Siang ini Hana memohon pada semesta dan terbang mengintari kelopak anyelir di bawahnya. Debu-debu peri memberi anyelir itu kesegaran lebih. Hujan sudah membasahi si anyelir di sore hari kemarin. Sementara, tadi pagi manusia yang membawa mobil berbentuk tabung berisi air, menyirami seluruh taman dengan selang panjang.
Hana menatap hamparan bunga anyelir itu. Tugasnya hari ini sudah selesai. Hana menghampiri sebuah anyelir putih di tengah anyelir lain yang berwarna. Pelan, Hana mengecup kelopaknya.
"Tetaplah sehat, Anyelirku," ucap Hana. Mungkin, karena bunga ini yang menjadi media kelahirannya, Hana merasa terikat dengan anyelir di hadapannya.
"Hana!" Sebuah suara memanggilnya. Hana menoleh dan melihat Naura dan beberapa peri lain terbang ke arahnya. Hana menyambut uluran kedua tangan Naura dan membiarkan tubuhnya terayun tiga putaran di udara. "Tugasmu sudah selesai?" tanya Naura.
Hana menjawabnya dengan anggukan kepala. "Kalian?" Hana bertanya balik.
"Sudah," jawab mereka serempak.
Seorang peri dengan sayap merah merangkul lengan Hana. Hana ingat peri ini bernama Rosetta. Menurut Hana, Rosetta adalah salah satu peri tercantik yang ada di Taman Bunga Kilau. Lihat saja sayap lebarnya yang merekah bagai kelopak mawar itu. Cantik sekali.
"Hana, kau diminta Ratu Rania untuk menemui Eyang Pohon Tua dan kami diminta mengantarmu. Kau belum berkenalan dengannya kan?" tanya Rosetta.
Hana ingat, Naura sempat menjelaskan bahwa perbatasan dijaga oleh peri pohon bernama Eyang Pohon Tua. Kemarin, Hana tidak sempat berkunjung ke sana karena hari sudah terlalu gelap dan Ratu Rania memintanya beristirahat. "Ayo kita berangkat," ajak Hana.
Naura terbang memimpin jalan, sedangkan Rosetta terbang bersamanya. Di belakang mereka, Chloe, Sekar, dan Violett mengikuti. Chloe adalah peri bersayap kuning, sayap Sekar berwarna jingga, sedangkan sayap Violett berwarna seperti namanya. Mereka bertiga juga cantik. Hana sampai hari ini belum tahu apa warna sayapnya. Sayap Hana terlalu kecil hingga Hana tidak bisa melihat sayapnya sendiri seperti apapun ia menoleh. Hana rasa, ini karena ia adalah peri yang baru lahir.
Selama perjalanan, Hana berusaha fokus mengikuti kebiasaan para peri yang senang menyapa. Sekalian, menghapal nama mereka, pikir Hana. Rasanya, tidak ada waktu untuk menutup mulut.
"Halo, Madam Sitta."
"Hai, Robert."
"Hai, Juliet."
"Selamat siang, Paman Tiano."
"Hari yang cerah, Bunda Mia."
"Anda cantik sekali, Mama Vassa."Wah, sedikit melelahkan tapi melihat wajah-wajah cerah peri yang mereka sapa, kelelahan itu seperti tidak ada artinya.
Akhirnya perbatasan terlihat juga. Terlihat sebuah pohon yang rimbun di pinggir jalan besar. Mobil-mobil manusia berlalu-lalang di sana. Beberapa manusia juga terlihat duduk-duduk di bawahnya sambil menggelar tikar kecil. Mereka membawa cemilan-cemilan kecil yang berbau manis.
Hana mengamati pohon itu. Batang utamanya besar sekali. Rantingnya menjalar hingga daun-daun yang rimbun itu membentuk hampir bulat sempurna. Seperti jamur raksasa.
Hana mengikuti peri-peri di hadapannya terbang cepat ke sebuah lubang kecil di pohon itu. Melihat sarang burung di dekat lubang itu, Hana berhati-hati agar tidak mengganggu burung-burung kecil yang terlelap itu. Lubangnya kecil sekali. Hanya muat untuk jalan masuk seorang peri tapi ternyata di dalamnya cukup lebar.
"Selamat siang, Eyang Pohon Tua," sapa mereka pada seorang peri tua yang sedang sibuk menyerut kayu.
"Siang, peri-peri muda," balas Eyang Pohon Tua. Suaranya terdengar teduh seperti pohon ini. Hana mengerti kenapa peri-peri lain memanggilnya eyang. Peri ini terlihat sangat tua. Namun, kerutan-kerutan di wajahnya terlihat menambah kharismanya. Menurut Hana, Eyang Pohon Tua terlihat keren sekali.
"Eyang Pohon Tua, sedang apa?" tanya Naura.
"Sedang membuat serat kayu untuk mengikat sarang burung di luar. Induk burung itu kurang kuat mengikatnya. Sarang itu bisa terjatuh sewaktu-waktu."
Naura menatap keempat temannya bergantian. Hana mengerti maksudnya, jadi Hana menganggukkan kepalanya. "Kami boleh membantu, Eyang?" Naura mewakili menawarkan bantuan.
Eyang Pohon Tua itu pun tersenyum senang. "Bantuan kalian akan sangat bermanfaat." Eyang Pohon Tua menunjuk kursi-kursi di sampingnya, mempersilahkan mereka untuk duduk. Mereka pun mengambil serat kayu dan memanjangkannya di meja. Perlahan, mereka pun menyerut kayu yang menjadi bagian masing-masing. Hana memperhatikan cara Eyang menyerut kayu dan mengikutinya dengan hati-hati.
Waktu berlalu, hingga warna keemasan matahari masuk dari celah-celah ventilasi. Rupanya waktu sudah sore dan pekerjaan mereka sudah selesai. serat kayu itu cukup panjang untuk mengikat. Mereka pun dengan gembira membantu Eyang memperkuat ikatan sarang burung itu. Induk burung itu terlihat senang saat melihat sarangnya kini kokoh. Cicit terima kasih terdengar dari paruh mungilnya. Pemandangan ini juga salah satu hal indah bagi Hana.
Karena sudah membantu, Pak Pohon tua memberi masing-masing mereka segelas nektar bunga yang disejukkan oleh akar pohon. Rasanya manis dan menyegarkan. Sambil menikmati nektar, Eyang Pohon Tua pun membuka percakapan. "Jadi, apa tujuan awal kalian mengunjungi Eyang?"
"Em, kami ingin bertanya mengenai kondisi Hana, Eyang." Jawaban Naura memberi keresahan dalam hati Hana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hana : Peri Kecil Bersayap Putih
FantasiaHana adalah seorang peri yang lahir dari bunga anyelir yang baru mekar. Banyaknya anak-anak yang mempercayai keberadaan peri, membuat peri-peri di Taman Bunga Kilau menjadi semakin bertambah banyak dengan ragam warna dan bentuk sayap yang indah. Say...