, dia ngga bisa jawab." Zafran tersenyum miring.
Andin harap-harap cemas melihat ekspresi Aldebaran yang begitu sulit untuk ia baca, ia berharap Aldebaran akan mengatakan iya, tapi.. apa mungkin?
"Andin berhak mendapatkan orang yang dia cintai."
"Bullshit!" Setelahnya ia meninggalkan dua sejoli itu begitu saja.
Andin menekan dadanya yang terasa sesak. Kepalanya pun terasa sedikit pusing.
"Duduk dulu," Andin memegangi pelipisnya.
"Pulang," Nadanya terdengar lemah.
Keduanya berjalan pelan menuju mobil Aldebaran.
"Pusing banget ?" Andin hanya mengangguk mengiyakan.
Aldebaran meraih sebuah kotak p3k, ia membuka kotak itu dan mengambil sebuah obat.
"Itu obat apa ?"
"Kalau lo benar pusing, ini obatnya."
Andin menggeleng.
"Bukan ini, tapi itu yang di kotak."
"Ini p3k kalau lo belum tau, obat apa aja gue bawa." Mata Andin menyipit pada sebuah obat yang tak asing baginya.
Aldebaran menaruh kotak itu lagi ke kursi belakang.
"Ini di minum dulu." Andin menerimanya kemudian meminumnya dengan sebotol air mineral.
"Setauku kamu sehat terus mas."
"Memang gue terlihat sakit ?"
"Engga." Aldebaran mulai melajukan mobilnya pelan.
Andin melipat dua tangannya di dada. Ia menyenderkan tubuhnya dan terpejam, sepertinya gadis itu benar-benar pusing.
Nafasnya terdengar teratur. Perlahan tangan pria itu terulur mengusap puncak kepala Andin, hal yang tidak pernah ia lakukan ketika gadis itu sedang terjaga.
"Maaf.." Ucap pria itu.
Ia kembali fokus pada jalanan. Cuacanya cukup mendung, sepertinya akan hujan. Iya mempercepat laju mobilnya.
Andin menggeliat, ia mengerjapkan matanya beberapa kali.
"Kenapa bangun ?"
"Masih pusing ?" Gadis itu menggeleng pelan.
"Lalu ?"
"Apa ngga ada sedikit pun ruang di hati kamu buat aku mas ?" Tanya Andin tiba-tiba.
"Apa kamu ngga pernah berusaha mencintai aku ?"