Sakit tak berdarah, tapi menyerupa sesak menggerogoti setiap inci rongga dada, ingin berteriak meluapkan keluh kesah yang menyergap jiwa. Namun lagi-lagi tidak berdaya, belum usai derita masalah kerenggangan keluarga. Kini, sahabat pun sama menjaga jaraknya, musabab lelaki yang menjadi kunci kebebasan tekanan batin yang tengah menyerang hati.
Setumpuk pesan yang kukirim hanya bercentang biru, Bilda sungguh berniat menjauh. Berapa kali coba tanya si kembar, kesimpulannya masih sama, gadis ceria itu butuh waktu menata kepingan hati sejenak. Memang aku tidak tahu seberapa besar cintanya, tapi jika dia terus marah hanya karena Ali menjemput pekan lalu, apa tidak terlalu berlebihan? Mengapa enggan mendengar penjelasan sebelum menghilang tanpa kabar.
Ada yang mengetuk pintu, aku beringsut turun ranjang. Memegang handel lalu memutarnya hingga benda persegi itu terbuka.
"Keluarga Ali sebentar lagi datang." Selarik senyum semringah menghias wajah nenek.
"Bersiaplah. Nanek dan yang lain menunggumu di ruang tamu. Percayalah Allah sebaik-baik tempat berlindung dari segala macam kesengsaraan." Perempuan sepuh itu menepuk bahuku, menyemangati.
Aku berdehem, entah ini kabar gembira atau gimana yang pasti keduanya sukses membuncah sukma.
----
Mendaratkan pinggul tepat di tengah umi dan abi, sementara keluarga besar Ali duduk bersebrangan. Tergeletak beberapa perhiasan dan kotak mika berbagai macam jenis kue dengan segala rasa sebagai pembatas di antara kami. Sesuai permintaan, yang hadir hanya orangtua Ali, Dila, Mas Adnan serta Ayuk Mey yang memangku dua bocah kecil dalam dekapan.
"Maaf, aku ke toilet sebentar, ya," kataku meminta ijin. Bukan hendak buang air atau apa pun, tapi seketika panas bercampur dingin menjerembab ke seluruh tubuh, aku tidak nyaman dalam keadaan segelisah ini.
"Ikut, Kak!" Dila berdiri, aku mengangguk, lantas tunggang langgang kami melesat ke kamar mandi.
"Aku tau Kakak bohong, 'kan?"
Alis kanan terangkat seakan menunjukkan gestur heran, tapi aku tahu arah pembicaraan. Namun, berpura-pura mungkin terkesan lebih elegan.
"Kakak nggak sakit perut, 'kan? Sebenernya cuma mau menghindar dari jangkauan mereka yang duduk di sana, 'kan?" terka Dila tepat sasaran. Aku meringis, ketahuan.
"Aku cuma nggak nyaman aja tadi, terlalu tegang. Lagipula cuma membicarakan tentang perjodohan, 'kan? Atur aja sama mereka sendiri. Toh, aku mau bagaiamanapun nggak akan bisa nolak apalagi berontak."
"Jadi, artinya selama ini Kakak terpaksa?"
Menggeleng, tidak seutuhnya benar. Namun, memang mendominasi enggan menyetujui pernikahan, tapi mau bagaimana lagi, aku bahkan tidak memiliki wewenang untuk menolak.
"Jangan bilang kalau Kakak masih sayang sama Abang? Sampai bertahun-tahun nggak bertemu pun masih susah lupa." Jari telunjuk Dila mengacung, kemudian tergelak.
"Dih, nggak, ya. Sok tahu deh," elakku. Ya, ada sedikit getaran saat mendapat perlakukan hangat dari Ali, tapi tidak semendebarkan dulu.
"Halah, dasar penipu ulung, tuh buktinya wajah Kakak memerah."
Kutangkup kedua pipi, malu. Lantas mengayun langkah ke bilik kamar. Biarlah sepuas hati para orangtua membicarakan tentang pernikahan yang entah kapan akan digelar. Aku tidak peduli.
KAMU SEDANG MEMBACA
SEHANGAT KASIH ALI
RomanceNazila, gadis blasteran Korea-Indonesia yang sedari kecil selalu mendapat ketidakadilan dari orangtuanya. Hidup di bawah pengekangan mutlak sang umi, kerap kali mendapat tamparan hebat sesaat setelah ketahuan melakukan kesalahan, meski hanya hal sep...