Bertopang dagu sembari menepuk pipi, apa lamaran kemarin itu mimpi? Kalau iya, tolong bangunkan, aku tidak ingin semua menjelma kenyataan. Dulu dan sekarang itu beda jauh, ya, aku pernah berharap padanya, tapi tidak untuk saat ini. Sebagaimana rasa, seiring berjalannya waktu pasti melenyap, apalagi semakin tumbuh dewasa. Banyak lawan jenis yang lebih memikat dari cinta monyet ala bocah sekolah menengah pertama pada masanya.Ponsel berbunyi, Ali yang telepon. Mengusap wajah kasar. "Otokkeo?" pikirku kebingungan.
"Assalamualaikum ...."
Aku bergeming enggan menjawab. Sekadar menerima panggilan pun jemari bergetar ragu.
"Saya nggak akan memaksa, bagaimana pun keputusan kamu akan diterima dengan lapang dada," kata Ali membuatku kian meresah gundah.
"Benar, dulu abang menyepelekan ungkapan perasaanmu, tapi setelah kamu pergi beberapa tahun silam. Abang merasakan kehampaan mendalam. Gadis SMP yang amat ceria suka mengganggu pekerjaan tiba-tiba menghilang tanpa kabar ke negeri seberang, tapi satu hal yang harus kamu ketahui, ingatan tentang kamu enggak pernah luput dalam ingatan setiap aktifitas yang abang lakukan. Apa tiga tahun menunggumu masih juga kurang?" Panjang lebar Ali berkata. Namun, jujur rasa itu sudah tidak lagi sama. Aku bahkan telah melupakan, baik sikap maupun wajah menurutku semua terasa asing, tak ada kehangatan lagi saat berdekatan. Sayang nyali menciut sekadar mengutarakan sesuatu yang bersarang dalam pikiran.
"Saya paham, pasti nggak mudah bagi kamu, tapi tolong beri abang kepastian, ya. Kita bisa memulai membuka lembaran baru, 'kan?" sabungnya, aku tetap mengunci mulut rapat.
Membuka lembaran baru dengan sesuatu yang telah berdebu dalam kalbu? Hah, buang-buang waktu. Tiada bahagia bilamana menikah tak saling mencinta.
"Zila ...."
Hening
"Baiklah, kalau gitu kamu istirahat, ya. Jangan lupa sarapan sebelum berangkat kuliah, atau mau saya jemput?" tawarnya.
"Nggak usah," balasku, lalu mematikan sambungan.
Benci, aku muak dengan segala sesuatu yang akan menenggelamkanku di dasar masa lalu. Tak sedikit pun membiarkan badan kembali terperosot dalam lembah kekelaman.
"Sekarang dia ingin aku kembali kepelukannya? Lantas ke mana saja selama ini? Pasti nggak peduli, terlebih ulahnya aku hidup di Korea bak sebatangkara, kembali seatap bersama Umi yang super pemarah itu."
Memiringkan badan, sedikit meringkuk menghadap ke kanan. Hanya butuh hitungan menit aku telah larut dalam mimpi.
"Jangan makan! Itu haram untuk kamu!" sergah Umi tegas tak terbantahkan. Aku yang hendak menyendok sesuap nasi tiba-tiba terhenti mendengar larangan kejam dilontarkannya. Spontan lengan menurun, menuruti perintah, pelan mendorong kursi ke belakang, lalu berdiri dalam diam.
"Dari mana tadi?" tanyanya dengan nada dingin, menyulut debaran dasyat dalam hati.
Aku menunduk, takut.
"Bolos, iya?!" tuduhnya tepat sasaran, sukses membuat mata terbebalak sempurna.
Plak!
Satu tamparan melesat di area pipi, rasa panas menjalar, bahkan mata ikut serta menghangat, mungkin sudah memerah seandainya aku beradu pandang dengan cermin kaca.
KAMU SEDANG MEMBACA
SEHANGAT KASIH ALI
RomanceNazila, gadis blasteran Korea-Indonesia yang sedari kecil selalu mendapat ketidakadilan dari orangtuanya. Hidup di bawah pengekangan mutlak sang umi, kerap kali mendapat tamparan hebat sesaat setelah ketahuan melakukan kesalahan, meski hanya hal sep...