Menyebalkan, bagaimana bisa harus menikahi lelaki dingin seperti dia? Jangankan perhatian, dikode agar dia peka saja tidak sama sekali membuahkan hasil. Malah ditinggal begitu saja tanpa kata pemanis sebagai bentuk ungkapan sebelum perpisahan.
"Dia sangat sopan, baik, dan sholeh," kata Nenek sepanjang malam. Namun, hanya omong kosong semata. Untuk apa agamanya bagus, kalau tidak bisa menghargai wanita? Sia-sia, bukan?Ponsel dalam tas slempang bergetar, lekas kurogoh benda pipih yang berdekip itu.
"Iya?" ucapku setelah sambungan terhubung, menempelkannya di daun telinga."Lu di mana?" tanya Bilda setengah berteriak, terdengar sangat bising di ujung telepon.
"Buruan ke kelas!"
"Oke-"
Belum sempat menjawab panggilan sudah dimatikan sepihak. Aku mengembuskan napas sejenak, lalu memijit pangkal hidung berharap rasa pusing dan amarah segera mereda. Sungguh si om yang sialnya nanti akan menjadi imamku itu telah merusak mood yang seharusnya selalu membahagiakan.
"Cepetan!" Rana menarik pergelangan tanganku, cepat menyeret diri ini entah ke mana. Aku hanya pasrah mengikuti langkah lebarnya.
Suara riuh menggema dari kejauhan, ramai yang bersorak kegirangan. Kening ini mengerut, kupikir akan dibawa ke kelas, ternyata ke lapangan. Tanpa permisi Rana menyelinap di khalayak manusia yang berdesak-desakkan. Aku diam, tidak penasaran secuil pun.
"Lama banget keburu pulang itu om gans!" protes Bilda memanyunkan bibir, sedang Raya memaku fokus ke depan. "Santuy! Dikira gampang apa nyari lu berdua," kesal Rana, tak mau disalahkan.
"Liat gebetan gue, Zil!" Melengking suara Bilda sembari melompat kecil, amat semringah.
Aku tertawa, gadis itu selalu antusias menyambut sesuatu yang digemarinya. Kepala berputar mengikuti arah telunjuk Bilda. Mulut ini mendadak menganga, menyadari seseorang yang sibuk menandatangani buku. Ternyata dia ... Ali? Aku mengembuskan napas kasar, refleks mundur selangkah, pelipis kembali berdenyut nyeri, dan lutut mendadak lemas bak jelly.
"Lu nggak apa-apa?" Rana meremas lembut bahuku, raut wajahnya tampak khawatir. Aku tersenyum simpul, lalu menggeleng pelan menunjukkan bahwa tidak ada yang perlu dicemaskan.
Hiruk-pikuk kian membahana, menambah sesak dalam dada. Ah, aku lupa trauma itu belum sepenuhnya sembuh total. Berada di sekeliling manusia yang terus berteriak seakan mengantarku pada memori silam. Tepatnya saat usia baru tujuh tahun, kali pertama umi membentak serta merta melayangkan ransel ke kepala. Bukan sakit di raga, tapi dasar jiwa yang teramat nelangsa.
"Zila ... sakit? Lu pucet banget!" Ada yang mengoyang-goyangkan pundak. Namun, sekadar untuk mengakatan sepatah kata pun tidak bisa, hitungan detik kesadaranku direnggut paksa dan semua mendadak gelap gulita.
***
Samar, lantunan merdu ayat suci Al-Quran terdengar. Aku mengerjap, menyesuaikan cahaya yang menerobos pupil mata, lalu mengubah posisi menjadi duduk dengan bersandar di kepala ranjang.
"Alhamdulillah," ucap seseorang, suara derap kaki terasa kian mendekat.
Aku menoleh. "Om?"
Pria itu tersenyum, lantas menghempaskan bokong di kursi kosong sampingku.
"Kamu sakit?" tanyanya datar tanpa ekspresi.Ck! Dasar manusia plin-plan, tadi bilang enggan berduaan, tapi sekarang? Malah tanpa segan menghampiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
SEHANGAT KASIH ALI
RomanceNazila, gadis blasteran Korea-Indonesia yang sedari kecil selalu mendapat ketidakadilan dari orangtuanya. Hidup di bawah pengekangan mutlak sang umi, kerap kali mendapat tamparan hebat sesaat setelah ketahuan melakukan kesalahan, meski hanya hal sep...