Rasa yang Dominan

27 14 0
                                    

"Perasaan adalah sesuatu yang tidak bisa ditakar."



     Asyik mematut diri di depan layar gawai, Zaara terus saja tak henti mengetik, dan membaca. Seperti membalas pesan seseorang. Tak jarang pula, Zaara terlihat senyum-senyum malu, duduk sendirian di bawah pohon cemara udang. Sesekali, tampak berpikir. Tangannya kemudian kembali mengetikkan sesuatu. Bahkan, Zaara mungkin tak sadar jika seseorang memperhatikannya.

     Sepatu kets berwarna hitam pudar sudah berada di samping Zaara. Pemiliknya masih berdiri, sedikit membungkukkan badan melihat Zaara, dan ingin tahu siapa yang menghubungi gadis berjilbab ini. Di kedua tangannya menggenggam es cokelat dalam wadah plastik yang salah satunya hendak diberikan pada gadis bermata almond. Tangan kiri si pemilik sepatu kets yang tak disadari kehadirannya oleh Zaara ini, mengarahkan es cokelat tepat mengenai pipi mulus Zaara. Seperti tersengat, Zaara terkejut mendapati aliran listrik statis dalam dingin yang menjalar dari pipinya.

     "Astaga!" Zaara langsung menatap lelaki seusia dirinya. Ia menerima juga es cokelat pemberian teman kecilnya.

     "Kamu masih chattingan sama si Adi?" tanyanya tak acuh. Mengambil posisi duduk di samping Zaara.

    "Kamu ngagetin tahu, enggak? Kalau jalan pakai suara, dong."

    "Hei, aku di sini udah dari tadi."

    "Oh ya?" Zaara tersenyum malu. Terkekeh-kekeh.

    "Kamu belum jawab," todong lelaki dengan rambut agak gondrong di sebelah Zaara.

    Zaara menyipitkan mata, memandang anak lelaki fakultas seni budaya ini yang tampak tampan jika memotong rambut gondrongnya. "Kenapa?" tanya Zaara sedikit kurang suka.

    "Kamu harus sama kakakku," paksanya.

    "Aku? Jadi kakak iparmu? Apa enggak takut?"

    "Takut apa?"

    "Takut aku akan selalu nindas kamu. Ha ha."

    "Aku aduin kakakku."

    Zaara membuang muka. Mencibir. Sejak kecil, Zaara mengenal benar lelaki bernama Raka. Anak nakal yang berteman dengannya hingga kini. Selalu menjodohkan Zaara dengan kakak laki-laki Raka. Katanya, mereka berdua cocok. Alasan tak logis bagi Zaara. Kakak Raka, memiliki karakter yang berbanding dengan Raka. Adalah kuno, saklek, pendiam, tak acuh serta religius. Sangat berbeda dengan Raka, sahabat lelaki yang Zaara miliki sejak kecil.

     "Kamu, bisa enggak kalau enggak jodohin orang? Kenapa banyak banget yang ngejodohin aku?" keluh Zaara.

     "Pokoknya, kamu itu kakak iparku. Udah, ayo balik." Raka tak menggubris curahan hati Zaara. Memilih beranjak. Zaara terpaksa mengekor di belakangnya. Mulutnya masih mengerucut karena kesal dengan Raka. Bahkan, sahabatnya sendiri selalu menentang kedekatannya dengan Adi.

     Sejak awal, Zaara tidak mengenalkan sosok Raka pada siapa pun. Bagi Zaara, Raka seperti bayangan. Hadirnya sebagai pelengkap. Raka Dewangga, anak lelaki yang sebenarnya baik yang masih setia menjadi teman Zaara. Meski banyak hal tidak baik yang Zaara ketahui.

     Zaara tersenyum nakal saat pikiran buruknya tentang Raka datang menghampiri. Kembali beralih pada gawainya, pesan messenger dari Adi kembali menggugah seleranya. Sembari menyedot es cokelatnya dalam-dalam, Zaara asyik saling berbalas pesan. Selalu ada saja yang akan mereka bahas.

     "Aduh," pekik Zaara saat kepalanya menabrak punggung sosok yang berjalan mendahuluinya. Raka yang menghentikan langkahnya, berbalik menghadap Zaara, memakaikan helm di kepala Zaara. Zaara terkejut.

SEDUHAN TERAKHIR (Finished)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang