6

20 5 2
                                    

Sabtu sore, kendaraan roda dua dan tiga memadati jalanan. Salah satunya motorku ikut andil.

Malam mingguan?

Bukan, aku ga tertarik buat ikut macet-macetan.
Aku punya tujuan lain, aku mau mengunjungi tempat seseorang  yang hampir tiap minggu rutin selalu aku datangi.

Dan sampailah ke tempat yang aku tuju, tempat lapang yang sunyi dipadati puluhan mungkin ratusan rumah atau tempat peristirahatan terakhir setiap manusia.

Yaps, aku sedang ditempat pemakaman.

Terakhir kali aku marah sama mama dan teman laki-lakinya itu, aku sudah jarang atau bahkan ga ngobrol akrab apalagi becanda sama mama. Bahkan aku lupa dengan seorang cowok yang belakangan ini gencar aku pepet, siapa lagi kalo bukan Angga.

Semuanya terasa beda, aku merasa kehilangan semangat hidup, keinginan mama untuk menikah membuat aku bener-bener merana.

Aku mogok bicara, aku melakukan itu sebagai tanda protes dan ketidaksetujuanku atas ijin mama untuk menikah lagi. Aku ga mau punya papa baru, aku ga mau nerima orang baru lagi dikeluargaku, cukup aku dan mama.

Aku benar-benar dilema.
Apa aku terlalu egois?

Malam itu bukan pertemuan terakhir kami, mama dan teman laki-lakinya itu masih berusaha meluluhkan aku untuk meminta ijin menikah.

Oh iya namanya om Reno, aku hampir lupa, dia duda tanpa anak. Om Reno keliatan baik, tapi ga ada yang tau kan aslinya gimana. Yang namanya tiri selalu baik di awal, entah gimana kalo aku sudah kasih ijin, mungkin bakal berubah sifatnya.

Setiap ketemu, aku ga pernah memperlakukan om Reno seperti orang dewasa, atau layaknya anak muda menghormati orang yang lebih tua, aku selalu kehilangan sopan santun didepannya. Mama juga ga berani negur, entah kenapa.

Aku duduk melipat kaki didepan pusara papaku, papa Jody. Menyebarkan bunga dan membaca doa untuk papaku. Akhir-akhir aku jadi lebih sering curhat dengan batu nisan papa setelah mama mau menikah. 

Aku yang setiap harinya terlihat ceria dan konyol, seakan berubah drastis tiap didepan makam papa. Aku bebas menangis sampai rasanya sesak, seakan tidak ada hambatan untuk  menumpahkan segala kesedihan dan beban yang aku punya.

"Haay Pah.., Akira dateng lagi." Kata pertama yang aku ucapkan setelah membacakan doa.

Aku mengusap pelan batu nisan papa yang kelihatan sudah tidak baru lagi. Dan tanpa terasa pipiku mulai basah.

Ini bukan lebay, tapi ini perasaan rindu besar seorang anak kepada cinta pertamanya, yaitu papanya sendiri.

"Akira harus gimana Pah? Akira ga mau egois, tapi Akira juga ga bisa nerima om Reno buat jadi papa baru Akira." Aku mulai sesenggukan.

"Andai papa kuat dan mau bertahan melawan sakit jantung papa, mungkin Akira ga akan se-dilema ini,"  Aku meremas tanah merah yang bertabur bunga itu. "Boleh ga Akira bilang Tuhan itu jahat? Akira iri sama mereka yang masih punya papa, Akira iri Pah."  Tangisku mulai pecah dan tidak bisa terbendung lagi.

"Akira kangen papa."

Aku meraung, meluapkan segala kesedihan yang selalu aku tahan. Isak tangisku beradu dengan hembusan angin sore. Aku menumpahkan semuanya disana. Didepan pusara papaku.

***

Langit sudah gelap bertabur bintang, aku duduk sendiri disebuah taman setelah lelah menangis dipemakaman. Aku belum berani pulang dengan keadaan mata bengkak, yang nantinya pasti menimbulkan beberapa pertanyaan dari mama.

Aku mengambil handphone didalam tas selempangku, ada banyak panggilan dan chat masuk dari mama, tapi ga aku hiraukan sama sekali. Jam menunjukan pukul setengah sepuluh malam. Lumayan lama aku duduk ditaman ini.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 11, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

STUPID GIRLTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang