"Heaaat..!"
"Chiaaat...!"
Suara-suara pertarungan terdengar keras membahana, seperti hendak meruntuhkan isi alam ini. Seorang gadis berbaju merah yang tak bersenjata, berusaha mengimbangi permainan tongkat seorang laki-laki setengah baya berpakaian serba putih. Beberapa kali tongkat itu mengancam keselamatannya. Namun tak satu pun yang mampu menyentuhnya. Bahkan dengan satu kelebatan gesit, gadis itu berhasil menyarangkan tendangan ke perut.
Duk!
"Aaakh!"
Laki-laki setengah baya itu terjajar beberapa langkah, setelah mengeluh tertahan. Namun, gadis lawannya seperti tak memberi kesempatan.
Desss!
Sebelum laki-laki itu terjengkang, gadis ini cepat merampas tongkatnya. Langsung dipatahkannya tongkat itu dengan mengadukannya pada pangkal paha.
Krak!
"Siapa lagi sekarang?" tantang gadis ini, sambil menatap lawannya yang terpental sejauh lima langkah dengan mulut meringis. Kemudian matanya memandang dua laki-laki lain yang juga berusia setengah baya, mereka sejak tadi mengawasi pertarungan.
"Biar aku yang meladenimu!"
Salah seorang laki-laki yang bertubuh agak gemuk, melompat ke hadapan gadis itu.
"Sebutkan namamu, Cah Ayu! Aku Jumeneng, siap melayanimu dengan senjata atau tanpa senjata!" ujar laki-laki gemuk ini tegas.
"Aku Sekarsari. Bertangan kosong atau bersenjata, terserah!" sahut gadis yang tak lain Sekarsari, lantang.
"Aku bertangan kosong," kata laki-laki bernama Ki Jumeneng.
"Baik. Kalau begitu bersiaplah. Lihat serangan!"
Tanpa basa-basi, gadis berbaju merah itu menyerang. Kepalan kanannya menghantam ke muka. Sedangkan telapak tangan kirinya mengincar dada. Ki Jumeneng coba menangkis dengan mengibaskan tangannya ke kiri dan kanan.
Plak! Plak!
"Gila! Semuda ini tenaga dalamnya luar biasa! Pantas saja Kakang Bangira begitu mudah dikalahkannya!" keluh Ki Jumeneng membatin.
"Heaaa...!"
Serangan gadis itu gencar tak berhenti, seperti ombak di lautan. Sampai-sampai, Ki Jumeneng kalang kabut dibuatnya. Bahkan sama sekali tidak diberi kesempatan untuk mengembangkan jurus-jurusnya. Apalagi untuk balas menyerang.
Lewat dua jurus, keadaan Ki Jumeneng kian terdesak. Satu tendangan Sekarsari yang sempat ditangkis membuatnya sempoyongan. Gadis itu tidak memberi kesempatan. Tubuhnya meluncur deras. Seketika tendangan beruntunnya menghujani laki-laki setengah baya itu tanpa henti.
Desss...!
"Aaakh...!" Ki Jumeneng menjerit kesakitan. Tubuhnya terjungkal beberapa langkah ke belakang.
"Cukup, Nisanak!" Terdengar bentakan keras, yang disusul berkelebatnya satu sosok tubuh sambil menyabetkan tombaknya ke perut Sekarsari yang terpaksa menghentikan serangannya pada Ki Jumeneng.
"Hup!"
Dengan gesit, gadis ini melenting ke atas dan bersalto beberapa kali di udara menghindari kejaran ujung tombak. Begitu mendarat, tubuhnya melesat ke arah laki-laki bersenjata tombak yang kini menjadi lawannya.
"Uhh...!" Laki-laki itu terkesiap. Tombaknya tidak sempat menghalau serangan. Maka dengan nekat dipapakinya serangan itu dengan telapak tangan kiri.
Plak!
"Aaakh...!"
Laki-laki itu pun mengeluh tertahan, ketika menahan pukulan Sekarsari. Cepat dia melompat ke belakang menghindari serangan berikut sambil mengibaskan tombak.
Kaki kanan Sekarsari bergerak secepat kilat menahan serangan tombak.
Krakkk...!
"Heh?!" Laki-laki itu terkejut melihat tombaknya patah jadi dua. Belum juga keterkejutannya hilang, Sekarsari telah berkelebat sambil menghantamkan kepalan tangannya ke dada!
Desss...!
"Aaakh...!"
Laki-laki bersenjata tombak itu kontan terjengkang ke tanah. Mulutnya meringis menahan sakit. Kedua tangannya mendekap dada yang terasa nyeri.
"Hm.... Kalau masih penasaran, kau boleh melawanku lagi!" tantang Sekarsari.
"Tidak! Kami menyerah kalah padamu, Nisanak...," sahut laki-laki itu, lemah.
Gadis itu agaknya tidak puas. Tapi, tak bermaksud menghajar mereka.
"Dapatkah kalian tunjukkan padaku, siapa di wilayah ini yang berilmu tinggi?" tanya Sekarsari, bernada sedikit pongah.
"Nisanak! Apakah hal itu amat penting bagimu?" tanya laki-laki bernama Ki Bangira, orang pertama yang berhasil dijatuhkan gadis itu.
"Itu bukan urusanmu! Katakan saja, siapa tokoh-tokoh silat yang kalian kenal? Orang itu mesti hebat!" sentak gadis ini.
"Di wilayah ini banyak sekali, Nisanak. Kami tak bisa menyebutkannya satu persatu."
"Kau bisa sebutkan beberapa orang. Mereka mesti tokoh papan atas!"
"Hm, mungkin..., si Toya Maut. Dia guru kami. Atau si Pedang Kilat, dan Ki Baladewa. Mereka tokoh angkatan tua yang berilmu tinggi."
"Di mana mereka tinggal?" tanya Sekarsari bersemangat. "Siapa di antara mereka yang paling tangguh?"
"Nisanak.... Kami tak bisa mengatakan, siapa yang paling hebat...," kali ini yang menyahuti Ki Jumeneng.
"Hm.... Aku ada pertanyaan. Dan kuharap, kalian bisa menjawab. Siapa saat ini tokoh persilatan yang paling menonjol? Tidak peduli dia tokoh jahat ataupun tokoh baik," tanya Sekarsari.
"Kau sungguh-sungguh hendak menantang mereka?" tukas Ki Bangira.
"Itu urusanku!" sahut gadis ini ketus. "Jawab saja pertanyaanku!"
"Mungkin tak banyak. Tapi tokoh terkenal belakangan ini, salah seorang adalah yang bergelar Pendekar Rajawali Sakti," jelas Ki Bangira.
"Di mana bisa kutemui dia?" cecar Sekarsari.
"Dia mengembara ke mana-mana, sehingga sulit ditemui."
"Tunggu dulu...!" sela Ki Jumeneng ketika melihat seseorang melintasi tempat itu. Tampak seorang pemuda berbaju rompi putih dengan pedang berhulu kepala burung rajawali tersandang di punggung tengah menunggang kuda menuju tempat itu.
"Agaknya kau amat beruntung, Nisanak. Orang yang kita bicarakan ada di sini...," kata Ki Jumeneng.
"Apa maksudmu?" tanya Sekarsari.
"Pemuda itulah yang bergelar Pendekar Rajawali Sakti."
"Hmm!"
Begitu melintas pemuda yang tak lain Rangga tersenyum sambil mengangguk pelan. Laju kudanya segera dilambatkan. Dia sama sekali tidak bermaksud berhenti, tapi Sekarsari telah menghadang sambil berkacak pinggang. Mau tak mau, terpaksa Pendekar Rajawali Sakti menghentikan laju Dewa Bayu. Lalu dia turun dari kudanya.
"Nisanak! Ada apa ini? Kenapa kau menghalangi langkah kudaku?" tanya Rangga dengan kening berkerut.
"Aku ingin tahu, apakah kau yang bergelar Pendekar Rajawali Sakti?" tanya Sekarsari, langsung.
"Ah..., itu hanya julukan kosong belaka," sahut Rangga, merendah.
"Kudengar kau seorang pendekar digdaya? Aku ingin mengujimu!" tukas Sekarsari.
Rangga menarik napas sesak sambil menggeleng lemah.
"Satu lagi perempuan, aneh!" keluh Pendekar Rajawali Sakti di hati. "Ada berapa banyak perempuan aneh di jagat ini?"
"Kenapa kau diam?" kejar gadis itu.
"Eh, maaf! Nisanak, kukira kau salah alamat," kelit Rangga.
"Bukankah kau Pendekar Rajawali Sakti?"
"Ah, itu tidak benar! Aku hanya ingin gagah-gagahan saja memakai nama itu," Rangga berdusta.
"Anak muda! Aku pernah melihatmu beberapa minggu lalu. Dan kurasa, aku tak mudah lupa begitu saja. Kau adalah Pendekar Rajawali Sakti!" cetus Ki Jumeneng.
"Orang sinting!" maki Rangga dalam hati. Namun begitu Pendekar Rajawali Sakti coba tersenyum dan berusaha bersikap wajar.
"Kurasa kau salah mengenali orang, Ki. Aku sama sekali bukan Pendekar Rajawali Sakti. Tahukah kalian, mengapa aku menggunakan namanya? Ya, karena orang sering keliru mengenaliku. Makanya kugunakan kesempatan ini untuk membonceng namanya buat gagah-gagahan," lanjut Rangga terus berdusta.
"Tapi..., tapi wajahmu mirip sekali...," kata Ki Jumeneng, sedikit ragu meski batinnya masih tak percaya.
"Orang sepertimu mestinya dapat hukuman! Memakai nama orang lain untuk gagah-gagahan!" dengus Sekarsari siap menyerang.
"Brengsek!" maki Rangga, membatin. "Kenapa tadi aku mesti lewat sini? Dasar nasib apes!"
"Hiih!" Gadis itu langsung melayangkan tangan ke pipi.
Mulanya Rangga pasrah. Tapi merasakan angin serangan kuat yang bisa merontokkan gigi-gigi, mau tak mau dia mesti menghindar.
"Hmm!" Tinggal seujung rambut lagi jaraknya, Pendekar Rajawali Sakti melengos cepat.
Wuuuttt! Plas!
Angin serangan itu terasa menampar pipi Rangga kuat sekali. Tapi, itu sudah cukup membuat gadis ini kagum. Demikian pula tiga laki-laki setengah baya yang berada di situ.
"Orang biasa tak mampu berkelit begitu gesit...," kata Ki Bangira.
"Aku yakin, dia memang Pendekar Rajawali Sakti!" tandas Ki Jumeneng.
"Tapi kenapa dia mesti berbohong?" tanya laki-laki setengah baya yang satu lagi, seperti bertanya untuk diri sendiri.
"Mungkin dia tak ingin terlibat perkelahian, Purwaka!" jawab Ki Bangira menduga.
"Mungkin juga. Tapi sekarang telah terlambat...," desah laki-laki bernama Purwaka.
"Mereka kini terlibat perkelahian seru, sungguh suatu pertunjukan yang tak mungkin kita lewatkan...," tunjuk Ki Jumeneng.
Apa yang mereka katakan memang benar. Melihat tamparannya luput. Gadis itu melanjutkan serangan. Kepalan kirinya maju ke dada. Tapi pemuda itu telah melompat ke udara, sehingga pukulan itu menghantam angin.
"Huh! Ternyata kau hanya bisa menghindar saja! Ayo serang aku!" bentak Sekarsari garang, karena tak satu pun serangannya yang berhasil.
"Aku tak bermaksud begitu, Nisanak. Tapi berkelahi tanpa alasan kuat bukanlah sifatku," tolak Rangga halus.
"Aku tak peduli sifatmu. Kau harus bisa mengalahkanku!" desah gadis ini.
"Itu lebih tak mungkin! Untuk urusan apa sehingga aku mesti mengalahkanmu? Bertemu pun baru hari ini," Rangga memberi alasan.
"Aku tak peduli!" sentak Sekarsari.
"Kalau begitu kita tak perlu bertarung! Aku tak mau melawanmu!" tandas Rangga.
"Kalau begitu aku akan menghajarmu! Heaaa...!" Sekarsari menghentakkan kedua tangannya, melepaskan pukulan jarak jauh. Seketika selarik sinar merah meluruk ke arah Pendekar Rajawali Sakti.
"Hup!"
Blarrr...!
Rangga melenting ke atas, membuat sinar merah itu menghantam sebuah pohon hingga tumbang dan hangus seketika.
"Nisanak! Aku tak ingin di antara kita ada yang terluka!" Kali ini Rangga mengeluarkan suara keras setelah mendarat di tanah. Hatinya benar-benar kesal menghadapi gadis seperti yang pernah ditemuinya dua kali. Tanpa ada masalah apa-apa, langsung mengajaknya bertarung.
"Aku tak peduli!" sahut Sekarsari.
"Kalau sekadar ada yang kalah, aku punya usul," ujar Pendekar Rajawali Sakti.
Gadis itu memandang tajam pada Pendekar Rajawali Sakti.
"Apa maksudmu?" tanya Sekarsari.
"Bukankah yang kau inginkan hanya kekalahan atau kemenangan?"
"Ya."
"Kalau begitu tak perlu kita saling melukai. Bagaimana kalau diadakan adu kecepatan, atau sejenisnya. Umpamanya, bila aku berhasil mengambil ikat kepalamu yang berwarna merah itu, maka aku yang menang. Sebaliknya, bila kau berhasil menyentuh kepalaku saja kau yang menang. Bagaimana? Kau setuju?"
Sekarsari berpikir sebentar, sebelum akhirnya menyetujui.
"Baiklah. Kuberi kau kesempatan lima jurus, untuk mengambil ikat kepalaku. Kalau gagal, kau kalah. Dan bila berhasil, kau menang," ujar Sekarsari.
"Begitu memang lebih adil."
"Silakan dimulai!"
"Hmm." Rangga menatap tajam ke arah ikat kepala gadis itu, lalu secepatnya bergerak. Namun Sekarsari bergerak begitu gesit. Sambil menghindar ke samping, ditepis tangan Rangga.
Plak!
Beberapa kali Rangga mencoba, namun hal itu tak mudah. Selain gesit, gadis itu pun melindungi ikat kepalanya dengan baik. Dan sampai tiga jurus berlalu, ikat kepala itu belum juga berhasil direbut Pendekar Rajawali Sakti.
"Tinggal dua jurus lagi. Dan kau mesti mempertaruhkan kesempatan itu," kata Sekarsari, mengingatkan.
"Tenang saja. aku pasti berhasil merampasnya," ujar Pendekar Rajawali Sakti, kalem.
Lalu dengan sigap Rangga kembali melompat menerkam. Sasarannya tetap tertuju ke arah ikat kepala. Sementara Sekarsari pun semakin apik melindunginya.
"Heaaa...!
Tapi mendadak pemuda itu melayangkan tendangan ke arah perut. Dengan wajah terkejut Sekarsari cepat mencelat ke belakang.
"Hiaaa...!"
Rangga mengejarnya gesit sambil melepas pukulan beruntun berisi tenaga dalam kuat. Dengan sigap, Sekarsari membuat pertahanan dengan kedua tangannya
Plak! Plak!
"Hmm!" Gadis itu menggeram ketika tubuhnya terjajar beberapa langkah. Dahinya berkerut. Serangan pemuda itu mulai terasa berat. Sedangkan dia tak punya kesempatan untuk balas menyerang.
Pendekar Rajawali Sakti agaknya tak mau memberi sedikit pun kesempatan. Belum juga sempurna Sekarsari berdiri, Rangga telah berkelebat cepat bagai kilat mengerahkan jurus 'Seribu Rajawali'. Ketika Rangga mengitari gadis itu, tubuhnya jadi berubah bagai puluhan jumlahnya. Dan ini membuat Sekarsari bingung setengah mati. Dia berusaha memperhatikan, mana Pendekar Rajawali Sakti yang asli. Tapi semakin lama memperhatikan, dia semakin bingung saja.
"Heaaa...!"
Ketika perhatian Sekarsari tertuju pada salah satu bayangan Pendekar Rajawali Sakti, tahu-tahu dari arah belakangnya terdengar teriakan keras di sertai desir angin halus. Dan....
Slap!
"Oh...?!" Sekarsari tercekat, karena tahu-tahu ada yang aneh di kepalanya. Ketika tangannya bergerak meraba kepala....
"Kau mencari ikat kepalamu, Nisanak? Ini, ada di tanganku...!"
"Heh...?!" Gadis itu menoleh ke kiri dengan wajah terkejut.***
KAMU SEDANG MEMBACA
204. Pendekar Rajawali Sakti : Titah Sang Ratu
ActionSerial ke 204. Cerita ini diambil dari Serial Silat Pendekar Rajawali Sakti karya Teguh S. Dengan tokoh protagonis Rangga Pati Permadi yang dikenal dengan Pendekar Rajawali Sakti.