BAGIAN 3

105 9 0
                                    

Indrajit dan Subali akhirnya berhasil mengundang tokoh-tokoh dunia persilatan yang dikenalnya dengan baik. Pagi itu, mereka menyatakan persetujuan untuk bertemu di Gunung Sumbing. Setelah matahari mulai memancarkan sinarnya di mayapada bagian timur, dari semua penjuru tampak mulai berdatangan orang-orang persilatan beraliran putih.
Yang pertama sampai di tempat itu adalah Sepasang Pendekar Gendeng. Tampaknya, mereka memang tidak ingin para tokoh persilatan menganggap Sepasang Pendekar Gendeng sebagai pihak yang mengundang, tidak dapat menepati waktu.
"Kuharapkan hari ini kita berkumpul semua...."
"Bukankah kita sudah berkumpul?" potong Indrajit.
"Maksudku bukan itu," sergah Subali tidak senang.
"Lalu?"
"Kau ini bagaimana, sih? Orang-orang yang kita undang itu yang kuharapkan kedatangannya. Mengerti?!"
"Itu dia!" seru Indrajit.
Subali segera memandang ke arah utara seperti yang ditunjukkan Indrajit. Saat itu tampak seorang perempuan tua berkulit hitam menuju ke arah mereka. Rambutnya panjang, memakai kerudung putih. Sehingga warna kulit dan kerudungnya sangat bertentangan. Melihat kehadiran perempuan berkerudung ini, Sepasang Pendekar Gendeng langsung menjura dalam-dalam.
"Selamat datang dalam pertemuan rahasia ini, Nyai Jeliteng!" sambut Subali mewakili kawannya.
"Hik hik hik...! Apakah kalian hanya mengundangku saja? Mana kawan-kawan yang lain?" tanya perempuan bernama Nyai Jeliteng.
"Dewi Kerudung Perak," Indrajit langsung menyebut julukan perempuan tua itu. "Mereka yang lain juga kami undang. Mungkin sekarang sedang dalam perjalanan."
"Aku paling tidak sabar menunggu. Tapi tidak mengapa. Demi persatuan orang-orang segolongan, kubiarkan pantatku bisulan karena menunggu orang-orang malas itu!"
Ucapan Dewi Kerudung Perak membuat Sepasang Pendekar Gendeng tersenyum. Dan belum juga mereka memberi tanggapan, kejap itu juga terdengar suara tawa di kejauhan. Suara tawa itu semakin lama semakin bertambah jelas.
"Pastilah yang datang itu Si Gila Ketawa! Mestinya hari ini aku tidak ketemu orang gila itu!" dengus Nyai Jeliteng, bersungut-sungut.
"Dalam suasana gawat seperti sekarang ini, kami harap Dewi dapat menahan sabar untuk melupakan persoalan pribadi!" ujar Indrajit.
"Kurasa Indrajit betul, Dewi. Kita harus bersatu menghadapi iblis keji. Kalau tidak, maka korban yang berjatuhan akan semakin banyak lagi!" timpal Subali.
"Sudah! Kalian yang muda tidak usah menggurui yang tua. Kalian sendiri sama-sama gendengnya!" dengus Nyai Jeliteng.
Benar saja. Sekejap Kemudian muncul seorang laki-laki gemuk pendek berbaju dari kulit beruang hitam. Di punggungnya tergantung dua buah gelang terbang.
"Hahaha...! Tidak kusangka di tempat ini telah hadir pula si perempuan hitam legam. Kalau tidak ada cahaya matahari, tentu aku tidak dapat melihatmu, Dewi Kerudung Perak?!" leceh sosok gemuk berjuluk Si Gila Ketawa.
Diejek begitu, tentu Nyai Jeliteng tidak senang. Langsung diterjangnya Si Gila Ketawa. Baru tubuhnya melayang, Sepasang Pendekar Gendeng telah menghadang sambil julurkan tangan.
Duuuk!
"Heh...?!" Dewi Kerudung Perak sangat terkejut. Matanya melotot dan memandang penuh teguran pada Sepasang Pendekar Gendeng.
"Huh! Ternyata kalian membelanya?" dengus Dewi Kerudung Perak tidak senang.
"Tolol dipelihara!" rutuk Subali. "Kami tidak membela siapa-siapa! Coba kalian pikir baik-baik. Aku mengundang kalian bukan untuk berkelahi sesama golongan sendiri. Sekarang kita harus bersatu untuk mencari iblis itu. Jika kalian saling bunuh di sini, siapa yang rugi?"
"Kau benar, Subali. Mengapa harus membuang tenaga percuma? Jika kita bertarung sampai menjadi bangkai sekalipun, tidak ada artinya, Nyai Jeliteng. Paling hanya menguntungkan cacing tanah saja! Hahaha...!" timpal Si Gila Ketawa sambil terus tertawa.
"Saudara Gila Ketawa! Kuharap Saudara mau menahan tawa sebentar. Tampaknya kawan-kawan kita yang lain mulai datang!" ujar Subali.
Si Gila Ketawa langsung menutup mulutnya. Mereka terkesiap ketika mendengar suara angin menderu yang begitu keras disertai suara petir sambung-menyambung. Lalu....
"Sahabat sekalian. Aku datang memenuhi undangan!"
Sayup-sayup terdengar suara yang ditujukan pada mereka yang berada di lereng Gunung Sumbing ini.
"Dewa Petir?!" seru Nyai Jeliteng.
Dari arah selatan lereng gunung, tampak melesat sesosok tubuh berpakaian serba putih. Di lain saat, tampak seorang laki-laki berbadan kurus berambut putih dan berbaju serba putih telah berdiri tegak di depan mereka. Sepasang Pendekar Gendeng, Dewi Kerudung Perak, dan Si Gila Ketawa langsung menjura dalam-dalam. Memang Dewa Petir termasuk sesepuh dari tokoh-tokoh rimba persilatan golongan putih.
"Selamat datang dalam pertemuan ini, Ki Suta. Kami mengucapkan terima kasih, karena kau bersedia memenuhi undangan kami," sambut Indrajit mewakili yang lainnya.
"Kalian adalah pendekar bebas dalam arti disukai siapa pun. Kuharap pertemuan ini menghasilkan kesepakatan, agar kita dapat bersatu menumpas menyebar malapetaka yang akhir-akhir ini semakin merajalela," ujar Ki Suta alias Dewa Petir sambil mengelus-elus jenggotnya yang panjang.
"Kehadiranmu mempunyai arti besar bagi kami," timpal Si Gila Ketawa.
"Sudahlah.... Jangan terlalu berlebihan. Kurasa jika sudah tidak ada yang ditunggu, kita bisa memulai pembicaraan!" tegas Ki Suta.
"Masih ada, Ki. Mereka adalah Pendekar Seruling Perak dan Pendekar Beruang Merah," lapor Indrajit.
Ki Suta menarik napas panjang. Sebagai orang yang telah berpengalaman dan sesepuh dalam rimba persilatan, Dewa Petir tahu benar bagaimana watak kedua pendekar yang baru disebutkan Indrajit. Mereka paling sulit diajak bicara baik-baik dan suka melakukan sesuatu sendiri-sendiri. Walau memang harus diakui, kepandaian mereka cukup mengagumkan.
"Apakah kau telah menghubungi kedua pendekar itu, Subali?" tanya Dewa Petir.
"Sudah, Ki!" sahut Subali, pelan.
"Lalu, apa jawaban mereka?" tanya Ki Suta lebih lanjut.
"Mereka berjanji akan membantu hingga persoalan yang dihadapi benar-benar tuntas," jelas pemuda itu.
"Kalau itu jawabannya, berarti mereka tidak datang kemari. Yang jelas mereka langsung mencari iblis itu!" sergah Ki Suta.
Dewa Petir akhirnya memutuskan untuk segera memulai memecahkan persoalan yang dihadapi.
"Semua yang hadir di sini..." kata Ki Suta memulai. "Aku perlu menjelaskan dari mana asal-usul lawan kita. Aku pernah bermimpi, bertemu lelembut yang bernama Ki Renta Alam. Menurut dia, orang yang telah melakukan pembunuhan dan pemerkosaan itu bernama Bara Genta...!"
"Bara Genta?" ulang Si Gila Ketawa, mendesis.
"Ya...! Tentu kau tidak mengenalnya. Karena aku sendiri juga tidak kenal. Tapi menurut lelembut yang bernama Ki Renta Alam, kehadiran Bara Genta yang paling utama adalah ingin menghancurkan Pendekar Rajawali Sakti. Ki Renta Alam mengatakan kalau sudah bertemu pendekar itu dan membicarakan segala sesuatunya hingga jelas," papar Dewa Petir.
Sepasang Pendekar Gendeng, Si Gila Ketawa, dan Nyai Jeliteng sama terdiam. Mereka mencoba mengingat-ingat, siapa sebenarnya Pendekar Rajawali Sakti.
"Ki Suta," ucap Si Gila Ketawa. "Kalau tidak salah, pendekar yang dicari Bara Genta adalah pemuda berompi putih bernama Rangga. Dia pendekar pembela kebenaran. Namanya saat ini menjadi buah bibir orang. Dia adalah pendekar golongan lurus. Jika Pendekar Rajawali Sakti sampai memusuhinya, sekarang sudah jelas bahwa Bara Gentalah yang telah melakukan pembunuhan dan pemerkosaan itu. Kita harus mencari untuk menghentikannya."
"Memang itu yang akan kita lakukan. Tetapi persoalan yang paling penting, Bara Genta sebenarnya diutus gurunya agar dunia persilatan dipimpin oleh orang-orang dari golongan sesat!"
"Artinya mereka ingin membuat angkara murka di bumi ini?" tebak Nyai Jeliteng. "Aku pribadi belum pernah bertemu Pendekar Rajawali Sakti. Namun sepak terjangnya telah membuatku kagum. Kita harus membantu pemuda itu dalam mengatasi persoalannya!"
"Yang paling penting, Bara Genta memiliki kepandaian setara dengan Pendekar Rajawali Sakti. Kabarnya, kekuatannya bersumber pada Kitab Pelebur Jiwa. Jika kita dapat memusnahkan kitab itu, berarti sudah dapat mengurangi kesaktian Bara Genta," urai Ki Suta.
"Kitab Pelebur Jiwa? Bagaimana sebuah kitab dapat menimbulkan kekuatan?" tanya Subali heran.
"Menurut Ki Renta Alam, kitab itu dikendalikan kekuatan iblis. Karena iblis sejati yang mengendalikannya, maka kitab itu dapat diperintahkan berbuat apa saja. Termasuk membantu Bara Genta dalam mencapai maksudnya.
"Kurasa ada rahasia lain yang terkandung dalam kitab itu, Ki," Si Gila Ketawa berpendapat.
"Maksudmu?" tanya Ki Suta.
"Kita tidak tahu asal-usul pemuda itu. Tahu-tahu dia muncul melakukan pembunuhan besar-besaran. Apakah ada hubungannya dengan Genta si bajak laut itu?" duga Si Gila Ketawa.
"Genta? Maksudmu bekas raja penyamun yang dulu pernah dikalahkan Ki Wanayasa?" tanya Ki Suta.
"Betul!" jawab Si Gila Ketawa.
Semua orang yang berada di situ terdiam. Mereka kembali teringat pada kejadian beberapa tahun yang lalu, di mana seorang pemuda berumur lima belas tahun telah menjadi kepala bajak laut.
Enam tahun yang silam memang ada seorang bajak laut yang dipimpin pemuda bernama Genta. Dalam usia semuda itu, Genta sudah mampu memimpin anak buahnya dalam melakukan perampokan baik di laut, maupun di desa-desa pinggir pantai. Tindakan mereka cenderung kejam. Mereka bukan hanya menjarah harta benda penduduk saja, melainkan melakukan pemerkosaan terhadap anak-anak gadis Desa Pasir Tambi.
Karena ganasnya tindakan mereka, maka Ketua Padepokan Pasir Tambi yang bernama Ki Wanayasa dan murid-muridnya melakukan perlawanan. Anggota gerombolan perampok itu tewas semuanya. Sedangkan pimpinannya yang bernama Genta disiksa. Ki Wanayasa kemudian menjatuhkan hukuman berat. Yaitu, dengan membuang pimpinan perampok ini ke laut, setelah kaki serta tangannya diikat.
"Ki Wanayasa telah memeriksa Genta ketika itu. Dan dia dinyatakan mati. Jadi tidak mungkin kalau Genta hidup kembali!" bantah Subali.
"Lalu, apakah ujung nama pemuda iblis itu hanya kebetulan saja?" tanya Nyai Jeliteng.
"Yang satu ini lain. Namanya, Bara Genta. Kurasa tidak ada hubungan apa-apa dengan Genta si bajak laut. Lagipula, orang yang sudah mati mustahil hidup kembali!" sanggah Indrajit.
"Menurut Ki Renta Alam,. Bara Genta berasal dari dalam Gua Seribu Malam. Gua itu terletak di dasar Laut Utara!" jelas Dewa Petir.
"Sudahlah.... Mungkin semua itu hanya kebetulan saja. Sekarang apa yang akan kita lakukan?" sela Si Gila Ketawa.
"Sekarang kita saling berbagi tugas," ujar Dewa Petir. "Subali, Indrajit, dan Si Gila Ketawa, mencari Pendekar Rajawali Sakti. Jika sudah bertemu, bantulah dia. Sedangkan Dewi Kerudung Perak ikut bersamaku untuk mencari Bara Genta! Mungkin, saat ini Pendekar Seruling Perak dan Pendekar Beruang Merah sudah melakukan tugasnya. Pesanku, hati-hatilah kalian. Sebab yang kita hadapi memiliki kepandaian sangat hebat."
"Kami akan selalu mengingat-ingat pesanmu, Ki!" jawab Si Gila Ketawa mewakili kawan-kawannya.
Dewa Petir dan Dewi Kerudung Perak kemudian meninggalkan tempat itu. Tinggallah Si Gila Ketawa dan Sepasang Pendekar Gendeng.
"Kawan-kawan kita sudah berangkat. Apakah kita tetap menunggu di sini sampai ubanan?" celetuk Indrajit.
"Hahaha...! Jangan menyindirku Indrajit. Sekarang kita berangkat!" sahut Si Gila Ketawa.
Ketiga pendekar yang sama-sama konyol ini akhirnya menuju ke daerah pinggiran Laut Utara.

***

Satu sosok bayangan putih berkelebat di antara pohon besar yang ada di sekelilingnya di Hutan Wonocolo. Dan tiba-tiba kelebatannya dihentikan ketika melihat seekor serigala hutan berlari ke semak-semak belukar. Sosok bayangan putih yang ternyata seorang pemuda berbaju rompi putih ini langsung melirik ke arah datangnya serigala tadi.
Pemuda dengan pedang bergagang kepala burung di punggung ini mengerutkan keningnya ketika melihat ceceran darah. Dengan cepat melakukan pemeriksaan. Sampai akhirnya ditemukannya mayat seorang gadis tanpa pakaian tergeletak di semak-semak dengan kepala pecah. Bagian kepala yang pecah sudah tidak utuh lagi. Rupanya serigala tadi telah menggerogoti sebagian kulit dan dagingnya.
"Pembunuh biadab!" desis pemuda yang tak lain Rangga alias Pendekar Rajawali Sakti geram. "Aku yakin pelakunya pastilah orang yang sama."
Entah mengapa, Rangga sekarang merasa hatinya semakin terbebani. Bagaimana tidak? Pembunuh itu menghendaki dirinya. Bukan orang lain. Dia melakukan pembunuhan-pembunuhan serta pelampiasan nafsunya. Mungkin karena kebiasaannya, juga karena sengaja ingin memancing perhatian Pendekar Rajawali Sakti agar terus mencarinya.
"Aku harus menemukan orang itu secepatnya, sebelum segala-galanya terlambat!" pikir Pendekar Rajawali Sakti. Rangga bangkit berdiri. Namun belum sempat meninggalkan mayat gadis malang itu....
"Pembunuh keji! Dicari-cari, malah membunuh gadis lain di sini!"
Mendadak terdengar bentakan dari belakang Pendekar Rajawali Sakti yang disusul suara desis angin halus. Sedikit Rangga melirik.
Wuuut!
Pendekar Rajawali Sakti cepat menghindar begitu melihat beberapa sinar keperakan meluncur ke arahnya. Seketika tubuhnya mengegos seraya berputar.
Crep! Crep!
Benda-benda yang ternyata senjata rahasia berupa paku berwarna perak itu langsung menancap di sebuah pohon besar.
"Mengapa kau menyerangku, Kisanak? Bahkan menuduhku yang bukan-bukan?" tanya Rangga heran, ketika di depannya tahu-tahu telah berdiri seorang laki-laki berumur sekitar empat puluh tahun. Rambutnya panjang dan memakai ikat kepala warna putih ini.
"Bukti sudah di depan mata. Kau telah membunuh gadis itu. Orang pun tidak menyangka kalau kau iblis berhati keji!" dengus laki-laki ini.
Mendapat tuduhan yang tidak beralasan, Rangga tentu tidak tinggal diam.
"Hati-hatilah bicara, Kisanak! Aku sendiri sedang mencari si pembunuh yang telah menebar petaka di mana-mana!" kilah Pendekar Rajawali Sakti.
Rupanya laki-laki berbaju putih ini tetap tidak mempercayai ucapan Rangga.
"Kau harus mempertanggung jawabkan perbuatanmu! Hiyaaa...!"
Sambil berteriak keras, laki-laki ini melompat menerjang Pendekar Rajawali Sakti dengan mengerahkan jurus-jurus dahsyat. Rangga segera melompat mundur. Namun lawan terus memburunya. Maka terpaksa Pendekar Rajawali Sakti mengerahkan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib' yang ditunjang mengandalkan kelincahan tubuhnya, untuk menghindari serangan. Sedikit pun dia tak ingin membalas serangan.
"Melawan atau tidak melawan, aku tetap akan membunuhmu!" dengus laki-laki berbaju putih ini.
"Tindakanmu yang gegabah hanya akan membuatmu menyesal seumur hidup!" gumam Rangga.
"Persetan! Heaaa...!"
"Hmmm...!" gumam Rangga tidak jelas.
Setelah berlangsung lima belas jurus, laki-laki berbaju putih ini tetap belum dapat mendesak Rangga. Rupanya kenyataan ini telah membuka matanya. Saat itu juga dicabutnya seruling perak yang terselip di pinggang. Senjata itu kemudian diputarnya dengan cepat, menimbulkan suara menderu-deru. Di lain saat, seruling itu meluncur deras ke beberapa bagian di tubuh Pendekar Rajawali Sakti. Karena cepatnya gerakan senjata itu, hingga sekilas tampak berubah menjadi banyak.
Melihat kenyataan ini, Rangga harus mengakui kehebatan lawannya. Apalagi seruling itu mengeluarkan suara mendengung-dengung menyakitkan telinga.
"Hiyaaa...!" Disertai teriakan keras, Rangga merubah jurusnya menjadi 'Sayap Rajawali Membela Mega'. Dia melompat ke depan. Tubuhnya berkelebat mendekati, sedangkan tangannya yang terjulur berusaha menerobos pertahanan.
Mendapat serangan dahsyat, laki-laki berbaju putih mengibaskan tangannya. Rangga segera menarik balik tangannya, namun kaki kanan cepat meluncur menghantam pinggang.
Desss!
"Higkh...!" Laki-laki itu kontan terpelanting. Pinggangnya seperti remuk dan terasa panas sekali. Cepat dia bangkit berdiri.
"Heaaa...!" Disertai teriakan penuh amarah, laki-laki bersenjata seruling ini kembali menyerang Pendekar Rajawali Sakti dengan jurus-jurusnya yang paling hebat!
"Kuperingatkan sekali lagi padamu, kau menyerang orang yang salah!" teriak Rangga.
Rupanya laki-laki itu tidak meladeninya. Dia malah mulai melepaskan pukulan mautnya.
"Pukulan 'Cucuran Air Mata Dewa'!" teriak laki-laki berbaju putih itu dengan suara keras dengan tangan mengibas ke depan. Dan sederet sinar merah seperti bara meluncur deras ke arah Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti tentu tidak tinggal diam. Sebelum sinar merah itu mengenai sasarannya, kedua tangannya didorong ke depan.
"Aji 'Guntur Geni'! Hiyaaa...!"
Glar! Glaaar!
"Wuaaagkh...!" Teriakan keras laki-laki berbaju putih terdengar. Tubuhnya terlempar jauh ke belakang. Sudut-sudut bibirnya mengucurkan darah. Sedangkan Rangga sendiri hanya bergetar saja.

***

203. Pendekar Rajawali Sakti : Kitab Pelebur JiwaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang