Masa Putih Abu-abu

20 6 0
                                    

Magelang, tahun 2002
“Ah, sial!” Erin melihat jam di tanggannya menunjukkan pukul tujuh kurang sepuluh menit.
Memacu langkahnya lebih cepat menuju gapura desa, menunggu angkot dengan gelisah, alamat terlambat lagi dan dapat hukuman bersihkan WC di sekolahnya lagi.
“Erin!” teriak seseorang, tiba-tiba ada di depannya.
“Sial banget, sih, aku hari ini? sudah kesiangan bangun, eh ketemu si Kecebong sok ganteng, playboy lagi,” gerutu Erin pelan.
“Bareng, yuk?” ajak cowok itu.
Erin celingak-celinguk, angkotnya belum kelihatan, “bagaimana ini?” batin hatinya.
“Erin, mau nggak?” ajaknya lagi dengan senyum sok kecakepan.
“Ogah, duluan saja sana!” ketus Erin.
“Yakin...?” cowok itu tersenyum meledek.
Erin menatap kesal, kembali melihat jam tangannya, tujuh menit lagi, “eh, tunggu!” cegahnya ketika cowok itu menstarter motornya, “emmm, numpang deh, Jo. Masih berlaku tawarannya?”
Erin menatap memelas, kalau bukan karena sudah mepet waktunya sebenarnya ogah bareng Jodi.
“Oke, naiklah.” Jodi menyerahkan helm, lalu Erin menerimanya.
Jodi melihat jam tangan, tujuh kurang enam menit, ”Siap, ya, Rin, dan pegangan yang kenceng.”
Belum sempat Erin menjawab Jodi sudah melajukan motornya, awalnya pelan lalu tiba-tiba melarikan motornya dengan kecepatan tinggi membuat Erin menutup mata karena takut.
“Aduh... kira-kira dong, Jo, jangan kenceng banget aku takut,” teriak Erin.
“Tenang saja, yang penting sampai dan kamu tidak terlambat,” balas teriak Jodi, dengan mata tetap fokus dengan jalan, “pegangan ya, ta“Hahaha...” tawa Jodi keras penuh kemenangan.
Tak lama kemudian Jodi mengurangi laju motornya perlahan hingga berhenti sempurna, Erin masih memejamkan mata, masih ketakutan.
“Kita sudah sampai, Rin.” Jodi menoleh kebelakang, lalu tersenyum melihat Erin masih terpejam dan memeluknya, “mau masuk nggak, sih, atau mau bolos saja, ayo kita kemana?”
“Eh.” Erin membuka mata, menatap sekeliling, ada teman yang kebetulan lewat lalu senyum senyum padanya, “kenapa, sih, dia?” sewot Erin.
Masih banyak cowok yang kumpul tongkrong di depan sekolahnya. Pemandangan yang biasa baginya karena Erin sekolah di sekolah kejuruan khusus perempuan, memang depan sekolah jadi tempat tongkrongan siswa dari sekolah lain saat jam seperti ini juga saat jam istirahat juga pulang sekolah.
“Erin?” sapa seseorang menghampirinya.
“Eh, Nia.” Erin teresenyum padanya.
“Katanya kamu tidak ada hubungan apa-apa sama Jodi, lalu apa semua ini?” Nia menatap tajam.
“Nia, aku...” Erin tersentak baru sadar dia masih memeluk Jodi, pantas saja Nia cemburu, “Eh, Nia, biar aku jelaskan.”
Erin segera turun lari mengejar Nia, lalu kembali lagi sambil melepas helm dan melemparkannya pada Jodi.
“Makasih, ya, sudah mengantarku, urusan kita belum selesai, kalau sampai Nia marah sama aku, aku buat perhitungan denganmu!” Erin menunjuk wajah Jodi lalu segera berlari masuk sekolah.
“Memang cewek aneh, apa salahku?” Jodi menatap tak mengerti, lalu menstarter motornya meninggalkan sekolah Erin menuju sekolahnya.
Erin berusaha mengimbangi langkah Nia, “jangan marah dong... aku tadi cuma bareng karena hampir terlambat.”
“Lalu kenapa peluk-peluk begitu?” Nia masih sewot.
“Yaelah... nggak sengaja kali... tahu nggak, tadi Jodi bawa motornya kenceng banget sampai hampir jantungan, aku ketakutan nggak sengaja pegangan dia takut jatuh.” Erin senyum-senyum merayu sahabat karibnya itu.
“Pegangan? Eh, yang aku lihat itu kamu peluk dia.” Nia masih sewot.
“Itu nggak sengaja tadi Jodi ngerem mendadak jadi ya gitu...” Erin menatap memelas.
“Beneran?” Nia menatap tajam.
“Bener...” Erin mengacungkan jari telunjuk dan tengahnya.
“Oke kalau begitu.” Nia tersenyum menatapnya.
Erin membalas senyumnya, keduanya melangkah bersama menuju kelas. “Maaf aku terpaksa bohong, Nia,” batin hati Erin.
Sampai dalam kelas ternyata semua temannya sudah datang dan sudah bersiap-siap dengan seragam olah raga. Erin langsung melepas seragam putih abu-abunya, seragam olah raganya sudah dia pakai dari rumah, memang kabiasaannya jika hari sabtu memakai seragam dobel, karena jadwal olah raga di jam pertama, jadi bisa langsung melepas seragam tanpa harus ganti ke toilet.
“Eh teman-teman, ayo kita segera berangkat, Pak Singgih sudah menunggu di lapangan RIN!” teriak Rina ketua kelas.
“Jadi olah raganya di lapangan RINDAM ya, yes!” balas Tia teman yang lain terlihat sangat senang.
“Hore... ayo, ayo cepat,” teriak lagi teman yang lain, Sofi menarik tangan Tia.
Erin menatap kedua sejoli itu sambil menggeleng, “dasar mantara, kayak kena sindrom saja dua orang itu.”
Erin melangkah pelan sambil mengikat rambut panjangnya di belakang, merapikan poninya yang menutupi alis dengan sedikit sisa rambut panjang di sisi kiri dan kanan ala-ala cewek anime.
“Sindrom tentara kayaknya sudah merajalela, tuh.” Tunjuk Nia pada teman-temannya yang lagi bergerombol kasak-kusuk. Ada juga yang merapikan baju dan rambutnya supaya menarik perhatian para tentara yang sedang lari di pinggir lapangan.
“Aduh... kenapa, sih, teman-teman kita itu, katrok banget.” Erin terbelalak ketika melihat teman temannya sok-sok ikut lari di samping para tentara itu.
“Hihihi, kamu nggak ikutan, Rin?” Nia tertawa ngikik.
“Aku?” Erin menunjuk hidungnya sendiri, “no way!”
“Hahaha.” Nia terawa ngakak menertawakan ekspresi wajah Erin yang sangat anti tentara itu.
Erin, gadis energik bermata bulat dengan rambut panjang. Poni ala anime selalu menghias wajahnya yang oval, membuat wajahnya terkesan imut dan cantik.
Nia juga Erin memasuki lapangan dan menuju lapangan voly lebih dulu sampai dari pada teman-temannya yang masih asik ngecengin para tentara itu seolah tak peduli Pak Guru yang sudah lama menunggu dengan wajah manahan marah. Pak Singgih meniup peluit panjang dan melambaikan tangannya mengisyaratkan para siswinya untuk segera kumpul.
“Sudah kumpul semua? Sebelum olah raga voly dimulai mari kita pemanasan dulu, karena kalian terlambat sebagai hukumannya lari keliling lapangan RIN dua kali, cepat!” tegas Pak Singgih.
“Ya...” ada yang tidak terima, tapi banyak yang malah senang karena mendapat kesempatan ngecengin lagi para tentara itu.
Pak Singgih memulai berlari lebih dulu diikuti satu persatu para siswi berlari pelan. Erin berlari pelan paling belakang.
“Ehem.” ada yang berdehem di sebelahnya, Erin menoleh, matanya terbelalak terkejut.
“Kok lambat, sih, ayo yang semangat seperti kita-kita.” orang itu tersenyum, memperlihatkan giginya yang putih dan rapi.
“Cie cie... kami duluan ya...” ada lagi yang bersuara, kali ini sambil lari melewati mereka.
“Suit, suit... cantik, eh, kenalin kita nanti ya, Bim?” kembali ada yang menggoda.
Erin menatap para tentara itu yang berlari melewatinya, sejak kapan mereka ada di belakangnya bukankah tadi ada di depannya? Baru sadar mungkin dia terlalu lambat berlari. Tak bisa disembunyikan lagi wajahnya yang semu merah karena malu.
“Kalau lagi malu-malu gini adek kelihatan tambah cantik, deh.” tentara yang menegurnya pertama kali itu masih mengimbangi larinya, Erin hanya diam dan melotot padanya.
“Tuh, kan, apalagi kalau marah gini juga makin cantik.” tentara itu tersenyum menatapnya.
“Huh!” Erin mendengus menambah kecepatan larinya.
“Aku Bima, siapa namamu?” Bima mengejar Erin.
Erin tetap diam, Bima tersenyum, “ya, sudah kalau nggak mau kasih tahu, aku bisa cari tahu sendiri, dekat ini sekolahnya, aku duluan ya, takut ketahuan Danru.”
Bima berlari cepat meninggalkan Erin menyusul teman-temannya. Erin menatap cowok hitam berseragam kaos hijau muda tanpa lengan dan celana hijau tua pendek itu sampai berbelok di tikungan.
“Ada, ya. Yang serba hitam gitu, hanya giginya saja yang putih dan rapi,” gumam Erin duduk di pinggir lapangan sambil memanjangkan kaki.
“Jangan gitu kamu, nanti jatuh cinta beneran sama dia baru tahu rasa,“ ledek Nia di sampingnya.
“Ih, amit-amit.” Erin menggeleng.
“Kok, Erin, sih, yang dapat padahal kita yang dari tadi ngincar mereka,” sungut Tia.
“Iya,” Sofi menimpali.
“Ya iyalah, Erin kan lebih cantik dari pada kalian,” Rina ikut menimpali, dengan nada jengkel.
“Kalian mau? Ambil saja, aku nggak minat.” Erin berdiri lalu meninggalkan mereka menuju lapangan voly.
Olah raga bola voly segera dimulai, Erin satu team dengan Nia, dengan empat teman yang lain. Teman-teman yang menurut Erin tidak resek dan usil. Melawan team Tia, Sofi, Rina, dan ketiga teman yang lain.
“Rasakan ini, Erin!” teriak Rina saat melakukan service.
Bola melayang ke arah Erin, dan berhasil dikembalikan kearah lawan, dan mencetak angka karena saat Tia ingin mengembalikan bolanya terlalu keras memukul dan bola keluar. Erin tersenyum puas.
Saling kejar mencetak angka hingga permainan usai. Tanpa mereka sadarai para tentara yang sedang beristirahat di bawah pohon seusai mereka berlari menyaksikan permainan itu.
“Erin,” gumam Bima sambil tersenyum ikut menyaksikan permainan itu.
Permainan usai dan para siswi kembali ke sekolah, seperti biasa, Erin juga Nia lebih senang jalan paling belakang. Erin menoleh kebelakang seperti ada yang mengikuti. Benar saja, Bima tersenyum padanya.
“Yaelah...” geramnya.
“Kenapa, Rin?” Nia tak mengerti kenapa Erin tiba-tiba seperti itu.
“Itu, ada yang ngikutin kita.“ Erin menunjuk belakang.
Nia menoleh kebelakang, lalu kembali menatap Erin dengan senyum lebar, “cie... penggemar baru...”
“Penggemar apaan, ogah, ah, yang kayak begituan.” Erin menggeleng berkali-kali.
“Yang mana satu, Rin. Nanti yang satu buat aku ya?” ledek Nia lagi.
“Hish!” Erin memukul pelan punggung Nia, “katamu naksir berat sama si Jodi playboy itu, mau dikemanain itu Kecebong?” sengit Erin.
“Itung-itung buat cadangan, yang penting nggak ketahuan, ah, Jodi nggak jelas, aku ikhlas saja kalau gantinya om tentara itu.” Nia tersenyum, kembali noleh kebelakang, “eh cakep juga lah itu si om tentara, mana atletis lagi, uhhh jadi...”
Buk!
Kembali Erin memukul punggung Nia, kali ini agak lebih keras gemas dengan tingkahnya, “eh, sejak kapan jadi mantara, dan itu ‘uh’ jadi apa? jangan jorok, ih.”
“Ye, siapa yang jorok, maksud aku om itu kan gagah, sexi, ya, jadi kalau bersamanya itu pasti serasa gimana gitu?” Nia cengengesan.
“Halah jorok, nih, pasti, awas saja sampai jadian sama salah satu dari mereka!” ancam Erin.
“Bodo, ah, kalau om-nya mau kenapa harus ditolak, dari pada nunggu Jodi nggak jelas.” Nia kembali menoleh kebelakang.
“Apaan, sih, ini anak tolah-toleh belakang melulu? sebel deh.” Erin mulai sewot karena Nia mulai tebar pesona sama dua tentara yang ada di belakang mereka.
Erin menghela napas panjang, namun juga tak melarang saat Nia sengaja langkahnya melambat, hingga Bima juga temannya itu berada di samping mereka. Mungkin lebih baik sahabatnya itu dengan salah satu diantara mereka dari pada terus menunggu Jodi.
***
Selamat tahun baru, semoga di tahun yang baru ini tercapai semua cita-cita.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 01, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

UnbreakableTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang