Pukul tujuh, aku baru bangun. Merenggangkan tangan sejenak, lalu melangkah ke kamar mandi. Saat hendak mengambil sabun pencuci muka, pintu digedor-gedor kuat. Lekas kaki berlari, kemudian menekan knop."Um--"
"Nggak shalat subuh, 'kan?!" sentak Umi sambil bersedekap dada serta merta menatap tajam. Lantas menendang kencang lulutku. Refleks kaki memundur.
"Anak nggak ada ahlak! Sekolah tinggi, tapi nggak ada kemajuan sama sekali. Buang tenaga dan waktu saja membesarkan kamu hingga dewasa kaya sekarang. Harusnya, mati aja pas baru lahir. Merepotkan orang lain terus kerjaan, dasar!" Napas Umi tersengal, wajahnya merona merah padam, menahan amarah.
Aku bungkam, sesekali menghirup udara dalam-dalam agar bisa lebih tenang. Meski nyatanya sangat terluka tiap kali mendengar pernyataan tercela dari bibir wanita berkerudung coklat itu.
"Kaya bukan anak manusia!" cibirnya penuh penekanan, lalu hendak melayangkan telapak tangan.
"Mbak Ra, cukup!" pekik lantang seseorang, tanpa melihat si empunya pun aku tahu, itu bunda.
Bunda menyentuh pundakku, kemudian berbisik lembut. "Masuk sana, mandi dulu."
Menetes airmataku, terharu. Perlakukan manis bunda seakan menghapus pilu di hatiku.
Usai membersihkan seluruh badan, aku menelpon Ali.
"Bang!"
"Iya, ada apa?" sahutnya cepat.
"Kapan lamarannya?" tanyaku penuh harap.
"Maunya kapan?" Dia balik bertanya.
"Besok minggu juga aku mau."
Ali terkekeh, aku mengerling malas.
"Nanti abang coba bicarakan sama Ayah dan Abimu dulu, ya."
"Pliiis, jangan lama-lama, ya." Aku merengek manja, persetan bila terkesan tidak sabaran.
"Insya Allah. Kamu udah makan?"
"Belum. Lagi badmood. Abang nggak mau ajak aku jalan-jalan gitu?"
"Ngapain? Nggak baik lho berduaan terus."
Berdecak kesal, lagian kalau tidak kepepet mana mungkin aku mengajaknya keluar. Mending juga bersenang-senang dengan Bilda dan si kembar. Ah, aku jadi merindukan keseruan bersama mereka.
"Naz?" Ali memanggil.
"Sekarang Zila bukan Naznaz lagi."
"Bagi saya kamu tetaplah Naznaz yang suka nyemil nanaz."
"Bang?"
"Iya?"
"Bawa aku kabur dong."
Dia terbahak.
"Pliiis, aku mohon, ya ... ya ....!" pintaku memaksa.
"Naz ab--"
"Izin ke Nenek aja, bilangnya kita mau nyari cincin atau gimana aja deh yang penting masuk akal. Aku tunggu sepuluh menit pokoknya, kalau nggak ke sini, aku ngambek titik dan nggak akan nelpon Abang lagi," ancamku. Terserah dia mau berasumsi aku manusia bersifat egois akut, bodok amat.
Menit berjalan, aku mondar-mandir di dapur, menunggu was-was kedatangan Ali. Semoga dia kemari lalu membawaku pergi. Mulai bising di ruang tengah, jantung berdebar senang, sepertinya yang di nanti telah tiba.
"Apa yang membawa kalian ke sini?" Lagi, suara judes umi menggema. Aku menghela napas panjang, apalagi ini? Aku ingin bebas, Tuhan. Tolong jangan dipersulit.
KAMU SEDANG MEMBACA
SEHANGAT KASIH ALI
RomanceNazila, gadis blasteran Korea-Indonesia yang sedari kecil selalu mendapat ketidakadilan dari orangtuanya. Hidup di bawah pengekangan mutlak sang umi, kerap kali mendapat tamparan hebat sesaat setelah ketahuan melakukan kesalahan, meski hanya hal sep...