BAGIAN 7

93 9 0
                                    

Rangga mengibar-ngibarkan ikat kepala dari kain berwarna merah yang dirampasnya dari rambut Sekarsari.
"Huh! Itu pertarungan tidak adil! Kau curang!" bentak gadis itu, tak puas.
"Curang bagaimana? Aku tidak menyalahi aturan?" tukas Pendekar Rajawali Sakti.
"Perjanjian kita hanya merebut kain ikat kepala. Tapi kau menyerangku dengan-hebat. Apakah kau hendak membunuhku?!" kilah Sekarsari.
Rangga tersenyum.
"Yang terpenting, aku tidak menyalahi aturan. Kita tidak membuat perjanjian bagaimana caranya merampas ikat kepalamu. Itu terserahku. Dan nyatanya, ikat kepalamu kudapatkan. Kau kalah, Nisanak!" balas Rangga.
"Aku tidak terima caramu! Kau curang! Akan kulihat sampai di mana kehebatanmu!" Gadis itu menggeram marah. Secepat kilat dia meluruk menyerang Rangga dengan hantaman tangan bertubi-tubi dan silih berganti.
"Eee, apa-apaan ini?! Tunggu dulu!" Percuma saja Rangga berteriak karena Sekarsari tak bakal hentikan serangan. Buru-buru dia menghindar dengan melompat ke sana kemari kalau tak mau babak belur.
"Uh! Urusan jadi runyam!" gerutu Rangga.
"Itu salahmu sendiri!"
"Ya, ya.... Semua salahku."
"Lihat serangan!" Gadis ini benar-benar kalap. Dia sakit hati karena merasa tertipu. Maka serangannya berbau maut. Lengah sedikit, maka kepala Pendekar Rajawali Sakti bakal remuk. Atau barangkali tulang-tulang rusuknya yang patah digedor pukulan bertenaga dalam tinggi.
"Aku tidak bisa terus begini. Heaaa...!" Disertai teriakan keras membahana, Pendekar Rajawali Sakti melenting ke atas dengan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega'. Begitu meluruk, kedua kakinya mengincar batok kepala Sekarsari.
"Eh...?!" Gadis itu terkejut, namun cepat menggeser tubuhnya ke kanan.
Tendangan Pendekar Rajawali Sakti lewat begitu dekat di depan matanya. Meski berhasil mengelak, namun serangan pemuda itu berikutnya menyusul cepat. Dan yang lebih membuatnya gemas, gerakan-gerakan yang diciptakan Pendekar Rajawali Sakti agak membingungkannya. Ketika kaki kanan Pendekar Rajawali Sakti menyabet ke bawah, maka kaki kirinya menyusul ke atas menyambar kepala.
Sekarsari hanya bisa mundur. Dan sebelum gadis ini mampu balas menyerang, Rangga bersalto di udara. Lalu tiba-tiba kakinya mencuat ke tubuh gadis ini begitu cepat gerakannya. Sehingga....
Des! Begkh!
"Aaakh...!" Dua tendangan berturut-turut mendarat mulus di perut dan dada Sekarsari yang kontan terpekik. Dengan terhuyung-huyung, dia coba memantapkan kuda-kuda.
"Hiyaaat...!" Rangga tak memberi kesempatan. Tubuhnya kembali melesat langsung menyerang.
"Hup!" Gadis itu merapatkan kedua telapak tangan di depan dada. Tubuhnya berputar seperti gasing. Sebelum serangan Pendekar Rajawali Sakti tiba, tubuhnya telah amblas ke tanah.
Pras!
"Heh?!" Rangga terperangah kaget. Tubuhnya berbalik, menatap ke arah tanah tempat Sekarsari tadi amblas. Dan sebelum keterkejutannya hilang....
Tap! Tap!
Tiba-tiba saja Sekarsari muncul tepat di bawah Rangga berdiri. Pemuda itu yang sempat tercekat, tak kuasa mengelak. Kedua pergelangan kakinya kena dicengkeram.
"Hup!" Seketika, Pendekar Rajawali Sakti melenting ke atas, tapi gadis itu keburu membantingnya kuat-kuat.
"Hiaaah...!"
Pendekar Rajawali Sakti berhasil mematahkan bantingan dengan bersalto tiga kali. Lalu, kakinya mendarat mulus. Kini bola matanya mencari-cari. Ternyata gadis tadi telah amblas kembali ke tanah.
"Hmm!" Rangga seketika mengeterapkan aji 'Pembeda Gerak Dan Suara' untuk mengetahui gerakan yang dibuat gadis itu.
"Yeaaa...!"
Tiba-tiba Pendekar Rajawali Sakti mencelat ke atas, dan hinggap pada salah satu cabang pohon. Di tempatnya tadi berdiri, sekilas terlihat dua tangan menyembul. Dan secepat kilat, kembali masuk ke tanah.
Krak!
"Hei?!" Belum sempat Pendekar Rajawali Sakti menarik napas lega, pohon yang dihinggapinya bergoyang. Lalu roboh dengan deras seperti dihantam banteng mengamuk.
"Gila! Kalau begini caranya bisa sinting aku!" rutuk Pendekar Rajawali Sakti. Dengan ringan, Rangga melompat turun. Seketika tubuhnya melesat sekencang-kencangnya meninggalkan tempat itu.
"Maaf, Nisanak! Aku tak bisa meladenimu main kucing-kucingan begini...!" teriak Pendekar Rajawali Sakti. Dalam keadaan seperti itu, rasanya tak masuk di akal bila Sekarsari mampu mengejarnya. Bahkan tokoh-tokoh tingkat tinggi pun akan sukar menandingi ilmu meringankan tubuhnya. Rangga bisa bernapas lega, tapi tak menghentikan larinya.
"Kurasa ini sudah cukup jauh. Hhh...! Mau pecah rasanya dadaku...," desah Pendekar Rajawali Sakti. Rangga berhenti setelah dirasa cukup jauh. Napasnya diatur sebentar, lalu perjalanannya dilanjutkan. Tapi baru beberapa langkah berjalan, seseorang tegak berdiri menghadang. Seorang gadis berbaju merah yang membuatnya kaget.
"Gila! Bagaimana mungkin kau bisa di sini?!" sentak Rangga, penuh keheranan.
Sekarsari tersenyum, lalu melangkah mendekati.
"Kau kira bisa pergi begitu mudah dariku?" cibir gadis itu.
"Ini benar-benar tak masuk akal!" Rangga memukul kepalanya, pelan. Dan nyatanya terasa sakit.
"Berarti aku tidak mimpi! Tapi..., bagaimana mungkin dia bisa menyusulku secepat ini?"
"Bagaimana kau bisa tiba di sini?" tanya Pendekar Rajawali Sakti setelah batinnya tak yakin bisa menemukan jawaban.
"Itu urusanku!" sahut Sekarsari, seenaknya.
"Ya, sudahlah. Barangkali kau memang keturunan siluman...."
Gadis itu tersenyum, penuh arti.
"Urusan kita belum selesai. Kau harus bisa mengalahkanku. Kalau tidak..., aku akan menghajarmu!" desis Sekarsari.
"Aku telah mengalahkanmu. Kenapa kau tak mau mengakuinya?" tukas Rangga.
"Kau belum pernah mengalahkanku!"
"Dalam rebutan ikat kepala tadi?"
"Kau curang. Aku tak mengakuinya!"
"Itu karena kau licik dan mengagungkan kehebatanmu. Sehingga kau tidak mau berpikir terang. Kalau kau mau saja sedikit jujur, maka pasti mau mengakui kalau aku telah mengalahkanmu. Kita toh, tak mesti saling hajar sampai salah seorang terluka parah. Atau, barangkali itu yang kau inginkan? Atau..., kau mengincar nyawaku?"
Gadis itu terdiam sejurus lamanya.
"Entah kau sinting atau kurang kerjaan. Orang berkelahi mestinya punya tujuan jelas...," desah Rangga, sambil mengangkat bahunya.
"Aku punya tujuan jelas!" tandas Sekarsari.
"Tujuan apa? Katakan padaku!" tuntut Pendekar Rajawali Sakti.
"Itu urusanku!"
"Orang berkelahi mesti ada alasan. Entah karena dendam, marah, mencari ketenaran, atau sekadar melampiaskan kegembiraan. Yang mana alasanmu?" tanya Rangga.
"Bukan salah satu di antaranya," sahut gadis itu terus terang.
"Hm.... Jadi apa tujuanmu?"
"Aku tak bisa mengatakannya padamu...."
"Baiklah.... Mungkin itu urusanmu. Aku tidak berhak tahu. Tapi, kau juga tak berhak memaksakan tujuanmu pada orang lain. Kau ini manusia yang berperasaan atau tidak?! Aku tak mau berkelahi tanpa alasan kuat. Dan kau mesti mengerti hal itu!"
Sekarsari kembali terdiam.
"Kita tak saling kenal. Aku bahkan tak tahu namamu. Dan di antara kita, tak pernah ada masalah. Jadi tak ada urusan yang mesti membuat kita berkelahi!" lanjut Rangga.
"Namaku Sekarsari. Dan aku hanya ingin mencari orang yang bisa mengalahkanku," sahut Sekarsari perlahan.
"Untuk apa?" kejar Rangga.
"Melaksanakan titah Sang Ratu...."
"Ratu siapa?"
"Ratu kami...."
"Hm.... Aku mulai sedikit mengerti. Tapi apa maksud ratumu menyuruhmu bertarung denganku sampai aku bisa mengalahkanmu?" tanya Rangga lagi, semakin tertarik.
"Bukan hanya kau.... Beliau hanya ingin agar aku mencari seseorang yang bisa mengalahkanku...," jelas Sekarsari.
"Untuk apa?" cecar Pendekar Rajawali Sakti.
"Menjadi suamiku."
"Apa? Hm.... Ratumu pasti orang tak waras. Bagaimana mungkin dia mencampuri urusan jodoh orang lain dengan cara begitu?" kata Rangga seperti bertanya pada diri sendiri.
"Hush! Jangan bicara keras-keras. Aku khawatir beliau mendengarnya!" ujar Sekarsari. Gadis itu menempelkan telunjuk ke bibir. Matanya liar memandang ke sekelilingnya.
"Ada apa? Apakah ratumu selalu mengikuti ke mana saja kau pergi?" tanya Rangga, berbisik.
Tak sadar, gadis itu mengira Rangga mengerti isyaratnya. Padahal lewat air mukanya, Rangga tengah mengejeknya. Sejak tadi dia mengerahkan aji 'Pembeda Gerak Dan Suara'. Dan Rangga tahu tak ada orang lain di sekitar tempat ini, selain mereka. Jadi gadis itu pasti mengada-ada jika mengatakan ratunya tengah mengintai.
"Bukan. Tapi para prajurit...," jelas Sekarsari.
"O.... Prajurit, ya?"
"Mereka tak terlihat pandangan matamu."
Dahi Rangga berkerut. Lalu dikerahkannya ilmu 'Tatar Netra' untuk memandang ke sekeliling tempat.
"Percuma! Meski kau punya pandangan tajam, tak akan mampu menembus jasad mereka," jelas Sekarsari, seperti mengerti apa yang tengah dilakukan Rangga.
"Apa maksudmu?" tanya Pendekar Rajawali Sakti.
"Mereka kaum siluman," sahut Sekarsari.
"Hei?!" Rangga tercekat. Benarkah? Atau, gadis ini tengah mengada-ada untuk menakut-nakutinya.
"O.... Kaum siluman, ya?" Rangga mengangguk kecil. "Jadi..., kau pun termasuk kaum mereka?"
"Aku tak memaksamu untuk percaya."
"Eh! Aku percaya...."
Plas!
"Eh?!"
Kata-kata Rangga terpenggal dan berganti keterkejutan ketika tiba-tiba gadis berbaju merah itu lenyap dari pandangannya. Semula dia menyangsikan kata-kata Sekarsari. Tapi kini...?
"Gila! Ke mana dia? Apa benar-benar menghilang? Atau barangkali mataku yang sudah lamur?!"
Rangga mengucek-ngucek matanya sesaat. Lalu dia memandang ke tempat gadis itu berdiri. Tetap saja tak ada. Begitu juga ketika mengedar pandangan ke sekeliling.
"Aku di sini...!"
"Ehh...!" Mendadak saja jantung Pendekar Rajawali Sakti seperti mau copot, ketika gadis itu tegak berdiri di belakang. Hela napasnya terasa dekat menghembus tengkuk. Buru-buru Rangga meloncat. Sementara Sekarsari tersenyum-senyum melihat ulahnya.
"Kini masih belum percaya?" tanya Sekarsari.
"Eh, iya. Tapi sedikit...," sahut Rangga, masih juga menyangsikan.
"Berarti kau belum yakin kalau aku ini siluman?" tukas gadis ini.
"Aku pernah dengar, konon siluman bisa menjelma menjadi apa saja, seperti..., singa berkepala manusia, atau...."
"Kau sungguh-sungguh ingin melihat aku menjelma seperti itu?" potong Sekarsari.
"Paling tidak..., untuk membuatku percaya," sahut Rangga.
"Lalu setelah itu?"
"Setelah itu... ya, tidak apa-apa!"
"Itu bukan tujuan utamaku. Aku tak peduli, kau percaya atau tidak. Titah ratuku tak bisa dibantah. Dan aku mesti melaksanakannya!"
"Kenapa dia begitu ikut campur soal jodohmu?"
"Karena dia ibuku!"
"O...!" Rangga terdiam. Kepalanya mengangguk-angguk, kemudian tersenyum malu. "Maaf, aku tak tahu...," ucap Rangga, perlahan.
"Tak apa...."
"Kau bisa mencari orang lain, Sekarsari," kata Rangga, sudah memanggil gadis itu dengan namanya.
"Telah banyak tokoh yang kudatangi. Namun mereka semua tak memenuhi syarat. Menurut apa yang kudengar, mereka tokoh-tokoh hebat. Tapi nyatanya bisa kukalahkan."
"Kalau kau mampu menghilang, lalu muncul tiba-tiba di belakang mereka, jelas siapa pun tak bisa mengalahkanmu. Apalagi kau mampu bergerak cepat."
"Aku tak menggunakan ilmu gaib, ketika melawan mereka. Demikian pula ketika tadi melawanmu. Juga saat kau merebut ikat kepalaku...," jelas Sekarsari.
"Untuk apa? Padahal kau bisa mengalahkan mereka dengan mudah?" tanya Rangga.
"Aku ingin manusia mengalahkanku dengan kemampuan apa adanya. Bukan dengan bantuan ilmu-ilmu gaib," sahut gadis itu menjelaskan. "Ini juga perintah Sang Ratu. Kalau tidak, kami tidak akan dikirim ke dunia kasar untuk mencari seorang suami dari kaum manusia."
"Untuk apa?" tanya Rangga lagi.
"Aku tidak tahu...."
"Apa di kalangan siluman tak ada yang berilmu tinggi. Atau yang berwajah menarik?"
"Banyak. Dan bagi kami, soal wajah bukan masalah. Kaum siluman bisa saja menyerupai wajah siapa pun yang disukainya."
"Lalu, apa masalahnya?"
"Aku tak tahu. Kami hanya diwajibkan patuh pada Sang Ratu."
"Kepatuhan yang menakjubkan. Seandainya Sang Ratu memberi perintah untuk memenggal kepala, apakah kalian mau mematuhinya?" pancing Rangga.
"Ya!" sahut Sekarsari, singkat. Rangga mendesah sambil menggeleng takjub. "Makanya, kau mesti bertarung denganku!" gadis itu kembali mengingatkan.
"Tapi kau sudah kalah, bukan?" kelit Rangga.
"Itu tidak bisa dijadikan ukuran," tangkis Sekarsari.
"Kenapa? Toh sama saja! Kita sudah membuat perjanjian."
"Bagaimana bisa kau menghadapi calon-calon suami kakakku dengan cara begitu?"
"Ee..., tunggu dulu! Apa maksudmu? Calon-calon suami kakakmu?" Rangga malah balik tanya, menuntut jawaban.
"Benar. Mereka pun sepertiku, dan mengemban tugas yang sama."
"Di antara mereka memakai baju biru, dan putih?" tanya Pendekar Rajawali Sakti lagi seraya menyebutkan ciri-ciri kedua gadis yang pernah ditemuinya.
"Benar! Dari mana kau mengetahuinya?!" seru Sekarsari dengan wajah berbinar. "Mereka adalah Kakak Gandasari dan Kakak Harum Sari!"
"Hm, pantas!" gumam Pendekar Rajawali Sakti.
"Kau bertemu mereka?" tanya Sekarsari.
"Ya."
"Lalu?"
"Ya, seperti keinginanmu yang aneh, mereka pun mengajakku bertarung tanpa alasan jelas.
"Lalu?!"
"Lalu..., ya, aku berhasil mengecoh mereka!"
"Dasar jahat!"
"Eee, sembarangan menuduh orang! Yang jahat itu aku atau kalian?!"
"Kenapa kau tega mengecoh mereka? Padahal toh kau bisa meladeni tantangan mereka."
"Aku tak suka berkelahi tanpa alasan kuat. Apalagi hanya soal sepele."
"Ini bukan soal sepele. Ini soal hidup dan mati!"
"Jangan membesar-besarkan persoalan."
"Kalau gagal membawa calon suami, maka kami mendapat hukuman mati!"
"Aku tak percaya."
"Ikutlah dengan kami. Maka kau akan lihat, berapa orang dari kami yang mendapat hukuman mati."
Rangga tertegun. Dipikirkannya kata-kata gadis itu. "Luar biasa tega ibunda kalian itu!" desis Rangga. "Apakah dia tak punya perasaan?"
"Aku tak tahu...," desah Sekarsari.
"Apakah kau suka mencari jodoh dengan cara seperti itu?" tanya Rangga, memancing. Gadis ini tak menjawab.
"Tak ingin sekali-sekali kau berontak?" desak Rangga.
"Itu tak mungkin. Sang Ratu akan menghukum kami dengan berat...," desah Sekarsari, lirih.
"Kenapa tidak melarikan diri?"
"Seluruh tempat akan mereka cari untuk menemukanku. Tak ada yang bisa lolos begitu saja."
"Tapi, aku bisa lolos dari kedua kakakmu? Itu berarti, kau pun bisa."
"Untuk sementara, mungkin. Tapi, tidak selamanya. Coba kau lihat ke belakang."
Rangga menoleh. Dan wajahnya kontan terkejut melihat dua sosok tubuh tegak berdiri di belakangnya pada jarak sekitar tujuh langkah. Dua gadis yang pernah dikenalnya. Satu berbaju biru, dan seorang lagi berbaju putih.

***

204. Pendekar Rajawali Sakti : Titah Sang RatuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang