Paragraf pertama pada sebuah cerita, banyak orang bilang, adalah hal paling penting. Sebab, dengan paragraf pertama, dapat menentukan apakah seseorang tersebut akan membaca ceritamu sampai habis, atau mengutuk ceritamu sebagai pembuang waktu belaka—kau tahu, ada banyak hal yang lebih mending dilakukan dibandingkan membaca paragraf pertamamu yang butut, mendownload foto Farhat Abbas, misalnya. Namun, persetanlah dengan kata orang, paragraf pertama dalam sebuah cerita adalah sebuah paragraf pertama dalam sebuah cerita—dan setiap pengarang punya kendali penuh atas bagaimana paragraf pertama tersebut akan ditulis. Sama seperti yang kamu baca saat ini: sebuah paragraf pertama dalam sebuah cerita yang pengarangnya tidak peduli akan dua kemungkinan yang sudah disinggung pada paragraf ini.
Selanjutnya, mari kita awali cerita ini dengan pertanyaan, sepanjang hidup, sudah berapa kali kamu mendengar pepatah "tak kenal, maka tak sayang" pada setiap perkenalan? Biasanya motivator-motivator yang diundang sekolah menjelang ujian nasional, menggunakan pepatah klise itu. Cukup basi—tapi, kupikir tidak ada salahnya memulai cerita dengan sebuah perkenalan 'kan?
Namaku Biji Tumbuh. Tetanggaku yang memberi nama itu. Ya, matamu tidak salah membaca kalimat itu. Tetanggaku memang yang memberi nama itu. Ceritanya, waktu aku lahir, orang tuaku bingung mau memberi nama apa aku. Stok nama untuk anaknya sudah habis untuk sebelas anaknya. Sialnya, aku anak nomor selusin. Ketika tetanggaku bertanya siapa namaku, orang tuaku nampak kebingungan, dan tiba-tiba tetanggaku tersebut menyeletuk, "Biji Tumbuh, sepertinya bagus." Sialnya lagi, orang tuaku setuju dengan ide itu, "Tidak terlalu buruk." Seperti pasrah. Jadilah namaku Biji Tumbuh.
Orang-orang memanggilku Bi atau Ji. Tukang parkir memanggilku, "Ya, terus.. terus.. balas kanan." Prit. Prit. Prit. Kau tahu, aku senang berkelakar, seperti yang barusan. Akan tetapi, lelucon soal tukang parkir tadi sebenarnya bukan lelucon murni hasil pikiran saya. Aku pernah mendengar lelucon tersebut dari seorang Stand Up Comedian—aku lupa namanya. Jika sudah ingat, mungkin akan aku tulis nanti di BAB selanjutnya.
Selain gemar berkelakar, aku juga gemar menulis puisi. Puisiku banyak berbicara soal kebobrokan orde baru. Aku senang membaca puisi-puisi tersebut di mana saja: di depan tukang becak, di resepsi pernikahan seorang teman, atau di acara diskusi. Mudah ditebak, oleh karena itu aku sering kena masalah. Aku sering dikejar-kejar. Aku sering bersembunyi: dari satu sunyi ke satu sunyi lain, dari satu takut ke satu takut lain.
KAMU SEDANG MEMBACA
1998: Ode Biji Tumbuh
Historical FictionSeekor kecoa terbang--dan mendarat tak mulus. Harapan dan manusia, seringkali mirip seperti, kecoa terlentang: sekeras apapun berusaha, tak jarang sia-sia(l) belaka.