BAGIAN 2

96 9 0
                                    

Ki Wanayasa geram sekali melihat pemandangan di depan matanya. Entah iblis biadab mana yang telah melakukan perbuatan sekeji itu. Dia telah bertekad untuk mencari dan membuat perhitungan terhadap orang yang membantai murid-muridnya.
"Auuu... tolooong...!" Tiba-tiba terdengar jeritan seorang perempuan dari dalam bangunan utama padepokan. Ki Wanayasa dapat menduga pastilah perempuan itu salah satu muridnya. Maka tanpa membuang waktu lagi, tubuhnya berkelebat ke arah bangunan utama.
Ketika sampai di depan pintu pondok, Ki Wanayasa langsung mendobrak pintu hingga terbuka lebar. Tapi....
Wuuut...!
"Uts...!"
Bruk! Bruk!
Tiga sosok tubuh melayang ke arah Ki Wanayasa, langsung menerobos ambang pintu. Ki Wanayasa telah menarik tubuhnya ke samping. Dan di depannya kini tampak tiga sosok tubuh wanita dalam keadaan telanjang bulat yang tak lain murid-murid perempuannya yang telah diperkosa dan dibunuh secara kejam. Hancur lebur macam bubur hati orang tua ini. Gerahamnya bergemeletukan pertanda kemarahannya sudah sampai puncaknya.
Ki Wanayasa baru saja berniat menerjang ke dalam, tapi tahu-tahu sesosok tubuh yang dalam keadaan telanjang kembali meluruk ke arahnya.
Buk!
"Hekh...!"
Bukan main kuatnya tenaga dorong yang terkandung dalam luncuran sosok yang telah menjadi mayat itu. Sehingga membuat Ki Wanayasa hampir terjengkang tertimpa mayat murid perempuannya sendiri. Untuk menjaga kemungkinan, Ki Wanayasa melompat ke halaman. Matanya nyalang, menyorot ke pintu bangunan utama padepokan.
"Setan Keparat! Iblis dari mana berani menghancurkan perguruanku?!" teriak laki-laki tua ini menggeledek.
Dari pintu tampak sesosok tubuh melesat keluar, dan mendarat di halaman padepokan. Kini, tampak jelas satu sosok bertelanjang dada. Seorang pemuda bercelana hitam berdiri tegak dengan sikap menantang. Rambutnya tak terurus seperti rambut orang gila. Tatapan matanya tajam menusuk, seperti mata harimau dalam gelap.
Citrasemi yang melihat kemunculan pemuda itu langsung melompat menghadang. Namun wajahnya cepat dipalingkan ke arah lain. Rupanya laki-laki berkulit gelap itu lupa mengancingkan celananya. Sehingga barang keramatnya yang bergantungan sempat terlihat oleh gadis ini. Sementara itu, Ki Wanayasa memperhatikan dengan sorot mata tajam pada pembunuh dan pemerkosa murid-muridnya. Sekilas saja, namun sudah memuakkan hatinya.
"Bangsat keji! Siapa kau?! Dan apa salah kami, sehingga murid-muridku kau bunuh?!" bentak Ki Wanayasa.
"Hahaha...! Aku Bara Genta. Membunuh adalah pekerjaanku! Memperkosa adalah surgaku. Aku hanya ingin membangun sebuah neraka di dunia ini. Hm.... Apakah penjelasanku sudah cukup?!" sahut pemuda itu disertai tawa berkepanjangan.
"Anjing Geladak! Rupanya kau tak lebih dari iblis penghuni api neraka! Kau harus menebus kematian mereka! Hiyaaa...!" teriak Ki Wanayasa geram.
Sekejap saja laki-laki tua itu sudah menerjang Bara Genta. Kakinya meluncur, siap menghantam dada pemuda itu. Namun rupanya Bara Genta sengaja memasang dadanya. Dan begitu kaki Ki Wanayasa mendarat pada sasaran, secepat kilat tangannya terjulur. Tiba-tiba....
Kiah...!
"Huaaakh...!"
Kaki laki-laki tua itu berderak retak terkena pukulan Bara Genta, hingga menjerit tertahan. Dalam gebrakan pertama saja, Kedua Padepokan Pasir Tambi yang mempunyai ilmu lumayan ini dapat dijatuhkan. Maka dapat dibayangkan betapa tingginya kepandaian yang dimiliki Bara Genta.
Melihat kakeknya dapat dijatuhkan, Citrasemi langsung mencabut pedang pendek yang terselip di pinggangnya. Gadis itu cepat melompat dua tombak, menghadang Bara Genta.
"Hei... bagus! Tampaknya kau sengaja menyerahkan diri padaku. Wajahmu cukup cantik. Hm... nanti kau akan mendapat pelajaran yang menyenangkan. Dan itu tidak akan kau lupakan seumur hidup!" sambut Bara Genta disertai senyum yang lebih mirip seringai. Bola matanya berbinar, mengandung hasrat menggebu.
"Iblis Keparat! Jangan coba-coba padaku. Menyentuh kulitku saja, kau mesti mampus!" desis Citrasemi, ketus.
"Citrasemi! Sebaiknya selamatkan dirimu! Iblis itu bukan tandinganmu!" teriak Ki Wanayasa.
Teriakan Ketua Padepokan Pasir Tambi ini tampaknya memang terlambat, karena cucunya telah menyerang dengan jurus-jurus pedang yang cukup hebat. Bara Genta hanya tertawa panjang.
Wut! Wut!
"Haiiit!"
Bara Genta tiba-tiba saja melompat ke samping, kemudian saat pedang di tangan Citrasemi melesat di samping rusuk, tubuhnya berputar. Sedangkan tangan kanan dan kiri meremas dada dan punggung gadis itu.
"Ouuuw...!"
Citrasemi hanya sempat menjerit untuk kemudian ambruk tak berdaya dalam keadaan tertotok. Sebuah ilmu totokan yang langka.
Melihat apa yang dilakukan pemuda itu, sadarlah Ki Wanayasa terhadap apa yang bakal menimpa diri cucunya. Dia tidak mungkin dapat membebaskan Citrasemi, sebelum membunuh Bara Genta.
Karena merasa tidak punya pilihan lain, Ki Wanayasa bertekad untuk mengerahkan seluruh kemampuannya. Seketika langsung dicabutnya pedang pendek dari punggungnya. Pedang kembar itu kemudian diputarnya sedemikian rupa, menimbulkan suara desir halus. Lalu tiba-tiba tubuhnya meluruk cepat.
Set! Set!
"Uts...!" Dengan satu gerakan aneh, Bara Genta berkelit ke samping. Namun pedang lain di tangan Ki Wanayasa menghadangnya. Sehingga dia terpaksa melompat mundur ke belakang.
"Hadapilah jurus 'Pelumpuh Sang Api'! Heaaa...!"
Disertai teriakan keras, Bara Genta mengerahkan jurus 'Pelumpuh Sang Api' yang sangat berbahaya. Dengan jurus ini, setiap serangan Ki Wanayasa selalu dipatahkan Bara Genta. Tidak lama setelah dapat menghalau serangan, Bara Genta menerjang disertai teriakan menggeledek....
"Aji 'Pedut Segara'! Hiyaaa...!" Seketika segulung angin keras disertai kabut tebal menghitam terus meluncur keras ke arah Ki Wanayasa.
Laki-laki tua itu tampaknya merasa kerepotan juga untuk menghindari serangan. Karena kakinya yang retak memang sulit digerakkan. Tidak ada pilihan lain terpaksa tubuhnya dilempar ke samping kiri. Namun pukulan itu dilepaskan secara beruntun. Padahal saat itu Ki Wanayasa belum sempat bangkit berdiri, ketika serangan Bara Genta kembali melesat. Dan....
Glaaar!
"Aaa...!"
Dentuman keras terdengar disertai jerit kematian Ki Wanayasa. Tubuhnya terlempar, dan langsung berubah membiru. Dari hidung, mulut, dan telinganya tampak mengucurkan darah.
"Kakek...!" jerit Citrasemi, melihat kakeknya terkapar tanpa daya. Bagaimanapun, dalam keadaan tertotok seperti itu Citrasemi tidak dapat berbuat apa-apa. Bahkan keselamatan diri sendiri pun terancam.
Bara Genta tertawa melihat Citrasemi ketakutan. Dihampirinya gadis itu. Sementara itu, Ki Wanayasa sendiri tewas beberapa saat setelah terkena pukulan dahsyat tadi.
"Keparat kau! Bebaskan aku. Lebih baik kita bertarung sampai mati!" teriak gadis itu kalap. Matanya melotot, menyimpan kebencian.
"Mengapa harus membuang tenaga sia-sia? Bukankah lebih baik tenagamu dipakai untuk bersenang-senang?" sahut Bara Genta, menjijikkan.
Tanpa membebaskan totokan, pemuda berkulit gelap itu kemudian memanggul Citrasemi di pundaknya. Lalu tubuhnya berkelebat menuju ke suatu tempat yang sunyi.
Tidak lama setelah kepergian Bara Genta, tampak berkelebat dua sosok tubuh berpakaian hijau lumut menuju ke Padepokan Pasir Tambi. Melihat pakaian lusuh yang dikenakan, tampaknya kedua pemuda ini datang dari sebuah tempat yang jauh. Sementara tampang mereka tampak seperti orang gendeng. Kucal dan tak terurus.
Kini setelah sampai di halaman padepokan, mereka jadi terkesiap. Terlebih-lebih setelah melihat mayat Ki Wanayasa.
"Apa yang telah terjadi di sini, Subali?!" tanya salah satu pemuda sambil memeriksa mayat-mayat satu demi satu. Mereka segera menutupi tubuh-tubuh telanjang yang tak tentu arah dengan pakaian seadanya.
"Sama seperti kau, Indrajit. Aku juga tidak tahu apa-apa," sahut pemuda yang dipanggil Subali tegang.
"Kita sudah terlambat datang. Harusnya hal ini tidak terjadi kalau kita tidak saling ngotot di jalanan!" sesal pemuda bernama Indrajit.
"Sekarang apa kau mau menyalahkan aku, Indrajit? Firasatku benar tentang bahaya itu. Tapi kau tetap ngotot ingin menghubungi padepokan lain dulu. Padahal sesuai mimpiku, aku melihat api di Pantai Laut Utara ini," tukas Subali tidak senang.
"Kau saja yang goblok! Kalau sudah merasa bahwa firasatmu benar, mengapa tidak langsung mengajakku kemari?" sanggah Indrajit tidak puas.
"Sudah! Aku tidak suka mengadu mulut. Ki Wanayasa sudah tidak bisa kita tolong lagi. Sekarang satu-satunya yang dapat dilakukan adalah mengubur mayat ini. Setelah itu, baru kita hubungi semua orang di dunia persilatan agar mereka bersikap waspada!"
Sekarang Indrajit tidak bisa menolak perintah saudara seperguruannya itu. Mereka langsung membuat kubur untuk Ki Wanayasa dan murid-muridnya.
Setelah selesai menguburkan mayat-mayat, Indrajit dan Subali langsung beristirahat di pendopo depan. Wajah mereka berselimut debu dan tampak lesu.
"Kita tidak tahu, siapa sebenarnya yang telah membunuh Ki Wanayasa dan murid-muridnya. Tindakan pembunuh itu benar-benar biadab! Belum pernah kulihat pembunuhan disertai pemerkosaan yang sedemikian keji! Rasanya kalau aku bisa menangkap pembunuh itu, akan kumakan mulai dari daging, tulang, sampai kotorannya!" dengus Indrajit.
"Dasar orang jorok! Kotoran orang pun mau kau makan. Kalau aku sih, tidak begitu. Jika pembunuh keji itu berhasil kutangkap, maka akan kucopoti tangan dan kakinya. Kemudian giginya. Baru setelah itu, kubetot pedang tumpul yang berada di bawah pusarnya!" gemas Subali meluap-luap.
"Kurasa dia bukan manusia seperti kita. Paling tidak, giginya bertaring. Matanya juling, karena suka makan beling!"
"Kau ini memang gendeng! Dalam keadaan seperti ini, masih juga bercanda. Seharusnya kita cari jalan keluar untuk memecahkan persoalan yang sedang dihadapi!" rutuk Subali sewot.
"Hahaha...! Apakah kau harus memungkiri kenyataan, bahwa sebenarnya kita Sepasang Pendekar Gendeng?" tukas Indrajit.
Subali hanya dapat menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Ya.... Kita memang Sepasang Pendekar Gendeng. Lalu menurut otakmu yang gendeng, apa yang harus kita lakukan?" tanya Subali kemudian.
"Seharusnya kita temui orang desa ini dulu. Barangkali mereka melihat pembunuh itu. Siapa tahu?"
"Tapi aku sudah sangat lelah. Sebaiknya kita istirahat dulu. Baru nanti kita tanyai mereka!" sergah Subali tidak setuju.
"Setuju tidak setuju, suka atau tidak suka, kau harus mengikuti aku. Kalau tidak...!"
"Kalau tidak kenapa?" potong Subali.
"Kalau tidak akan kuseret kau!" dengus Indrajit.
Dengan terpaksa akhirnya, Subali mengikuti Indrajit. Dalam perjalanan menuju rumah-rumah yang terdapat di depan, tidak henti-hentinya dua laki-laki berjuluk Sepasang Pendekar Gendeng ini berdebat.
"Coba periksa rumah itu. Barangkali kita bisa bertanya pada orang di dalamnya!" perintah Subali.
"Aku bukan budakmu! Kalau kau mau, sebaiknya kita periksa bersama-sama," tolak Indrajit.
"Sontoloyo! Semestinya sudah kutinggalkan kau sejak tadi!" gerutu Subali.
Tidak lama, mereka mulai memeriksa rumah-rumah yang ada. Tapi semua rumah yang diperiksa dalam keadaan kosong, seperti ditinggalkan pemiliknya secara tergesa-gesa.
"Ke mana mereka?" tanya Indrajit.
"Aku juga tidak tahu, Indrajit. Atau, mungkin mereka mengungsi?" duga Subali seperti ditujukan pada diri sendiri.
"Kalau begitu, kita tidak akan mendapat petunjuk apa-apa," keluh Indrajit, kecewa. "Tapi..., eh! Itu ada orang lari ke belakang. Kejar dia!"
Sepasang Pendekar Gendeng langsung melakukan pengejaran dengan ilmu meringankan tubuh yang sudah cukup tinggi. Sebentar saja, mereka telah berdiri menghadang sosok yang lari tadi. Ternyata orang yang dikejar adalah seorang laki-laki tua. Tampaknya dia sangat ketakutan melihat kedatangan Sepasang Pendekar Gendeng.
"Ampun, Tuan! Ampun.... Oh..., jangan bunuh aku. Aku tidak ikut mengungsi, karena tidak kuat berjalan," ratap laki-laki tua itu ketakutan.
Ternyata setelah orang ini diteliti, bagian betisnya terdapat bisul sebesar dada seorang gadis.
"Hei, ada apa dengan kau ini, Ki?" tanya Subali sambil tersenyum-senyum.
"Jangan bunuh aku. Anakku banyak dan masih kecil-kecil. Kalau aku mati, nanti mereka makan apa?"
"Bicaramu ngelantur, Ki. Aku dan kawanku ini hanya ingin tahu, apakah kau melihat siapa yang telah membunuh Ketua Padepokan Pasir Tambi?" ujar Subali.
Barulah laki-laki tua itu menarik napas lega.
"Oh, aku kira Tuan-tuan kawan dari iblis itu. Kalau begitu selamatlah aku," desah laki-laki tua itu.
"Jawab dulu pertanyaan kami, Ki!" desak Subali tidak sabar.
"Orang-orang di sini mengungsi semuanya. Iblis itu mencabuti nyawa orang-orang tidak berdosa seenaknya!" jelas laki-laki tua itu dengan kegeraman yang amat sangat.
"Coba jelaskan ciri-cirinya!" ujar Indrajit.
Dengan tegang laki-laki itu segera menjelaskan ciri-ciri si pembunuh. Bahkan juga diceritakannya kalau cucu Ki Wanayasa telah diculik oleh si pembunuh. Subali dan Indrajit saling pandang.
"Cara yang paling baik adalah dengan mengumpulkan tokoh-tokoh rimba persilatan. Baru setelah itu, kita cari pemuda iblis terkutuk itu," kata Subali.
"Aku hanya menuruti apa yang kau anggap baik saja. Mari kita pergi!" ajak Indrajit.

***

Bara Genta meletakkan Citrasemi di atas tumpukan daun-daun kering. Di tengah-tengah hutan belantara yang sepi, jelas membuat gadis berbaju biru semakin ketakutan. Pemuda berkulit hitam legam ini segera memeriksa keadaan sekeliling tempat itu. Merasa aman, dihampirinya calon korbannya kembali. Dan dia segera berbaring di sebelah gadis itu.
"Jangan macam-macam denganku, Manusia Iblis!" hardik Citrasemi.
"Aku tidak pernah berbuat macam-macam. Untuk gadis sepertimu, aku hanya ingin melakukan satu macam saja. Hahaha...!" sahut Bara Genta sambil tertawa-tawa. Kemudian tangannya yang kekar itu pun mulai bermain-main di bagian dada Citrasemi.
"Bedebah! Enyahkan tanganmu, Keparat...!" desis Citrasemi.
Dalam keadaan tertotok, tentu saja Citrasemi tidak dapat berbuat banyak. Bahkan tidak bisa melakukan apa-apa, ketika tangan Bara Genta menyelinap di balik pakaian dan mulai meremas-remas buah dadanya.
"Keparat! Oh, tolong...!"
"Tidak akan ada orang yang dapat menolongmu. Mengapa kau harus takut? Bukankah aku hanya ingin memberikan kesenangan padamu!" desah Bara Genta, menjijikkan.
Tampaknya, laki-laki bertelanjang dada ini memang sudah tidak sabar lagi dengan apa yang akan dilakukannya. Seketika tangannya cepat bergerak.
Bret! Bret!
"Auuu...!" Citrasemi menjerit-jerit, manakala pemuda bertelanjang dada ini merobek-robek pakaian yang melekat di tubuhnya. Dalam beberapa kejapan saja, gadis itu sudah dalam keadaan telanjang.
Melihat pemandangan menantang di depannya, gairah manusia berhati iblis ini semakin berkobar-kobar. Dengan penuh nafsu diciuminya Citrasemi. Tangan kanannya terus bermain di atas dada. Sedangkan tangan kiri meluncur ke bagian perut dan terus ke bawah. Di sela-sela paha itulah tangan kiri Bara Genta dengan leluasa bermain. Sampai Kemudian segala sesuatunya memang tidak dapat ditunda lagi.
Bara Genta cepat menindih Citrasemi. Gadis itu berusaha mati-matian menyelamatkan kehormatannya. Namun dalam keadaan tertotok seperti itu, apalah dayanya? Laki-laki itu bagaikan banteng liar yang terus menghempas-hempas di atas tubuhnya. Entah berapa lama keadaan seperti itu berlangsung. Sampai akhirnya, Bara Genta terkapar di samping tubuh Citrasemi setelah didahului pekik penuh kenikmatan.
"Hmmm.... Ternyata kau masih suci. Untuk itu, kita dapat melanjutkan kesenangan ini nanti malam! Sekarang, kuberi kelonggaran padamu. Kau harus membersihkan diri di sungai itu!" ujar Bara Genta.
Kemudian pemuda berhati iblis ini membebaskan salah satu totokan di dada Citrasemi dengan cara meremasnya cukup lama. Tetapi di luar dugaan, begitu terbebas gadis yang telah kehilangan kehormatannya ini langsung menyambar pedang yang tergeletak tak jauh darinya. Dia berusaha memasukkan ke dada Bara Genta. Sayang, rupanya pemuda itu melihat tindakan Citrasemi.
"Huh! Dikasih susu malah minta racun!" dengus Bara Genta. Cepat sekali pemuda ini mengibaskan tangannya ke bagian wajah Citrasemi. Sehingga....
Praaak!
"Aaa...!" Citrasemi menjerit tertahan. Kepalanya kontan hancur. Isinya berhamburan bercampur darah. Sedangkan sekujur tubuhnya langsung berubah membiru.
"Hahaha...! Aku adalah Pembegal Jagad! Tidak seorang pun yang boleh meremehkan diriku!" teriak Bara Genta disertai tawa panjang menyeramkan.

***

203. Pendekar Rajawali Sakti : Kitab Pelebur JiwaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang