EX! -chapter 7-

640 27 1
                                    

Yang sekarang bisa Raline lakukan hanya menatap tangannya yang berada di bawah meja, mengabaikan percakapan orang di sekelilingnya. Otaknya tiba-tiba saja kosong sekarang, yang Raline inginkan hanya pulang ke rumah dan tidur di atas kasurnya yang empuk.

"Raline?" panggilan tersebut langsung menarik kesadarannya.

Raline mendongak, menatap ke arah Lucia kemudian ke arah Raymond. Matanya bergulir lagi ke samping tempat Raymond duduk, kini Olin dan juga satu anak laki-laki yang Raline ketahui bernama Owen juga menatapnya. Semua orang di dalam ruangan menatapnya.

"i-iya?" sahutnya sedikit tergagap.

"enggak makan? Atau makanannya kurang enak?" tanya Raymond.

Cewek itu tersenyum kecil lalu menggeleng, "enak, kok." Jawabnya lalu mengambil sendok dan garpu, bersiap untuk memakan makanannya.

Selagi Raline lagi berusaha untuk menikmati makanannya dapat ia rasakan orang yang duduk di seberangnya—Olin menatapnya sedari tadi.

"ok, karena kita lagi kumpul sekarang. Gimana kalau kita langsung bahas aja?" ujar Lucy sambil memandang Raymond dengan senyum yang begitu lebar.

Tangan keduanya lalu saling menggenggam. Raline meneguk salivanya kasar, perasaannya mulai tidak enak sekarang.

Raymond balas tersenyum. "anak-anak, mungkin ini terkesan tiba-tiba untuk kalian, tapi kami memutuskan untuk menikah," ucap pria tersebut sambil menatap ketiganya dengan senyum yang begitu lebar.

Untuk sesaat, Raline merasa waktu di dunia terhenti. Udara di sekitarnya terasa menipis. Menikah? Ini terlalu tiba-tiba bagi Raline, tangannya digenggam lembut, ia menoleh ke samping, Lucia menatapnya dengan senyum yang begitu hangat.

Raline lalu menatap ke depan, Olin ikut menatap ke arahnya juga dengan senyum miring, seolah puas melihat ekspresi wajah Raline yang tegang.

Kepalanya pusing sekali sekarang, tanpa mengatakan sepatah kata pun Raline beranjak berdiri. Meninggalkan ruangan dan mengabaikan panggilan sang mama. Di dalam begitu menyesakkan, ia perlu udara segar.

***

"harus kamu lakuin itu tadi?" tanya Lucy sesampainya mereka di rumah.

Wanita itu menaruh kunci mobil di atas meja yang berada di dekat pintu masuk rumah, berjalan mengikuti Raline di belakangnya.

"Raline!" Lucy menahan pintu kamar yang ingin di tutup oleh cewek tersebut.

Raline mendengus sebal, membiarkan sang mama masuk sementara ia langsung duduk di atas meja riasnya dan membersihkan make upnya.

"minggu depan? Mama bakal nikah minggu depan?" tanya Raline sambil mengusap kapas yang sudah di tuangkan pembersih make up ke wajahnya.

"kami sudah kenal sejak lama, dan—"

"mama punya banyak waktu buat kasih tau ke Raline, waktu kita mau berangkat ke restoran, saat di jalan. Mama bisa kasih tau supaya Raline enggak kaget kayak tadi."

"Raline enggak bakal larang mama nikah, tapi Raline cuman mau di kasih tau." cewek tersebut menatap sang mama yang berdiri di belakangnya lewat pantulan kaca.

"aku ini anak mama," gumamnya, ia membuang kapas-kapas bekasnya tadi ke bak sampah dan berjalan menuju ke kamar mandi untuk membersihkan diri.

Lucy mendesah kecil, ia berjalan ke depan pintu kamar mandi sang anak, "mama minta maaf, mama pikir kamu bakal senang kalau di kasih tau kayak tadi, mama—"

"aku senang." Raline membuka pintu kamar mandi, "karena akhirnya mama punya pendamping lagi, tapi aku kecewa karena mama sama sekali enggak ngasih tau lebih dulu, tiba-tiba aja bilang mau nikah."

"padahal kita tinggal di satu kota, ma. Sesusah itu ya buat pulang ke rumah dan kasih tau Raline? Atau mama lupa jalan pulang ke rumah karena sibuk ngajar di studio?"

Lucy menegakkan tubuhnya, menatap Raline dengan kening berkerut. "kamu enggak suka mama kerja di studio?" wanita itu melipat kedua tangannya.

"asal kamu tau, mama kerja ya buat kamu. Buat biaya sekolah kamu, buat ngasih kamu uang jajan. Mama kerja—"

"mama emang enggak betah tinggal di rumah," sela Raline, "mama terlalu cinta sama balet sampai-sampai lupa sama keluarga sendiri."

"bukan begitu, Raline." Tatapan wanita itu melunak.

"tapi kenyataannya begitu. Mama kecewa karena baik aku atau bang Ruby, kami sama sekali enggak tertarik sama balet. Tapi sekarang mama enggak perlu khawatir."

Raline tersenyum tipis, "ada Olin yang bisa gantiin posisi aku." Ucapnya lalu kembali menutup pintu, tidak terlalu kencang namun membuat Lucia paham jika anaknya perlu waktu untuk sendiri.

***

"papa pikir kalian dekat."

Olin berbalik ke belakang, tersenyum kecil ketika melihat eksistensi Raymond di dekatnya. Cewek itu kemudian melanjutkan diri untuk memotong buah apel.

"kita memang dekat." Jawab Olin, tangannya sibuk memotong buah apel

"tadi dia kelihatan kaget sekali. Papa pikir tante Lucia sudah kasih tau Raline." Pria paruh baya itu berdiri di sebelah anaknya. Menyandarkan pinggulnya di meja makan.

"oh ya? Kalian dulu waktu SD satu sekolah, kan? Kata tante Lucia dia pindah beberapa bulan setelah papanya meninggal."

Tangan tersebut langsung berhenti memotong apel yang ada di hadapannya. Perlahan ingatan akan masa lalu menghampiri memori otak Olin. Terputar dengan begitu sempurna di benaknya.

Cewek itu tersenyum miring, lalu kembali melanjutkan aktivitasnya. "iya, dia anaknya dulu susah bergaul. Makanya pindah."

Raymond menatap anak sulungnya tersebut, pria itu tersenyum kecil, menarik beberapa helai anak rambut Olin yang menutupi wajahnya ke belakang telinga cewek tersebut.

"yang akur sama Raline nanti, ya?" pesan pria tersebut.

Olin memasukkan satu potong buah apel ke mulutnya kemudian mengangguk. "pasti dong, Olin sama Raline waktu kecil kan sahabat." Jawabnya riang.


TBC. 



EX! vers.2 [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang