2

9 1 0
                                    

Takdir Tuhan adalah rahasia semesta yang paling rahasia.

                                 –––––

Suara langkah kaki terdengar, aroma khas rumah sakit memasuki Indra penciuman. Jeffrien segera bergegas setelah mendapat telepon dari seseorang yang ia kenal.

–––––


Jam 07.05

Di pagi hari yang cerah ini seperti biasa, di awali dengan meminum secangkir kopi.

Jeffrien mengaduk-aduk kopi yang sudah dibuatnya tadi.

Sruput..

Seteguk kopi tadi masuk ke dalam mulutnya.

Keadaan tenang memandang halaman luar sambil meminum secangkir kopi.

Jeffrien berdiri, ia teringat handphone nya berada di kamarnya. Sambil membawa secangkir kopi tadi ia berjalan menyusuri tangga.

Ceklek..

Begitu membuka pintu, Jeffrien mengangkat sebelah alisnya. Handphone nya terus berdering

Langsung ia menaruh gelas kopi tadi di samping rak yang berada tak jauh dari pintunya lalu mengambil handphone nya.

Deg..

Jantungnya berdebar kencang hanya dengan satu nama.

                             Pak Leo

Dokter? Syukurlah diangkat.
Eliza drop saat dini hari tadi.
Ini saya Alesa asisten Pak Leo

Sungguh, Jeffrien mematung mendengar pasiennya mengalami drop lagi.

Saya segera ke sana.

Tutt..

Jeffrien segera mengganti pakaiannya lalu beranjak pergi.

Di mobil, pikirkan ku tidak tenang.

Tuhan tolong..

Doa-doa yang terus ia ramalkan sedari tadi.

                                  –––––

07.48

Langkahku tergesa-gesa menuju suatu ruang. Ruang yang bertuliskan ICCU adalah tempat pasiennya berada sekarang. Ya, Eliza adalah pasien dengan penyakit di jantungnya.

Jeffrien membuka pintu, matanya langsung tertuju pada gadis yang sudah berbaring dengan wajah pucat nya.

Jeffrien memeriksa detak jantung nya. Syukur masih berdetak, meskipun gelombangnya kecil.

Kini kembali lagi, alat-alat menempel di tubuhnya. Menopang segala hidupnya. Semoga kali ini Tuhan masih berbaik hati mengizinkan anak ini sembuh dan mengejar segala mimpi-mimpinya.

"Dokter, bagaimana keadaan Nona Eliza?" Tanya seorang perempuan, tadi dia– siapa? Asisten Pak Leo ya. Ah iya. Alsea kalau tidak salah.

"Keadaannya drop seperti sebelumnya, saya akan terus memantau perkembangannya. Saya rasa, jika sampai 5 hari ke depan tak ada perubahan. Kita harus terbang ke Prancis" Ucap Jeffrien jujur

"Apapun itu, Dok. Ayah Eliza sedang terbang menuju ke mari setelah mendengar kondisi putrinya" Jelas Alesa

"Ya, Eliza butuh support orang-orang yang ia kenal" Ujar Jeffrien. Matanya sedari tadi hanya menatap ruang yang di batasi kaca itu.

"Terima kasih, Dokter Jeffrien" Ucap Alesa sambil tersenyum

"Sama-sama" lalu melanjutkannya, "Saya pergi dulu" Lalu tubuhnya berjalan meninggalkan ruangan itu.

                                   –––––

"Jeff, masih pagi udah di sini aja" Ujar seseorang yang Jeffrien kenal, itu Dimas namanya. Dia juga seorang Dokter. Kami hanya beda spesialis.

Yang di tanya hanya mengangguk-anggukkan kepalanya. Jeffrien benar-benar lelah batin. Melihat pasien-pasien nya berjuang untuk hidup cukup menyayat hatinya. Apalagi Eliza, anak perempuan dengan umur belasan yang harus terus berobat dan bisa memprediksi umurnya hanya sampai kapan.

Bukankah itu mengerikan? Saat kau tahu kapan waktumu untuk mati.

Melihat tingkah temannya, sepertinya Dimas tahu penyebabnya.

"Eliza ya?"

"Iya"

Melihat temannya yang seperti tak semangat hidup hari ini, Dimas mengangguk-anggukkan kepalanya, ia mencari ide untuk sedikit menghibur temannya ini "Waktu itu gue ketemu Eliza.."

Benar saja, baru Dimas ucapkan itu kepala Jeffrien langsung menoleh.

Dengan senang hati Dimas melanjutkan ceritanya "Waktu itu dia sambil nulis di buku. Kayanya sih cerita gitu.."

"Apa mungkin dia ingin menjadi penulis?" Tanya Dimas pada Jeffrien

"Iya.." jedanya, lalu melanjutkannya "Eliza ingin jadi penulis."

"Keren!"

"Kisah hidupnya bisa menginspirasi bagi siapapun yang membacanya nanti" Ucap Dimas tak sadar

"Ya. Tapi harus happy ending" Ujar Jeffrien sambil menatap ke depan. Matanya kosong.

"Persoalan happy atau engga itu biar urusan Tuhan. Lo udah ngelakuin yang terbaik, Dokter Jeffrien!" Ucap Dimas

Mendengar ucapan tamannya, senyum terulas di wajahnya. "Terima kasih"

"Sama-sama, bro"

Setelahnya, tak lama teman mereka yang lain datang. Kehebohan langsung datang. Canda tawa memenuhi ruangan.

Sebab beginilah cara menghibur diri di saat melihat kematian dan kehidupan saling berdekatan.

     TBC

Dimas Hendikokusumo

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Dimas Hendikokusumo

Di Langit Bersimpuh HarapanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang