Kira-kira dua jam berselang sejak mereka berduyun-duyun memasuki bus dan membelah kota hingga kini masing-masing raga sedang tertunduk lemah di depan tenda.
Tepat setelah mereka menginjakkan kaki di sebuah lapangan berumput pendek yang sepertinya adalah sebuah bumi perkemahan, sebuah apel digelar lagi. Di dalamnya, dibahas kegiatan yang mesti dilakukan setelah ini, yaitu membangun tenda. Usai peleton dibubarkan, pembagian kelompok dibacakan. Ada total empat kelompok, masing-masing terdiri dari empat orang, tetapi ada satu kelompok yang berisi enam orang.
Masing-masing kelompok membentuk mandala setelah menemukan lahan untuk membangun tenda. Mereka ditugaskan menjaga lahan itu supaya tidak direbut kelompok lain, mengingat lapangan yang terpeta tidak begitu luas. Setelahnya, tenda dibagikan dan dibangun dengan kemampuan membangun tenda yang minim.
Jangankan membangun tenda, memegang pun Nila belum pernah. Beruntung ia menjadi satu kelompok dengan Reita yang tampaknya menguasai segalanya, jadi, ia hanya mampu membantu pegangi ujung besi sebelum patok mengunci.
Dengan cucuran deras keringat yang kemudian mulai diseka dan lidah yang sengaja dijulurkan secara berlebihan, Reita mendekati Nila yang sedang merapikan barang bawaan. "Biruuuuuuuuu!" keluhnya, dengan suara tercekat tak enak didengar yang menusuk-nusuk telinga. Tangan Reita memegang ujung kaus Nila dan mencengkeramnya.
"Kalo gue mati, tolong hapusin tweet-tweet aneh gue di Twitter," ucapnya lalu meletakkan kepala ke alas tenda, lalu memejamkan mata sambil tersenyum seolah-olah dalam hitungan satu detik lagi, nyawa akan menguap dari tubuhnya. "Anak tolol."
"Gue serius!" tukas Reita lalu terduduk dengan cepat. Tatapnya mengunci manik milik Nila dan matanya dibuat sipit sedemikian rupa. Gadis itu selanjutnya menangkup tangan kanan kawannya, lalu menatap penuh makna. "Tolong hapusin thirst trap gue di Twitter. Ini permintaan terakhir gue."
Lalu Reita telentang dan memejam lagi, menjadikan Nila mengaduk-aduk ransel, mengambil botol mineral dan melemparkannya ke arah Reita.
"Malaikat!" teriak Reita kegirangan, lalu bersusah payah duduk untuk meneguk air yang baru saja dipikirnya pemberian dari malaikat pencabut nyawa yang sudah menunggu di ujung tanduk.
Reita meneguk air mineral milik Nila hingga hampir setengahnya. Melihat hal tersebut, Nila curiga bahwa Reita sebenarnya adalah siluman sapi.
"Nila Kalila please nikah sama gue!"
"Gue ogah nikah sama sapi."
"Gue bukan sapi!"
"Tapi lo kayak sapi."
"Tapi gue sapi yang cantik dan anggun."
"Anggun dari mana, coba?!"
Reita mendesis, lalu merangkak demi singkap tirai bagian muka tenda. Angin sepoi-sepoi sontak lembut menerpa dahinya yang lebar. Rambut cokelatnya yang masih diikat rapi perlahan bergerak-gerak seolah menyambut angin. Gadis itu memejamkan mata, dengan diam mensyukuri nikmat meski berupa angin yang hilang dalam sekali napas dihela.
Beberapa saat kemudian, keduanya duduk berlipat kaki sambil menatap rerumputan hijau yang mengering. Tatapan mereka lurus menghunus, tanpa sepatah kata pun yang berderak keluar dan berontak dari bibir masing-masing. Saat itu, mereka sedang memanfaatkan waktu istirahat untuk benar-benar istirahat.
Angin berdesir, menyisir rerumputan kering seolah memberikan mereka cadangan nyawa yang selama ini dibuat tak kasat mata. Sejuk. Geraknya menyugar telapak-telapak tenda dan menggoyangkan mereka dengan lembut. Embusan itu menyentuh tiap benda yang tergeletak di tengah lapangan; menyelami bumi perkemahan dan menggantikan udara gersang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pluie
Teen FictionPluie berarti hujan. Cerita ini mengandung bulan-bulan dan tanah-tanah yang basah, lengkap dengan sepahan air yang bertumpah. Ada beberapa yang terpecah di sini, pun hal-hal yang dirajut jadi kisah; atau sebaliknya, bersimbah sudah jadi sejarah. Buk...