Bau khas maskulin terhidu tajam saat kesadaran ini mulai datang. Perlahan kukerjapkan mata menghalau silau cahaya lampu kamar. Pusing masih terasa walau samar.
Aku meraba pelipis karena sengatan nyeri. Meringis, aku merasakan kain kasa kasar teraba di sana.
Pandangan ini menyasar semua dinding kamar hingga mendapati sebuah figura foto besar di atas pintu. Ada sebuah foto menampilkan pria dengan kekasihnya sedang berpelukan mesra dengan posisi wanita membelakangi kamera. Wajahnya tidak terlihat dan hanya sebuah tato yang jelas terekspos dipundak putihnya, bersanding dengan rambut pirang yang di curly.
Memandang gambar sosok di foto itu, aku jadi tahu kalau sedang berada di unit apartemen Kevin--sahabat Albern. Kenapa dan siapa yang membawaku ke sini? aku pun tidak tahu.
Aku menghela badan agar bisa duduk, tetapi sengatan nyeri masih terasa bahkan kini perut ikut bergolak, membuatku urung bergerak dan lebih memilih berbaring. Aku menghela napas dan mengeluarkan perlahan, agar sedikit mengurangi rasa mual.
Sekelebat kejadian yang tadi terjadi membayang di ingatan. Tentang kemarahan Albern juga ucapan kasar di sertai tindakannya. Apalagi fakta tentang kemunculan Audrey.
Ah, semua kacau.
Dan semua kekacauan tidak akan berhenti sampai di sini. Albern tidak akan melupakan kesalahanku begitu saja, apalagi bila menyangkut Audrey-- wanita yang lebih dulu hadir dan memberikan warna ceria dihidupnya.
Kembali ke negara entah-barantah katanya? padahal sedikit yang kutahu, Mama Albern berasal dari sana, sedangkan dia tinggal bersama Kakek dan Neneknya di sini. Lucu sekali.
Dulu, saat Kevin mengatakan kalau Mama Albern dari Indonesia, membuatku merasa sedikit mendapat angin segar. Harapan mulai tumbuh supaya bisa menjadi bagian keluarganya, tetapi aku salah. Albern tak pernah menginginkan hubungan kami sampai sejauh itu.
Dia mencukupi kebutuhanku, tetapi hanya sebagai ungkapan rasa bersalah, makanya tak sekalipun dia memperkenalkanku pada keluarganya, bahkan kami tidak pernah terlihat berdua si depan publik. Aku layaknya simpanan.
Apartemen yang kami tinggali pun baru dia beli setelah kejadian malam itu, sedangkan dia kadang tinggal di rumahnya yang asli. Rumah yang dia beli untuk Audrey. Bila dia datang ke apartemenku, tentu semata-mata karena napsunya saja.
Aku tak pernah ambil pusing. Asalkan bisa melihat sosok itu dan mendekapnya, semua rela kulakukan. Apapun walau selalu jadi pecundang.
Aku menghela napas, lalu berusaha terpejam karena rasa pusing yang menyerang lagi.
Ingatan ini melayang saat pertama kali melihat Albern. Sebagai pengusaha muda yang karirnya cemerlang dia diundang pihak kampus untuk mengisi seminar agar memberi motivasi dan pandangannya dalam berbisnis. Suara juga aura kepemimpinannya mampu menyihir atensi seluruh peserta yang hadir waktu itu. Apalagi perawakannya yang gagah hingga wajah menawan sungguh membuat mata para kaum hawa bisa terhipnotis akan obsesi memiliki, termasuk diriku.
Segala cara kulakukan agar mengetahui kehidupannya, hingga satu fakta tentang dirinya sangat menyengangkan. Albern telah bertunangan dengan Audrey Michela, wanita yang sudah satu tahun dipacarinya.
Rasa bertunas itu, terinjak kenyataan. Aku harus mundur bukan?
Namun, semuanya berjalan melenceng dari jalur pikiranku. Niat yang sedari awal ingin menjauh menjadi tak terkendali saat beberapa kali mendapati Audrey berduaan bersama laki-laki lain.
Semula, aku tak acuh saja karena ... hei! ini negara maju, pertemanan itu hal lumrah untuk dilakukan bahkan hubungan sesama jenis saja dilegalkan, tetapi itu saat pertama kali melihatnya. Saat melihat hal itu berulang kali, membuat sisi kiriku berteriak tak terima.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta (tak) Sempurna
Roman d'amourArumi Milanie, gadis asal Indonesia yang beruntung mendapatkan beasiswa untuk kuliah di Luar Negeri. Di samping kepintarannya yang mengagumkan, ternyata dia juga mempunyai sifat bodoh yang sangat besar, apalagi urusan hati. Terpesona dengan ketampa...