Prolog

6.2K 155 23
                                    

Lisa hanya tak bisa menahan hasratnya yang selalu menggebu-gebu setiap kali mereka bertemu. Padahal, Hanbin adalah kekasih sahabatnya sendiri.

Hal itu terjadi dua hari yang lalu. Ketika Lisa mendapati Jennie yang tengah berjalan ke arahnya dengan tangan yang menggandeng lengan seorang lelaki bangir, Lisa merasakan bagaimana jantungnya yang berdetak lebih cepat serta tubuhnya yang tiba-tiba merasa panas.

"Hai, Lisa!" Sapaan Jennie yang kini sudah berdiri di depannya menyadarkan Lisa. Gadis bersurai coklat itu tersenyum manis hingga matanya menyipit.

"Kenalkan, dia kekasihku. Jadi, kau tak bisa meledekku lagi dengan berkata bahwa aku tak laku!" Jennie memasang wajah bangga ke arah Lisa.

Sebelum ini, Lisa memang selalu meledek Jennie karena sahabatnya itu sama sekali tak pernah terlihat tertarik dengan lelaki karena selalu sibuk belajar. Pintar sih boleh, hanya saja Jennie terlalu sibuk meningkatkan kepintaran daripada kisah cintanya. Ia bahkan belum pernah pacaran sama sekali, jadi wajar jika Lisa meledeknya dengan menyebutnya tak laku.

Tapi, apa ini? Kenapa Jennie tiba-tiba membawa laki-laki ke hadapannya dan sialnya laki-laki itu membuat Lisa sulit bernafas untuk beberapa saat.

Ini gila. Tahu begini, seharusnya Lisa tak usah mengompori Jennie.

"A-ah, ya." Lisa berusaha untuk bersikap normal meski suaranya terdengar sedikit bergetar.

Tubuhnya terasa panas, Lisa seperti menginginkan sesuatu, tapi Lisa tak tahu apa yang ia inginkan.

Begitu lelaki itu mengulurkan tangannya ke arah Lisa dan Lisa menerima uluran tangan itu, Lisa tahu apa yang inginkan.

"Kim Hanbin." Lelaki itu tersenyum hingga dua lubang cacat di kedua pipinya terlihat.

Lisa menginginkan Hanbin

"Anak IPA-1." Lanjut Hanbin.

Lisa menginginkan sentuhannya

"Lalisa Manoban." Lisa balas tersenyum manis. Berusaha tersenyum semanis yang ia bisa.

Lisa ingin berada di bawah Hanbin, memanggil nama lelaki bangir itu dengan keringat yang membanjiri tubuhnya

"Anak IPS-2"

Ini gila. Lisa menginginkan Hanbin menjadi miliknya

"Bagaimana kalian bisa bertemu?" Esok harinya, Lisa bertanya dengan nada penasaran.

Jennie yang baru saja masuk ke dalam kelas langsung saja tersenyum malu-malu. Ah, pipinya terasa panas.

"Jennie, ayolah ceritakan padaku!" Ujar Lisa tak sabar. Lisa hanya tak habis fikir, bagaimana mereka bisa saling tahu bahkan sampai menjalin hubungan jika bahkan jurusan mereka saja berbeda dengan lingkungan yang berbeda pula.

Hanbin dengan lapangan basketnya dan Jennie dengan perpustakaannya. Bagaimana bisa? Ibaratnya, mereka itu bagaikan langit dan bumi. Jauh.

Bahkan Lisa yakin, mereka tak mengenal nama satu sama lain. Bertemu saja tidak karena semua jurusan memiliki gedung yang berbeda dan tak saling berhubungan meskipun berada di lingkungan sekolah yang sama. Bahkan, kantin merekapun berada di gedung yang berbeda.

"Kita dijodohkan."

Heh? Lisa mengerjapkan matanya beberapa kali karena terkejut.

"Aku awalnya menolak tapi ketika tahu bahwa lelaki yang dijodohkan denganku adalah Hanbin, aku menerimanya. Heol! Siapa yang bisa menolak seseorang seperti dia?" Pipi Jennie semakin memerah. "Aku jatuh cinta pada pandangan pertama padanya." Lanjutnya mencicit. Ugh.. kenapa pipinya panas sekali?

Lisa tak yakin jika rahangnya baik-baik saja sekarang. Karena ia merasa bahwa rahangnya seakan jatuh saat itu.

"Hanbin juga menerimanya?"

Jennie menganggukkan kepalanya. "Ia bahkan langsung menciumku di pertemuan pertama kami. Ciuman pertamaku, Lisa. Astaga." Jennie menutup kedua pipinya. "Dia bahkan mengajarkanku bagaimana caranya berciuman. He is a good kisser."

Bisakah Lisa berharap bahwa Jennie masihlah Jennie yang dulu? Yang terus-menerus belajar dan tak mementingkan laki-laki?

Entah kenapa, Lisa tak rela saat mendengar bahwa Hanbin mencium sahabatnya di pertemuan mereka yang pertama kali.

He is a good kisser

Benarkah?

Kalau begitu, bisakah Lisa merasakannya juga? Bisakah Hanbin mengajarinya juga?

Ugh. Tubuh Lisa terasa panas lagi. Gadis itu mengipaskan tangannya beberapa kali sebelum ia izin pamit ke kamar mandi pada Jennie untuk membasuh wajah.

Tapi, sebelum kembali lagi ke kelas, sepertinya Dewi Portuna sedang berpihak padanya.

Hanbin kini ada di depannya dengan sebuah maps yang ia pegang di sisi kiri dan sekaleng soda di sisi kanan tangannya. Lelaki bangir itu tersenyum saat melihat Lisa.

"Kebetulan aku bertemu denganmu di sini. Kau anak IPS, kan?"

Lisa mengangguk samar. Matanya fokus menatap ke arah Hanbin yang tengah berbicara padanya.

Bagaimana rasanya berciuman dengan Hanbin?

"Bisa tolong berikan ini pada Yoon ssaem? Ini dari Park ssaem."

Lisa mengangguk samar lagi. Ia tak bisa untuk sekedar berpaling ke arah lain selain ke arah bibir Hanbin.

"Terimakasih, Lisa." Hanbin memberikan maps yang ia pegang ke arah Lisa. Lelaki itu tersenyum kembali sebelum membalikan tubuhnya, berniat untuk pergi ke gedung jurusannya sebelum suara Lisa terdengar.

"Ini tak gratis." Lisa membasahi bibir bawahnya saat melihat Hanbin berbalik ke arahnya.

"Oh, kau benar." Hanbin terkekeh. "Apa yang kau inginkan, Lis?"

"Kau akan mengabulkannya?"

"Tentu."

Lisa kembali membasahi bibirnya. Haruskah Lisa meminta Hanbin untuk menciumnya?

Lisa tak tahan dengan tubuhnya yang terus menerus kepanasan seperti ini. Suhunya bahkan mungkin bertambah karena Hanbin yang berada di dekatnya.

"Ci---"

"Awas!"

Lisa merasa tubuhnya berputar ketika Hanbin tiba-tiba menarik pinggangnya, merapatkannya dengan tubuh lelaki itu, menghindari dahan pohon yang cukup besar yang entah kenapa terjatuh secara mendadak. Hampir saja mengenai kepala Lisa jika Hanbin telat sedikit saja.

Deg

Deg

Deg

Lisa menyukai posisi ini. Lisa menyukai bagaimana tangan Hanbin yang kini bertengger di pinggangnya dengan wajah mereka yang hanya berjarak beberapa centi saja.

Dewi Portuna benar-benar sedang memihak padanya. Karena Lisa bisa merasakan bagaimana bibir Hanbin saat itu juga.

***

Gimana, ya.... Ide baru muncul huhuhu

Lanjut nggak, nih?

🤭

Btw, Lisa jadi agak binal ya, disini... Rated cerita ini juga 18+ jadi harap bijak dalam membaca 🌚

"MMMH" - HANLIS / HANLICETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang