Resiko dari percaya terkadang memanglah luka. Tapi, jadikan luka itu sebagai pembelajar agar kamu tak perlu mengulang.
***
Happy Reading...
Ratu Naqilla Andini. Namanya memang tak cukup terkenal, dia hanyalah murid biasa di SMA Darma Bangsa. Namanya juga tak pernah terdaftar dalam deretan nama-nama siswa berprestasi dan dia sangat bersyukur dengan itu, karena dia tidak perlu berkutat dengan buku-buku yang membosankan di luar jam belajar. Jangan salah, nilainya juga terbilang cukup bagus meskipun tak berada di lima besar.
Pagi ini Ratu harus menaiki bus karena sudah dua hari ini motornya sedang berada di bengkel. Sialnya, dia hampir saja terlambat saat bus yang seharusnya lewat malah tak kunjung-kunjung datang.
"Tumben mepet, Ra?" tanya Mira teman sebangkunya.
"Nggak papa, pengen aja," jawab Ratu sekenanya.
Ratu enggan untuk berbagi cerita apapun dengan orang lain meskipun mereka cukup dekat. Apalagi, berbagi cerita tentang kesialan yang kita dapatkan hanyalah sia-sia.
***
Di saat semua murid lebih banyak menghabiskan waktu istirahat dengan bermain bersama atau pergi ke kantin saat jam istirahat. Berbeda dengan Kiesha yang sedang sibuk berkutat dengan buku-buku tebal di perpustakaan. Tak jarang banyak yang menganggapnya terlalu ambisius. Kiesha tidak pernah mengambil pusing dengan anggapan orang terhadapnya. Bukankah manusia memang seharusnya memiliki sifat ambisius? Agar setiap dari kita mempunyai tujuan untuk hidup.
"ICAAA!!" Kiesha sangat kenal dengan suara itu, suara yang hampir memenuhi seluruh ruangan. Tak ada satupun orang yang memanggilnya dengan nama 'Ica' selain manusia bernama Lizi, dia berpura-pura tak menghiraukan panggilan tersebut.
"Ica," panggilnya lagi dengan suara yang lebih pelan saat jarak antara mereka cukup dekat. Tanpa memperdulikan seseorang yang kini sudah duduk disampingnya, dia kembali meneruskan kegiatanya membaca.
"Ih, Ica mah gitu. Aku bilangin tante Evy, ah," kata Lizi sebal, saat merasa panggilannya tak di indahkan.
"Berisik," tanggap Kiesha ketus. "Lo mau ngomongin apa ke mama?" sambungnya.
"Akhirnya, Ica mau ngomong," teriak Lizi antusias. "Ngomongin apa, ya? Gimana kalo soal balapan kemaren?" sambungnya.
"Sekali lo ngomong ke mama, habis lo."
"Ih, takut," kata Lizi mengejek. "Aku nggak bakal laporin ke tante Evy, sih. Tapi, sebagai uang tutup mulut satu hari ini kamu jadi milik aku. Gimana?"
"Ya."
Buku-buku yang tadinya bertumpuk dimeja perpustakaan mulai Kiesha letakkan kembali ke rak buku sebagaimana mestinya. Untuk sekarang Kiesha tak bisa berbuat apa-apa selain pasrah. Saat ini dia tak ingin berurusan apapun dengan mamanya. Jika sudah berurusan dengan sang mama sudah pasti papanya akan ikut campur dan dia tak mau itu.
Di sekolah tak ada yang tahu kalau mereka berdua adalah sepupu, yang teman-temannya tahu bahwa Lizi tengah gencar mendekatin si 'Mr. Perfect'. Di antara keduanya juga tak ada yang peduli dengan gosip itu, mereka juga tak berniat untuk mengklarifikasi.
"Jadi, tadi mama ngasih aku dua bekal. Satu buat kamu, satu lagi buat aku," jelas Lizi sambil mengeluarkan bekas dari tasnya. Sekarang mereka tengah duduk di taman sekolah yang jarang ada orang melintas.
"Zi, lo gak bosen begini terus?"
"Enggak, kamu satu-satunya orang yang aku punya, Ca. Kamu tahu banget aku. Sampai kapanpun, cuma kamu orang yang bisa aku percaya."
Kiesha menggenggam kedua tangan Lizi. "Zi, dengerin gue. Nggak semua orang sama kayak mereka dan lo nggak bisa selamanya ngikutin gue kemanapun. Kita punya kehidupan masing-masing."
"Iya, aku janji nggak akan ngerecokin kehidupan kamu, kok. Tapi, aku cuma mau kamu ada saat aku butuh."
"Bukan gitu maksud gue. Gue janji bakal selalu ada buat lo, tapi lo juga butuh orang lain selain gue. Ya udahlah, terserah lo. Gimana bahagia lo, aja."
"Thanks you," kata Lizi sambil memeluk Kiesha di tengah tangisnya.
Gadis dihadapannya ini memanglah tak sekuat yang orang lain lihat, terlalu banyak luka yang dia sembunyikan. Meskipun sikap Kiesha acuh tak acuh dengan keberadaan Lizi tapi dia sangat menyayangi Lizi.
***
Setiap orang punya kebahagiaan yang terkadang tak bisa dijelaskan. Seperti sekarang, Ratu tengah asyik sendiri di bawah pohon besar. Ini adalah salah satu sport favoritnya di sekolah. Rasanya bahagia saja saat dia bisa tenang menulis puisi-puisi sambil menghirup udara segar.
"Bukan gitu maksud gue. Gue janji bakal selalu ada buat lo, tapi lo juga butuh orang lain selain gue. Ya udahlah, terserah lo. Gimana bahagia lo, aja."
"Thanks you."
Samar-samar Ratu mendengar suara orang tengah ngobrol serius. Matanya mulai mengedarkan ke sekeliling hingga terhenti saat melihat dua orang yang tengah berpelukan. Dan Ratu sangat mengenali dua orang tersebut.
Emang mereka pacaran, ya? Bukannya-
Ya ampun Ratu itu bukan urusan lo.
Ratu mencoba menyadarkan fikirannya. Entah mengapa semenjak pertemuan kemarin dia tiba-tiba jadi sering memikirkan Kiesha.
"Udah, lo nggak perlu sedih-sedih lagi. Mending kita makan masakan mama lo, aja." hibur Kiesha.
Lizi mengusap sisa air mata di pipinya. "Ayo!!" seru Lizi senang.
Melihat interaksi keduanya Ratu sangat yakin bahwa mereka memiliki hungan khusus yang lebih dati sekedar kata-kata. Dan yang menjadi pertanyaan besarnya adalah mengapa saat berada di depan teman-temannya sikap Kiesha sangat berbeda dari yang sekarang dilihatnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Batas Rasa
ChickLitKita tak pernah tahu seperti apa takdir mempertemukan dan memisahkan seseorang. Terkadang, kita perlu untuk tak terlalu memikirkan tentang hal-hal yang belum pasti. Meskipun, semua pasti akan terjadi kita hanya perlu menjalani apa yang ada dan biark...