Dear Diary

26 18 0
                                    

"Terkadang, cinta itu komedi.

Seseorang yang belum pernah bertatap muka, bisa saling merindukan."



Februari, 2013

     Hai Blue, my dear diary ....

     Ah, kau mengenalku sudah cukup lama. Kau menemaniku juga cukup lama. Kau tahu segala hal tentangku. Pun aku mencurahkan apa yang ada dalam benakku padamu. Kau bukan hanya sahabatku, juga duniaku.

     Aku, Zaara, kadang bertanya-tanya kenapa aku terlahir di keluarga ini. Ah, kenapa aku tak punya kebebasan seperti teman-temanku? Padahal, kalau aku ingin mencobanya aku bisa. Hanya saja, aku tetap tak mau. Mungkin aku terlalu nyaman sebagai anak perempuan di keluarga ini. Tidak mengapa, bukan?

     Aku juga masih diberi kesadaran, jika aku bermain-main di luar sana, nama baik keluargaku akan berubah menjadi negatif. Atau, aku hanya terlalu banyak berpikir? Sepertinya, memang demikian. Kepala terlalu banyak isinya.

     Ya, teman-teman lelakiku juga banyak. Aku lebih suka berteman dengan lelaki dibanding perempuan. Entahlah. Bagiku, beberapa perempuan terlalu overthingking, tidak mudah diajak bekerja sama. Kadang kala, membuatku menguras energi. Tapi, aku berusaha untuk menjalin pertemanan dengan banyak orang. Tak terkecuali. Aku juga perempuan, aku tidak mendiskriminasi kaumku. Memang, terkadang terlalu banyak drama dan persaingan di antara sesama kami. Padahal, sejatinya kami adalah saudari, bukan?

     Oh iya, rumahku biasanya jadi rujukan teman-teman. Entah yang laki-laki atau perempuan, lebih sering teman lelaki yang berkunjung. Karena bahkan, teman sekelasku lebih banyak kaum adamnya. Sejak awal, Mama memang tak pernah mengizinkanku untuk menjalin hubungan dengan lawan jenis. Makanya, aku selalu mengenalkan teman-temanku pada Mama. Juga tujuan mereka silaturahmi ke rumah. Mama paham. Mama hanya membolehkanku pergi jika bersama Raka.

     Ayahku orang yang tegas. Lebih banyak diam, daripada Mama yang mendominasi rumah dengan kecerewetannya. Ayah tak pernah mengizinkanku pulang malam. Meski begitu, beberapa kali aku harus pulang nyaris pagi karena ada kegiatan kampus. Tapi orang tuaku tak marah. Mungkin karena sejak awal aku berkata jujur tentang apa pun pada mereka.

     Orang tuaku punya banyak teman, kenalan. Makanya aku tak ingin melakukan hal macam-macam, karena pasti yang dipandang buruk adalah orang tuaku. Aku terlalu penurut, ya? Ah, tentu saja. Teman-temanku menganggap aku anak yang tidak pernah punya masalah, tidak pernah tahu derita orang, atau anak rumahan kesayangan orang tua.

     Tapi tidak seperti itu sebenarnya. Aku juga merasa terkekang, bahkan karena diriku sendiri. Aku tak berani memberontak, tak punya kelebihan kekuatan untuk keluar dari zonaku. Hari-hari yang membosankan karena aku belum tahu rasanya bekerja keras seperti teman-teman. Aku terkungkung dalam dunia nyamanku sendiri. Begitulah ....

     Namun, aku berterima kasih. Aku sadar diri. Orang tuaku bersikap seperti itu pada anak-anaknya karena mereka menyayangiku. Memberikan anak-anaknya pemahaman agama, supaya kami tidak salah jalan. Aku juga berterima kasih diberikan orang tua seperti mereka. Ya, aku tak ambil pusing pemikiran teman-teman.

     Aku suka menonton film, terutama drama. Biasanya, di drama, ada saja kisah cinta yang terjadi. Perempuan biasa saja dengan laki-laki luar biasa. Ah, aku suka membayangkan jika itu aku. Tak apa bukan membayangkan? Karena aku pun tak boleh menjalin kasih. Jadi dibayangkan saja dulu.

     Katanya, cinta pertama anak perempuan itu adalah ayahnya. Mungkin, iya. Aku ingin punya pasangan yang seperti ayah. Sosok yang pengertian, penuh cinta, juga taat beribadah. Aku juga ingin punya lelaki potensial secara fisik seperti di drama. Tampan, berkarisma, rapi, wangi, suka pakai kemeja, dan punya pekerjaan. Lucu. Keinginanku banyak sekali.

     Aku pernah menulis daftar pria yang kuinginkan di sebuah kertas. Selain itu, kutambahi keinginan jika sosok itu bisa membantuku mewujudkan banyak keinginanku. Aku menuliskannya karena ingin itu jadi ingatan yang terus tersemat, menjadi doaku. Seperti Doraemon dan kantong ajaibnya.

     Beberapa bulan lalu, aku kenal dengan satu laki-laki yang menarik. Awalnya tidak menarik perhatianku, sih. Tapi lama-lama karena sering disapa olehnya, aku jadi tertarik. Aku selalu suka saat ia memanggilku dengan khas, Ade. Aku selalu menunggu dia online dan segera menyapaku. Aku menunggu pesan-pesan yang dikirim ke yahoo messenger-ku, juga nomorku. Iya, kami sudah sedekat itu. Aku suka.

     Aku memanggilnya Mas Adi. Semakin ke sini, aku semakin dibuat hilang kendali. Hatiku jadi mudah berdebar bahkan jika itu hanya menunggunya online. Aku lebih banyak tersenyum sendiri saat akan membalas setiap pesannya. Benakku hanya terisi olehnya. Juga aku akan merasa sakit kalau ia menceritakan sesuatu yang menyedihkan. Aku seperti disihir.

     Kuceritakan padamu, aku hanya tahu tentangnya dari foto yang diunggah. Ia seperti lelaki di dalam drama. Ia, tampan. Ia suka bercerita. Ia menceritakan apa pun padaku. Tentang kesukaannya, tempat tinggalnya, masalahnya, impiannya, dan banyak hal. Aku, akan suka mendengarnya. Ah tidak, melihat pesannya lebih tepat.

    Mas Adi seperti batu Jade berkualitas tinggi. Juga seperti mawar merah. Ia bunga yang merekah dengan garang. Warnanya berkilau menantang. Namun, berduri. Aku melihat Mas Adi seolah punya duri untuk menutupi karisma kelopaknya. Mawar yang elegan aromanya. Ah, deskripsi yang aneh tentang Mas Adi. Tapi ya, aku melihat Mas Adi seperti itu.

     Kami belum pernah bertemu. Tidak sekalipun. Tapi aku dibuat nyaman dengan kepribadiannya. Atau mungkin itu cara Mas Adi, aku tak tahu. Aku hanya semakin menyukainya. Semacam terseret ke dalamnya.

    Aduh, aku sungguh terjatuh! Dalamnya pusara itu, aku juga tidak tahu. Yang kutahu, memang aku telah digulung-gulung semakin dalam.

     Terkadang, cinta itu komedi, menurutku. Seseorang yang belum pernah bertatap muka, bisa saling merindukan. Menarik, bukan?

     H-hm ....

     Oh, Mama hanya melarangku menjalin hubungan dengan pria. Tapi Mama tak melarangku jatuh cinta, bukan?

     Tidak ada yang salah dengan diriku, bukan?

     Aku seumpama penggemar berat yang menginginkan idolanya. Bedanya, aku tak semenyeramkan mereka yang bahkan melakukan hal-hal menakutkan. Seperti terus meneror. Aku hanya ... duh!

     Yang jelas, aku ingin Mas Adi menjadi bagian dari hidupku. Kebisaanku cuma mendoakan Mas Adi. Diam-diam merayu Tuhanku supaya makhluk-Nya yang bernama Mas Adi itu, Dia berikan padaku. Huh!

     Aku terlalu terobsesi?

     Ah, tak tahulah! Di benakku, di hatiku, di semua yang kupandang, hanya ada Mas Adi. Aku keracunan Mas Adi.

     Aku ... jatuh cinta padanya.

☕ ☕ ☕ ☕ ☕

SEDUHAN TERAKHIR (Finished)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang