Senin yang lalu, pengumuman kelulusan seleksi Unit Kegiatan Mahasiswa Pengabdian Masyarakat telah dilaksanakan. Dan benar kata Langit, Nila Kalila jadi salah satu mahasiswa pendaftar yang lolos. Bisa dikatakan perkataan Langit tentang wawancara yang perannya hanya sebagai formalitas memang tandas. Sebab hampir semua pendaftar—asal mengikuti tahap wawancara—namanya terpajang di selebaran dengan keterangan lolos. Bisa dibilang begitu karena nyatanya ada beberapa mahasiswa yang menganggap penyeleksian ke depan hanya akan seperti makin ketat dan hal tersebut menjadikan mereka malas lebih duluan.
Dari total tiga puluh pendaftar, ada dua puluh satu mahasiswa yang lolos. Salah satunya adalah Nila.
Tetapi, tentunya untuk jadi anggota resmi UKM PM universitasnya menimba ilmu—apalagi UKM tersebut terkenal acap mencatat pencapaian yang luar biasa—perjuangan tidak hanya sampai di sana saja.
Sebab di sinilah Nila Kalila sekarang berdiri—di tengah-tengah peloton yang terdiri dari himpunan calon anggota baru ssebanyak dua puluh diri. Saat itu waktu baru menunjukkan pukul enam pagi, tetapi para calon anggota baru sudah disuruh berbaris di tengah lapangan dengan curahan mentari yang menyinari.
Di pundak mereka sudah tersampir sebuah ransel yang berisi berbagai hal yang tercantum dalam lampiran surat edaran. Pakaian yang mereka kenakan juga diatur—hanya kaos putih polos panjang dan celana olahraga yang panjang, lengkap dengan sepasang sneakers warna hitam.
Mereka kini sedang berada di pembukaan acara pelantikan. Acara pelantikan ini dilakukan tiap-tiap tahun, dan memilih hari Sabtu–Minggu dengan selisih satu minggu usai pengumuman kelulusan dilecutkan. Dalam acara pelantikan, rincian acara hingga barang-barang yang mesti dibawa terlampir pada selembar surat pemberitahuan orang tua. Mereka tidak diperbolehkan membawa barang-barang yang tidak tertulis di dalam surat lampiran. Contohnya adalah ponsel.
Singkatnya, mereka dipaksa jadi manusia purba secara tiba-tiba. Begitu, pendapat Nila Kalila ketika sedang mengobrol dengan sang bunda.
Setiap hari, setelah pengumuman acara pelantikan ditangkap oleh telinga lalu diterima oleh otaknya, Nila Kalila tidak pernah melewatkan barang sedetik saja untuk tidak mengeluh. Ia bercicit betapa kejam kakak tingkatnya melarang penggunaan ponsel.
"Itu namanya pembunuhan massal, Bun. Mungkin UKM PM cuma kedok. Sebenernya mereka itu organisasi dunia terlarang, yang tujuannya adalah melenyapkan manusia." Begitu keluhnya kepada sang bunda.
Mendengar kalimat protes seperti demikian, sang bunda tidak menanggapi dengan apa-apa selain terkekeh ringan lalu mengusap puncak kepala putrinya pelan.
Tetapi bukan Nila Kalila namanya jika langsung diam begitu saja. Dibilang bahwa cerewetnya mengalahkan seekor burung beo pun tidak berlebihan. Sebab bahkan selang satu jam setelah bundanya mencurahkan kalimat penenang yang pertama, gadis itu masih mengoceh sambil mencebikkan bibirnya. Padahal, Tania—bunda Nila—adalah seseorang yang sangat pendiam dan santun. Jika kata-kata sudah lahir dari bibirnya, hampir semua orang yang dikenalnya akan langsung diam dan mengiyakan begitu saja.
Tetapi siapa sangka musuh terberatnya dalam berperang kata adalah gadisnya sendiri?
Dulunya Tania adalah seorang penulis sebelum terjadi beberapa hal lalu memilih berhenti. Dan sepatutnya semua manusia berhati-hati dengan seorang penulis, apalagi jika orang itu adalah seorang pengamat yang cermat. Sebab apa yang dilihat, didengar, dan dirasakannya dapat diserap dalam-dalam sebelum disulap jadi sebuah belati tajam. Belati itu mampu menghancurkan apapun, termasuk si penulis itu sendiri.
Sore itu, ketika Nila menyirami bundanya dengan sedanau kalimat protes, bundanya hanya bisa manggut-manggut sambil memotong mangga. Usai gadis itu lelah berceramah, barulah potongan mangga itu disuguhkan kepadanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pluie
Teen FictionPluie berarti hujan. Cerita ini mengandung bulan-bulan dan tanah-tanah yang basah, lengkap dengan sepahan air yang bertumpah. Ada beberapa yang terpecah di sini, pun hal-hal yang dirajut jadi kisah; atau sebaliknya, bersimbah sudah jadi sejarah. Buk...