Setelah selesai mengerjakan solat, aku bergegas bersiap-siap pulang, karena hujan sudah lumayan reda.Satu persatu kakiku bergerak turun, menapaki anak tangga masjid yang lumayan banyak.
Namun, ditengah jalan aku berpapasan dengan seorang laki-laki yang aku sendiripun tidak tahu dia siapa. Kulihat dia tersenyum, dan terpaksa aku menyipitkan mataku dengan bibir tersenyum paksa dibelakang masker."Lah ngapain aku senyum? Kemudian melihat dia? Zina.. mata woii!" Aku menggerutu dalam hati.
Kakiku perlahan keluar dari masjid, sepi. Itulah kondisi yang aku lihat. Mungkin sebagian dari mereka memilih pulang karena hujan sudah mulai reda.
Saat sedang memakai sepatu, sebuah tangan terulur menyodorkan selembar kertas abu kearahku.
Aku mendongak, menatap sang pelaku.
Sedangkan yang ditatap hanya menampilkan deretan giginya."Ambil, kalau sempat silahkan balas!" Pintanya sambil menggaruk belakang kepalanya.
Kulihat telinganya yang memerah, 'lucu' kesan pertama yang ku tangkap.
Segera ku ambil kertas abu tersebut, dan mengangguk."JANGAN LUPA!! DADAHHHH!!" Dia langsung berlari sambil berteriak, setelah surat itu aku ambil.
'Aneh, tapi aku suka. Eh?' kataku dalam hati.
Sepanjang koridor, tangan ku terus menggenggam erat kertas abu pemberian darinya.
"DORR!" Seseorang mengagetkanku.
"Astagfirullah, Dian!! Kaget!!" Kataku pada seorang laki-laki yang menjabat sebagai sahabatku sejak masuk SMP.
"Lagian salah siapa, jalan kok sambil melamun!" Kata dia sambil memainkan bola basket ditangannya.
"Heheh, baru pulang? Latihan basket dulu yan?" Tanyaku basa-basi.
"Ngga, latihan bekles pakai bola basket ra." Jawabnya asal, dan sukses membuat dia mendapatkan tatapan sinis dariku.
"He'em!" aku mendengus kasar.
Aigo, aku lupa memperkenalkannya. Dia, Maulana Dian Safari. Sahabat laki-lakiku satu-satunya. Meskipun dia orangnya rada abstrak, namun sikapnya yang selalu ada setiap saat membuatku betah bersahabat dengannya. Tapi, harus ingat batasan antara laki-laki dan perempuan.
"Pulang sama siapa?" Setelah beberapa lama hening, akhirnya dia bertanya.
"Sendiri" jawabku seadanya.
"Sendiri Mulu!, Jomblo ya mbaknya?" Dia kembali mengejekku.
"Kok tahu? Tukang dukun ya?" Aku balas meledek dia.
"Bukan." Jawabnya dengan tampang pura-pura serius.
"Lalu?" Tanyaku ikut serius.
"Rahasia, hanya tuhan yang tahu." Kata dia sambil tertawa terbahak-bahak.
"He'em" kembali aku dibuat kesal olehnya.
Kami berdua pun tiba diparkiran khusus siswa.
"Ra, bareng pulangnya!" Dian berteriak, kemudian bergegas kearah motornya.
"Jomblo ya mas! Pulang kok sendiri!" Aku berteriak sambil memakai helm merah kesayanganku.
"Jomblo-jomblo gini juga banyak yang suka lohh, lah emang dirimu, udah jomblo, tua pula!" Dia balas berteriak.
Keadaan parkiran yang lumayan sepi membuat kami bebas berteriak. Meskipun, ada beberapa adik kelas disana, namun tampaknya mereka sedang sibuk dengan urusannya sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
CONFIDENTIAL
Cerita PendekKetika sebuah pertanyaan mendapatkan jawabannya, akankah Ira bisa menerimanya? Bukankah Ira yang meminta supaya sang jawaban datang secepatnya, tapi kenapa ada rasa yang menghalangi untuk menerimanya dengan lapang hati?