BAGIAN 6

92 8 0
                                    

Ramu-ramuan dari tetumbuhan memang cukup manjur. Apalagi yang membuatnya Anggraini. Dulu, gadis cantik ini pernah belajar dari kakeknya yang memang seorang tabib. Dengan telaten, Anggraini merawat Rangga. Dia bahkan tidak pernah meninggalkan pemuda itu walau barang sekejap pun. Anggraini memang telah berusaha segenap kemampuannya. Tampaknya hatinya tidak rela jika pendekar seperti Rangga harus tewas.
Karena perawatan yang telaten ini, kesehatan Rangga mulai membaik. Dan ketika Dewa Petir bersama Ki Jatayu sedang menyusun rencana di ruangan depan, Rangga mulai sadarkan diri. Matanya yang tertutup tampak mulai terbuka. Matanya memandang ke sekeliling ruangan. Pertama yang dilihatnya adalah putri Kepala Desa Pasir Molek.
"Mengapa aku di sini?" tanya Pendekar Rajawali Sakti dengan suara lemah.
"Kakang tadi tidak sadarkan diri. Sebaiknya, jangan bergerak dulu. Kakang perlu istirahat cukup!" saran Anggraini. Gadis itu menundukkan kepala. Dia tidak berani menatap mata Pendekar Rajawali Sakti secara terang-terangan.
Rangga mencoba mengingat-ingat apa yang telah terjadi sebelumnya. Kini, segala-galanya menjadi jelas. Bukankah dia bertarung habis-habisan melawan Bara Genta? Lalu, musuh besarnya itu tewas di ujung pedangnya.
"Aku ingin melihat mayat Bara Genta!" kata Rangga.
Anggraini menggeleng.
"Bara Genta hilang begitu saja. Entah, siapa yang telah melarikannya!" jelas gadis itu.
"Apa? Bagaimana mungkin?! Bukankah dia sudah mati?!" sentak Rangga seakan tidak percaya.
"Memang! Bahkan aku sendiri melihatnya. Menurut Dewa Petir, Bara Genta mungkin diselamatkan Kitab Pelebur Jiwa."
"Siapa Dewa Petir?" tanya Rangga.
"Dewa Petir adalah orang yang membantu Kakang. Kawannya yang bernama Nyai Jeliteng tewas."
"Mengenai Kitab Pelebur Jiwa, aku telah mendengarnya. Hanya aku tidak melihat kitab itu, ketika berhadapan dengan Bara Genta!" kata Rangga perlahan.
"Kitab itu memang tidak pernah ada. Dia hanya berupa kekuatan gaib yang datang dalam wujud Iblis Hitam."
"Heh?! Sungguh tidak masuk akal. Menurut Ki Renta Alam, kitab itu ada di dalam Gua Seribu Malam di dasar Laut Utara. Kurasa yang benar adalah, di dalam Kitab Pelebur Jiwa berkuasa sebuah kekuatan iblis, yang dapat diperintah melakukan apa saja sesuai kehendak pemiliknya. Jadi yang datang menyelamatkan Bara Genta yang sudah mati itu adalah kekuatan gaib yang berada dalam Kitab Pelebur Jiwa," jelas Rangga.
"Maafkan aku, Kakang. Aku hanya samar-samar saja mendengar pembicaraan antara Ayah dan Dewa Petir," ucap Anggraini meralat kata-katanya. "Sebaiknya Kakang pikirkan dulu masalah kesehatan Kakang. Nanti setelah Kakang pulih benar, baru pikirkan yang lain-lainnya."
Pendekar Rajawali Sakti jadi tak enak hati. Dia merasa yakin pastilah sejak tidak sadarkan diri, gadis ini yang telah mengurusnya.
"Kau baik sekali kepadaku. Aku berhutang nyawa padamu, Anggraini," kata Rangga tulus.
"Pertolongan yang Kakang berikan untuk penduduk di sini, jauh lebih besar daripada semua apa yang telah kuperbuat. Terus terang, aku memang mengkhawatirkan keselamatanmu!" sahut Anggraini, dengan suara bergetar sambil menundukkan kepala.
"Aku merasa berterima kasih atas perhatianmu!" ucap Pendekar Rajawali Sakti.
Pembicaraan antara kedua anak muda itu terhenti ketika Ki Jatayu dan Dewa Petir masuk ke dalam ruangan.
"Puji syukur pada Yang Maha Tunggal. Ternyata kau sudah sadar, Rangga," desah Ki Suta. "Perkenalkan aku Dewa Petir. Dan aku tahu namamu dari Ki Jatayu. Sungguh pertemuan yang tidak disangka-sangka...."
"Salam hormatku untukmu, Dewa Petir. Sayang, kita tak bisa berbincang-bincang lama, karena nanti sore aku sudah harus melakukan perjalanan kembali untuk mencari mayat Bara Genta yang hilang," kata Rangga, sambil memberi hormat dengan merapatkan telapak tangan di depan dada.
"Tapi kau memerlukan istirahat lebih lama, Pendekar Rajawali Sakti. Aku takut Bara Genta hidup kembali!" sergah Dewa Petir cemas.
"Bagaimana mungkin?" tanya Rangga.
"Tentu saja berkat Kitab Pelebur Jiwa. Tentu kau tidak tahu kekuatan Iblis Hitam yang menguasai kitab itu," jelas Ki Suta.
"Lalu...?"
"Untuk sementara, biarkan kami yang mencari mayat Bara Genta. Itu pun kalau memang dia benar-benar mati. Tetapi jika hidup kembali, aku dan kawan-kawan segolongan tentu harus menghadapinya!"
"Dewa Petir! Kau sendiri sudah merasakan kehebatan Bara Genta. Kita harus menemukan cara lain untuk menghadapinya!" kata Rangga.
"Waktu kita sangat terbatas...."
Ucapan Ki Suta ini langsung terhenti ketika melihat salah seorang penduduk memberi isyarat pada kepala desanya agar keluar sebentar. Ki Jatayu langsung menjumpai warganya. Namun tidak lama dia telah datang kembali menjumpai Ki Suta dan Rangga.
"Menurut wargaku, ada tiga orang gila ingin menjumpaimu, Ki," lapor Ki Jatayu.
Dewa Petir tersenyum-senyum. Sudah dapat ditebak siapa kiranya yang datang.
"Suruh mereka masuk!" pinta Ki Suta pada Kepala Desa.
Tanpa berkata apa-apa, Ki Jatayu segera keluar lagi. Dan ketika kembali, dia sudah bersama tiga orang laki-laki.
"Hahaha...! Akhirnya kita bertemu kembali, Ki! Di tengah jalan, kami bertemu Pendekar Seruling Perak. Tapi Kemudian dia memilih berpisah dan bergabung bersama Pendekar Beruang Merah. Hahaha...! Sungguh tolol dia!" kata laki-laki gemuk berbaju dari kulit beruang hitam itu disertai tawa.
"Betul, Ki," timpal laki-laki lain. "Katanya mereka takut jadi gendeng, karena ikut kami!"
"Gila Ketawa dan Sepasang Pendekar Gendeng! Pendekar yang terbaring ini adalah Pendekar Rajawali Sakti! Silakan kalian saling berkenalan," ujar Dewa Petir, tak menghiraukan gurauan kawan-kawannya yang baru datang.
Baik Si Gila Ketawa maupun Subali dan Indrajit memandang ke arah Rangga. Kemudian mereka saling bersalaman. Namun mendadak, Si Gila Ketawa terpingkal-pingkal.
"Hahaha...! Pendekar Rajawali Sakti! Kulihat kau berhasil membuat Pendekar Seruling Perak yang berangasan kaku seperti patung. Setelah sampai di sini, kulihat pula wajahmu babak belur. Bagaimana ini?!"
"Bukan babak belur, tapi hampir mati," sahut Rangga kalem.
"Gila Ketawa! Kuharap dalam suasana seperti ini kalian dapat bersikap lebih bersungguh-sungguh. Sekarang aku ingin bertanya. Selama dalam perjalanan, apa yang kalian dapatkan?" sela Dewa Petir.
Indrajit maju ke depan mewakili dua orang kawannya.
"Tidak banyak, Ki. Terakhir, kami melihat kejadian yang sangat sulit diterima akal," jelas Indrajit.
Kemudian Indrajit secara terperinci menceritakan tentang mayat Bara Genta yang dihidupkan kembali oleh Iblis Hitam.
"Apakah Iblis Hitam membawa Kitab Pelebur Jiwa? Atau mungkin dia menyinggung-nyinggung tentang kitab itu?" tanya Dewa Petir, setelah Indrajit selesai bercerita.
"Sebenarnya Kitab Pelebur Jiwa adalah sumber kebangkitan Iblis Hitam itu sendiri. Kita tidak mungkin dapat menemukannya, karena tidak akan ada yang sanggup menyelam di dasar Laut Utara. Satu-satunya cara yang terbaik menurutku adalah dengan cara memancing Rumbai Mangkulangit alias Si Bayang-Bayang keluar dari Gua Seribu Malam," kata Si Gila Ketawa mengemukakan pendapatnya.
"Kurasa pendapat Gila Ketawa benar, Ki Suta," timpal Rangga. "Untuk itu, kita harus menemukan Bara Genta yang telah berhasil dihidupkan kembali oleh Iblis Hitam. Satu kelemahan kita, tidak seorang pun di antara kita yang tahu, dengan cara bagaimana dapat melakukannya!" keluh Rangga.
"Maaf.... Kudengar kau seorang pendekar besar. Kurasa kau mampu mengatasinya!" kata Subali.
Rangga tersenyum saja. Sejenak suasana jadi hening.
"Ingat! Si Bayang-Bayang sengaja menciptakan jurus-jurus serta ajian yang gunanya untuk mematahkan seranganku. Kau dapat bertanya langsung pada Dewa Petir, betapa hebatnya dia, Subali!" kata Pendekar Rajawali Sakti, memecah keheningan.
"Hmmm.... Kalau begitu, semakin sulitlah bagi kita untuk menyelesaikan persoalan satu ini," keluh Indrajit.
"Rangga.... Sebaiknya kau istirahat saja dulu. Nanti sore kita bahas lagi persoalan ini," ujar Dewa Petir.
"Baiklah.... Kalau itu maumu, untuk sementara ini aku hanya dapat menurut saja," sahut Rangga.
Dewa Petir dan yang lainnya, termasuk juga Kepala Desa Pasir Molek meninggalkan ruangan kamar yang ditempati Pendekar Rajawali Sakti. Sehingga di dalam ruangan itu sekarang hanya tinggal Rangga dan Anggraini saja.
"Anggraini.... Sebaiknya kau tinggalkan aku sebentar saja!" pinta Rangga.
Anggraini tersenyum. Dengan perasaan tulus ditinggalkannya ruangan kamar ini. Setelah putri kepala desa itu meninggalkannya, Rangga berusaha menggerakkan tubuhnya. Tapi niatnya urung. Karena entah dari mana datangnya, tahu-tahu seorang lelaki tua berbadan pendek berambut putih telah berada di depannya!
"Ki Renta Alam!" seru pemuda berbaju rompi putih itu.
"Syukur otakmu masih waras, sehingga masih mengenali siapa aku ini," kata laki-laki tua itu sambil mengelus-elus jenggotnya yang cuma beberapa lembar.
"Ya! Tetapi aku hampir mati di tangannya!" sahut Rangga lesu.
"Kau tidak boleh putus asa! Dia adalah musuhmu. Dan kau harus bisa mengatasi persoalan yang dihadapi," ujar Ki Renta Alam, tegas.
"Seperti ceritamu beberapa waktu yang lalu, Ki. Dia dapat mengatasi setiap jurus maupun pukulan yang kukerahkan untuk menyerangnya. Aku baru bisa membunuhnya, setelah mempergunakan Pedang Pusaka Rajawali Sakti. Kini setelah dibawa Iblis Hitam, dia dapat hidup kembali. Pernahkan kau berpikir bahwa saat ini aku benar-benar mengalami kesulitan?" tanya Rangga.
Ki Renta Alam tersenyum.
"Semua manusia di muka bumi ini punya kesulitan sendiri-sendiri. Aku bisa sedikit membantu persoalanmu."
"Hanya sedikit saja?" ujar Rangga, tak puas.
"Dengar dulu," sela Ki Renta Alam. "Hanya padamu, sebagai lelembut aku mau menampakkan diri. Kau bisa mengalahkan dia, hanya pada siang hari saja. Satu hal yang perlu kau ingat, Bara Genta dulunya hanya bernama Genta saja. Dialah kepala bajak laut yang ditenggelamkan Ki Wanayasa di Laut Utara. Dia sebenarnya sudah mati, tetapi berhasil dihidupkan kembali berkat Kitab Pelebur Jiwa. Si Bayang-Bayang menambahkan nama Bara di depan namanya. Dengan arti, bara tidak akan pernah padam. Sekarang Bara Genta sudah dua kali mengalami kehidupan. Sekali lagi binasa, dia sudah tidak punya kehidupan lagi...!" papar Ki Renta Alam.
"Lalu...?"
"Jika kau berhasil membunuhnya, usahakan mayatnya jangan sampai menyentuh tanah. Mayat itu boleh disangkutkan di mana saja. Untuk melakukan semua itu, kau bisa bekerja sama dengan Dewa Petir. Dan kabarkan kepada semua kawan-kawannya, tentang kelemahan Bara Genta ini. Yang perlu kutekankan, kalian harus bertarung dengannya hanya pada siang hari saja. Karena pada saat itu, kekuatannya tidak sehebat pada malam hari. Itulah kekuatan semua iblis. Nah, sekarang apa kau sudah mengerti?"
"Sudah, Ki," sahut Rangga.
Ki Renta Alam menggelengkan kepalanya. Entah apa maksud gelengan kepalanya. Rangga sendiri tidak mengerti. Ki Renta Alam lantas duduk di pinggir tempat tidur yang ditempati Rangga. Kemudian matanya melirik ke arah pintu, seakan apa yang ingin diucapkannya takut didengar orang lain.
"Rangga! Ada satu hal lagi yang perlu kau ketahui," bisik Ki Renta Alam.
"Apa itu, Ki?" tanya Rangga.
"Secara tidak langsung, putri kepala desa itu telah menyelamatkan dirimu."
"Ya, aku tahu. Dan aku telah berterima kasih kepadanya," jawab Rangga.
Ki Renta Alam tertawa perlahan.
"Yang kau tidak tahu, sebenarnya Anggraini menyukaimu. Dia mencintaimu. Belum pernah ada cinta anak manusia sebesar cintanya. Aku tidak mengajarimu bersikap macam-macam. Karena menurut mata gaibku, kau sudah punya kekasih bernama Pandan Wangi. Hahaha...!"
Rangga tersipu. Dia sama sekali heran, bagaimana manusia lelembut ini bisa tahu nama kekasihnya. Padahal pemuda ini tidak pernah bercerita tentang masalah pribadinya pada siapa pun.
"Kau bisa saja, Ki!" kata Pendekar Rajawali Sakti salah tingkah.
"Sudahlah.... Tidak usah dipersoalkan lagi. Sekarang aku mau pergi. Tapi kuharap kau mau memejamkan matamu sebentar!" pinta Ki Renta Alam.
"Kenapa?"
"Supaya kau tidak mengintipku. Hahaha...!"
Rangga langsung memejamkan matanya. Ketika matanya membuka kembali, Ki Renta Alam sudah lenyap dari ruangan.
Setelah semalam Rangga memaparkan pertemuannya dengan Ki Renta Alam yang menjelaskan kelemahan-kelemahan Bara Genta, paginya Si Gila Ketawa dan Sepasang Pendekar Gendeng berangkat lebih awal untuk mencari Pembegal Jagad. Tindakan mereka yang secara diam-diam membuat Ki Suta marah besar. Dia khawatir terjadi sesuatu terhadap tiga orang sahabatnya.
"Apakah kita harus menyusulnya, Rangga?" tanya Dewa Petir.
"Aku memerlukan waktu sehari lagi untuk menyembuhkan luka-luka yang masih tersisa, Ki!" pinta Rangga, terus terang.
Memang Pendekar Rajawali Sakti harus memulihkan kesehatannya secara menyeluruh. Sebab dia sendiri sudah merasakan, betapa dahsyatnya perlawanan yang dilakukan Pembegal Jagad.
"Sebaiknya aku berangkat duluan!" usul Dewa Petir.
"Tidak jelaskah perkataanku ini, Ki?"
"Aku memahami sepenuhnya. Tetapi mereka tidak mungkin mampu menghadapi Bara Genta!" sergah Dewa Petir, cemas.
"Baiklah, Ki. Aku hanya dapat mendoakan keselamatan kalian saja...!" ucap Pendekar Rajawali Sakti.
Saat itu juga berangkatlah Dewa Petir menyusul kawan-kawannya. Rangga memang tidak dapat menyertainya, karena harus mengembalikan kesehatan tubuhnya yang sempat terluka parah.

***

Di tengah-tengah teriknya matahari siang ini, dua laki-laki berusia kurang lebih empat puluh tahun terus berjalan sambil mengedarkan pandangan ke sekitar Hutan Wonocolo. Mereka kemudian menemukan ceceran darah yang telah mengering.
"Kurasa dia masih di sekitar sini, Beruang Merah! Subuh tadi, aku sempat melihat Bara Genta dihidupkan kembali oleh Iblis Hitam. Lagi pula, dia pasti mencari korban baru," kata laki-laki berbaju putih yang tak lain Pendekar Seruling Perak.
"Kau bersama orang-orang gendeng! Mana mungkin orang gendeng bisa mengambil tindakan tepat!" gerutu laki-laki satunya yang ternyata Pendekar Beruang Merah.

"Memang benar, Sahabatku. Aku bisa jadi gendeng, bila ikut mereka terus. Itu sebabnya aku mencarimu," jelas Pendekar Seruling Perak.
Rupanya, mereka sama sekali tidak menyadari ada sepasang mata yang terus mengawasi dari atas sebuah pohon besar. Sosok pemilik sepasang mata itu menyeringai. Sehingga wajahnya yang angker semakin bertambah menyeramkan. Dan tiba-tiba, sosok itu melompat dari atas pohon. Gerakannya ringan, tidak menimbulkan suara. Jelas ilmu meringankan tubuhnya sangat sempurna.
"Kalian mencari aku?"
"Heh...?!" Serentak kedua pendekar itu menoleh ke belakang ketika mendengar suara menggetarkan. Mereka terkejut, karena orang menegurnya tadi tidak lain dari Bara Genta.
Pendekar Seruling Perak langsung meneliti keadaan Bara Genta. Ternyata pemuda bertelanjang dada ini dalam keadaan sehat tidak kurang sesuatu apa pun. Luka di perutnya juga sudah tidak meninggalkan bekas sama sekali.
"Ya! Memang kami mencarimu!" jawab Pendekar Seruling Perak.
"Hahaha...! Kalian hanya mengantar nyawa sia-sia. Pulanglah ke pangkuan ibumu!" ejek Bara Genta disertai senyum mengejek. Ucapan Bara Genta yang sangat meremehkan membuat kedua pendekar ini menjadi marah.
"Kau terlalu memandang remeh pada kami, Manusia Iblis!" teriak Pendekar Beruang Merah gusar.
"Hahaha...! Aku bicara apa adanya! Jika Pendekar Rajawali Sakti saja tidak sanggup mengalahkan aku, apalagi kalian!" dengus Bara Genta.
"Kurang ajar! Kesalahanmu sudah selangit. Jangan coba-coba menakut-nakuti kami!" desis Pendekar Beruang Merah.
"Sekarang yang bicara adalah kenyataan. Kalau kalian tidak percaya, cobalah maju. Tidak usah satu-satu, tapi sekalian secara berbarengan!" tantang Bara Genta.
Disertai amarah meluap, Pendekar Beruang Merah memberi isyarat pada Pendekar Seruling Perak untuk melakukan penyerangan.

***

203. Pendekar Rajawali Sakti : Kitab Pelebur JiwaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang