BAGIAN 8

100 9 0
                                    

"Eh! Kalian pun ternyata ada di sini? Apa kabar?" tegur Pendekar Rajawali Sakti, pura-pura seperti tak terjadi masalah sebelumnya.
"Tidak usah tersenyum-senyum. Kali ini, kau tidak bisa kabur lagi," kata gadis berbaju biru yang bernama Gandasari.
"Sekarsari! Agaknya kau lebih beruntung dari kami. Kau berhasil menjinakkannya!" seru gadis berbaju putih.
"Terima kasih, Kakak Harum Sari."
"Tapi kau mesti tahu, aku yang pertama kali bertemu dengannya!" sentak Harum Sari, tiba-tiba.
"Jangan serakah, Harum Sari. Aku juga lebih dulu bertemu dengannya ketimbang Sekarsari."
"Eee, tunggu dulu! Apa-apaan ini? Apa yang kalian bicarakan?" tukas Rangga.
"Kami membicarakanmu, Sayang. Tidakkah kau mengerti? Atau barangkali kau mau berlagak pilon?" ujar Harum Sari.
"Aku masih belum mengerti...."
"Mereka bermaksud memilikimu juga...," tambah Sekarsari menjelaskan.
"Memilikiku? Gila! Memangnya aku apa?!" sentak Rangga.
"Kau adalah calon suamiku, Sayang."
"Harum Sari! Agaknya kau betul-betul tak mengalah, he?!" dengus Gandasari.
"Diam kalian semua! Dialah milikku. Karena hanya denganku dia betul-betul bertarung!" bentak Sekarsari, tak mau kalah.
"Hihihi...! Sekarsari! Apakah kau tidak tahu? Dia pun bertarung denganku!" kata Harum Sari.
"Tidak! Dia bertarung denganku!" terabas Gandasari.
"Hei! Hei, berhenti! Berhenti...! Apa-apaan kalian ini?! Aku memang bertarung dengan kalian semua. Tapi bukan berarti kalian bisa berbuat seenaknya padaku. Aku yang akan menentukan, apa yang mesti kulakukan!" bentak Rangga, tak suka.
Ketiga gadis itu terdiam. Mereka memandang pemuda itu dengan sorot mata tajam. Untuk sesaat Rangga pun ikut terdiam. Dibalasnya tatapan mereka sambil menyeringai kesal.
"Kalian tidak berhak apa-apa atas diriku...," desah Rangga.
"Benarkah?" tukas Harum Sari seraya melangkah mendekati.
"Aku adalah milik diriku sendiri! Kalian harus ingat itu!" tandas Rangga.
"Kau adalah milikku!" tukas Gandasari.
"Dia milikku!" dengus Sekarsari.
"Tidak! Aku bukan milik siapa pun dari kalian!"
"Kau tidak bisa membantah, Pendekar Rajawali Sakti," ujar Harum Sari.
"Aku bisa berbuat apa saja yang kusuka!"
"Apakah kau kira mampu menghalangi niat kami?"
"Apa mau kalian?!"
"Kami bisa meringkusmu!"
"Kalau begitu, terpaksa aku akan melawan!"
"Kau tak akan mampu menandingi salah seorang dari kami sedikit pun!"
"Kalau begitu, aku tak memenuhi syarat. Lalu kenapa kalian masih berkeras ingin meringkusku?"
"Kau salah! Kau justru memenuhi syarat. Tapi soal meringkusmu, tidak termasuk dalam acara pertarungan kita. Dan bila kau bermaksud menolak, maka kami terpaksa menggunakan kekerasan," tegas Gandasari.
"Aku tetap tidak bisa memenuhi permintaan kalian. Apa pun akibatnya!" tandas Rangga.
"Pendekar Rajawali Sakti! Jangan bertindak bodoh!" seru Sekarsari.
Pendekar Rajawali Sakti tersenyum sinis.
"Aku sudah siap!" tegas Rangga, dengan nada rendah.
"Dasar keras kepala!" umpat Sekarsari kesal.
"Biar aku yang meringkusnya!" Gandasari mendadak mengibaskan tangan. Seketika, serangkum angin kencang menerpa Pendekar Rajawali Sakti.
Wuuusss!
"Uhh...!"
Rangga berusaha bertahan dengan pengerahan tenaga dalam. Tapi tubuhnya terasa seringan kapas, melayang diterpa badai topan ciptaan Gandasari. Sia-sia saja dia bertahan. Apalagi balas menyerang. Tubuhnya terasa lemas dan pegal-pegal.
"Keparat! Ilmu apa yang digunakannya? Tubuhku terasa lemah tak berdaya!" rutuk Rangga.
"Hiih!" Gandasari menjentikkan tangan kanan.
Duk!
"Ughh!"
Rangga kontan terlempar beberapa langkah ke belakang seperti dihantam pukulan keras. Pemuda itu betul-betul tak kuasa menghindar atau menangkis. Pukulan itu terjadi demikian cepat serta tak terlihat!
"Ayo, lawanlah! Bukankah kau telah siap? Lawanlah dengan semua kekuatan yang kau miliki!" teriak Gandasari sambil tertawa kegirangan.
"Kenapa kau, Rangga? Kudengar kau pendekar digdaya di masa ini? Tapi nyatanya hanya seorang pecundang!" timpal Harum Sari.
"Uhh..."
Rangga berusaha bangkit sambil menahan nyeri di dada. Tubuhnya semakin parah saja. Dan kekuatannya saat ini betul-betul hilang entah kenapa.
"Hiih!" Gandasari menyerang kembali. Dengan membawa kesal di hati, dihajarnya pemuda itu berkali-kali.
Des! Des!
"Aaakh...!"
"Cukup, Kakak! Hentikan! Kau menyiksanya...!" bentak Sekarsari.
Sekarsari melompat, tegak berdiri di depan Rangga untuk menghalangi serangan Gandasari selanjutnya. "Kau tak boleh menyiksanya. Dia akan mati!" sentak Sekarsari.
"Kenapa, Sekarsari? Kau kasihan padanya? Padahal, dia coba menentang kita?" tanya Gandasari.
Sekarsari tak langsung menjawab. Diliriknya Pendekar Rajawali Sakti. Dari mulut dan hidung pemuda itu tampak menetes darah segar. Sambil mendengus kasar gadis itu memandang kedua kakaknya.
"Kau telah mengunci ilmunya. Sehingga saat menghajarnya, sama saja menghajar orang yang tak memiliki kehebatan apa-apa!" bela Sekarsari.
"Orang sepertinya harus mendapat hukuman, Sekarsari," sahut Gandasari kalem.
"Kenapa kau, Adikku? Kau mulai jatuh cinta padanya? Hihihi...! Kalau begitu, kita pun sama. Tapi Sang Ratu tak akan mau mengerti hal itu. Beliau hanya menginginkan masing-masing dari kita membawa pasangannya. Dan pemuda itu milikku. Kenapa kau tidak tahu diri, lalu membiarkan agar kubawa?" tukas Harum Sari.
"Jangan sembarangan bicara kau, Harum Sari!" bentak Gandasari.
"Eh! Maksudku..., tentu saja untuk kita," ralat Harum Sari.
"Dia milikku!" bentak Gandasari.
"Eh, iya. Maksudku pun begitu!" kata Harum Sari, cengar-cengir.
"Huh!" Gandasari mendengus sinis. Kepalanya berpaling pada Pendekar Rajawali Sakti, lalu beralih pada Sekarsari yang tengah menghapus darah yang berlepotan di wajah pemuda itu.
"Sekarsari, minggir kau!" bentak Gandasari.
"Kakak Gandasari...?"
"Minggir kataku!"
"Kau tak boleh menyiksanya lagi...."
Gandasari tak peduli. Dengan geram, ditangkapnya pergelangan tangan adiknya. Lalu dihempaskannya. "Hiih!"
Sekarsari terlempar jauh. Namun dengan gerakan indah kakinya mendarat mantap. Lalu tubuhnya kembali mencelat ke dekat kakaknya. Tepat saat itu Gandasari telah melepaskan dua tendangan beruntun menghajar dada Pendekar Rajawali Sakti.
Desss...! Desss...!
"Ayo, lawanlah! Bukankah kau katakan mampu menghadapi kami? Ayo, lawan!" teriak Gandasari.
"Kakak, sudah! Kau tak boleh menyiksanya lagi!" teriak Sekarsari. Dengan nekat, Sekarsari menangkap pergelangan tangan kakaknya. Dan ini membuat Gandasari menggeram dan menyentaknya kuat-kuat. Namun, kali ini Sekarsari tidak diam saja. Dia terus bertahan.
Melihat hal ini, Gandasari malah semakin geram.
"Kurang ajar! Kau berani melawanku, he?!" bentak Gandasari.
"Kakak! Aku tak bermaksud begitu...," sahut Sekarsari, tak kalah keras.
"Tapi nyatanya begitu, kan?! Kuhajar kau, Sekarsari! Kuhajar kau!"
Sekarsari jadi salah tingkah. Dia tak biasa melawan kakaknya. Dan tak pernah sekalipun dilakukannya. Tapi nyatanya hal itu kini terjadi. Dia hanya tak ingin kakaknya melukai pemuda itu dengan menghajarnya sampai babak belur. Dan memang, agaknya sulit sekali mengingatkan kakaknya.
"Rangga, larilah cepat! Larilah sekuat tenagamu...!"
"Uhh...!" Rangga seperti tersengat. Dadanya terasa nyeri. Apalagi di dalamnya. Tapi dia tak mau mati konyol di tempat ini. Maka begitu mendengar teriakan, dia segera kumpulkan sisa tenaga yang dimilikinya untuk segera kabur.
"Cepat lari! Lari...! Larilah cepat...!" teriak Sekarsari, ketika Pendekar Rajawali Sakti berkelebat kabur.
"Adik kurang ajar! Kau rela mengkhianatiku untuk seseorang yang baru saja kau kenal!" maki Gandasari.
"Kakak! Aku tak bermaksud begitu. Tapi kau keterlaluan sekali menghukumnya...," kilah Sekarsari.
"Tutup mulutmu! Tahukah kau, hukuman apa yang akan dijatuhkan padamu seandainya hal ini kulaporkan kepada Sang Ratu?!" bentak Gandasari.
"Kakak...?!"
"Kau akan mendapat ganjaran setimpal, Sekarsari! Hukuman akan berlipat ganda karena berani melawanku."
"Kakak! Kau tentu tidak akan berbuat sekejam itu pada adikmu sendiri, bukan?"
"Aku akan melakukannya! Tak seorang pun lolos dari hukuman meski orang dekat sekalipun. Itulah sabda Sang Ratu!"
"Kakak, kau..., kau?!"
"Sekarsari! Kau tak bakal lolos dari hukuman. Sia-sia saja usahamu, karena pemuda itu pun tidak akan lari ke mana-mana."
Gandasari berpaling pada Harum Sari.
"Kejar! Dan tangkap dia kembali!"
"Baik, Kak!" sahut Harum Sari, seraya berkelebat.
Sementara Harum Sari mengejar Rangga, Gandasari menyerang Sekarsari dengan gencar. Kepandaian ilmu mereka seimbang satu sama lain. Sehingga sulit menentukan siapa yang paling hebat. Maka mesti Gandasari menyerang gencar, Sekarsari tidak berusaha balas menyerang. Dia hanya menghindar atau menangkis sebisanya.
"Kau tidak mau menyerah juga, Sekarsari?!" desis Gandasari, terus menyerang.
"Kakak! Jangan paksa aku...," sahut Sekarsari, lirih sambil terus bermain mundur.
"Baik. Kalau begitu terpaksa aku mesti meringkusmu seperti tawanan!"
"Kakak, kumohon! Jangan memaksaku untuk melawanmu."
"Adik kurang ajar! Kau kira aku takut kalau kau melawanku? Ayo, lawanlah! Balas serangan-serangankui"
"Kakak...!"
"Jangan panggil aku sebagai kakakmu! Ayo, anggap saja aku musuh besarmu!"
"Aku, ah...! Kakak, tolonglah...!"
"Tutup mulutmu! Kalau kau tetap tak mau melawan, jangan salahkan kalau aku tetap akan menghajarmu!"
Sekarsari tetap merasa bersalah dan bingung. Kalau dia melawan, maka Sang Ratu pasti akan menghukumnya dengan berat. Tapi kalau tak dilawan, bisa-bisa dirinya akan celaka.
"Hei, ada apa di sini...?!"
Mendadak terdengar teriakan, membuat pertarungan itu segera berhenti. Tampak empat sosok tubuh muncul. Dua gadis berbaju hijau dan kuning bersama dua orang laki-laki berusia setengah baya.
"Arimbi, Kakak Srimurti!" seru Gandasari, begitu mengetahui siapa yang datang.
"Ada apa? Kenapa kalian berkelahi sehebat ini?" tanya gadis berbaju kuning yang bernama Srimurti seraya menghampiri.
"Tahukah kau? Aku tengah memberi pelajaran pada seorang pengkhianat!" sahut Gandasari, sengit.
"Kakak! Jangan sembarangan menuduh!" tukas Sekarsari.
"Diam kau!" bentak Gandasari.
"Hei! Hei! Tenanglah dulu. Ada apa ini? Apa yang terjadi, Gandasari?" lerai Srimurti.
Gandasari segera menceritakan duduk persoalannya. Tentu saja dengan membawa segala amarah di hatinya. Sampai-sampai, Sekarsari tidak sedikit pun bisa membela diri.
"Dia pengkhianat! Dan kini malah berani melawanku!" tuding Gandasari, geram.
"Kakak! Itu tidak benar! Aku hanya tak ingin kau menghajarnya. Dia punya batas daya tahan. Apalagi, Kakak Gandasari telah mengunci ilmu-ilmunya. Dia tak akan bertahan lama menerima hajaran begitu keras," kilah Sekarsari.
"Aku bermaksud membawanya. Maka, mana mungkin aku akan membunuhnya!"
"Tapi..., Kakak Gandasari dalam keadaan kalap..."
"Jangan membela diri, Sekarsari! Katakan saja kau berusaha merebutnya dariku dengan mengambil hatinya."
"Kakak! Aku tak bermaksud begitu...!"
"Alaaah, tutup mulutmu!" bentak Gandasari. Dia kemudian memandang pada kedua saudaranya yang baru muncul.
"Kalian bantu aku menangkap pengkhianat ini! Kita akan menyerahkannya pada Sang Ratu untuk mendapat hukuman setimpal!"
"Tapi, Kakak...," Arimbi sedikit keberatan, namun tidak demikian halnya Srimurti. Dia langsung melompat menyerang Sekarsari.
"Sekarsari! Lebih baik kau menyerah. Atau, kami akan meringkusmu dengan paksa!" bentak Srimurti.
"Kakak, jangan memaksaku...!"
"Huh! Dari dulu kau memang selalu saja membantah. Tapi hari ini, kau sudah keterlaluan!"
Sementara Srimurti menyerang Sekarsari, Arimbi masih ragu-ragu. Di antara saudara-saudaranya, memang hubungan Arimbi dengan Sekarsari memang lebih baik ketimbang yang lainnya. Maka, dia tak sampai hati ikut mengerubuti. Tapi Gandasari terus memaksa sambil mengancam.
Kalau dia tak membantu, maka akan dianggap bersekutu dengan Sekarsari. Bahkan melaporkan hal itu pada Sang Ratu. Dengan terpaksa akhirnya Arimbi ikut mengerubuti adik bungsunya. Menghadapi kepandaian mereka bertiga, Sekarsari tak kuasa bertahan. Dalam waktu singkat, dia berhasil diringkus.
"Kini kau tak bisa ke mana-mana lagi, Sekarsari! Ilmumu telah kami kunci!" dengus Srimurti.
Sekarsari diam tertunduk. Diliriknya Arimbi. Tapi kakaknya pura-pura tak melihat. Gadis itu tertunduk kembali. Pasrah! Harum Sari telah kembali dengan Rangga yang berada di salah satu pundaknya.
"Bagus! Ternyata kau mampu meringkusnya!" puji Gandasari.
"Apa sulitnya? Dia seperti bayi yang tak berdaya," kata Harum Sari, bangga.
"Mana pasanganmu, Kakak Harum Sari?" tanya Arimbi.
"Aku..., aku belum mendapatkannya. Dan kau sendiri?" sahut Harum Sari.
"Kau lihat laki-laki kurus itu? Dia calon suamiku!" tunjuk Arimbi bangga.
"Laki-laki itu?!" Harum Sari terkikik geli. Yang dilihatnya adalah seorang laki-laki tua bertubuh kurus dan berkulit hitam. Rambutnya sebagian telah memutih, dipotong pendek dengan dahi lebar.
"Kenapa tertawa? Meski begitu dia seorang tokoh hebat yang ditakuti banyak orang," bela Arimbi.
"Kau tak jadi menaklukkan si Kera Hitam Bertangan Besi?"
"Orang itu tak punya kemampuan apa-apa. Calon suamiku ini adalah gurunya. Ilmunya hebat. Dan kurasa, saat ini tak seorang pun yang mampu menandinginya!" Lagi-lagi Arimbi menjelaskannya dengan bangga.
"Ya, ya. Itu terserahmu kalau mau kawin dengan tua bangka bau tanah itu," cibir Gandasari.
"Kakak sendiri bagaimana? Sudah menemukan yang cocok?"
"Sebentar lagi!"
"Kakak Srimurti pun punya calon suami yang tak kalah tua dariku."
Gandasari melirik sekilas. Laki-laki tua yang ditunjukkan Arimbi itu pun tidak kalah buruk ketimbang calon suami Arimbi sendiri. Dia tertawa kecil.
"Kalian ingin berangkat sekarang?" tanya Gandasari.
"Ya!" jawab Srimurti.
"Baiklah, silakan kalian berangkat. Aku tak bisa menyertai sebelum mendapatkan pasanganku," ujar Harum Sari.
Setelah itu, Harum Sari menyerahkan Rangga pada Gandasari. Sedangkan Sekarsari yang telah dilumpuhkan, digendong Arimbi.
"Hati-hati kau di sini! Jaga dirimu baik-baik...!" pesan Gandasari.
"Jangan khawatir. Kau kira ada orang yang mampu menandingiku?" tukas Harum Sari pongah.
"Jangan gegabah, Harum Sari! Dunia penuh hal tak terduga."
Gadis itu hanya tertawa, menganggap enteng. Sementara saudari-saudarinya meninggalkannya ke arah selatan bersama dua laki-laki setengah baya yang akan menjadi suami Arimbi dan Srimurti.
Harum Sari tegak berdiri mengawasi mereka untuk sejurus lamanya, lalu mengambil arah yang berlawanan setelah mereka menghilang dari pandangan...

***

TAMAT

204. Pendekar Rajawali Sakti : Titah Sang RatuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang