Gigi dan Keinginan

39 16 8
                                    

Karya selanjutnya dari kak Bulan_Lani

Jangan lupa divote dan komen ya.


Suasana sore sangat ramai oleh anak-anak yang sedang bermain di taman. Beberapa anak berlarian sambil tertawa dan berteriak kegirangan. Beberapa anak lain pun ada yang main perosotan secara bergantian, sesuai dengan antreannya. Ada pula seorang ibu yang sedang menenangkan anaknya ketika menangis—entah sebabnya apa. Namun, di balik semua itu, ada sebagian anak yang hanya diam di bangku taman melihat anak-anak lain berlalu lalang di taman bermain. Seperti halnya dirimu, hanya terdiam menatap mereka tanpa ada keinginan untuk bergabung. Dilihat dari sikapmu, mungkin kamu memang tidak memiliki teman untuk diajak bermain. Bahkan ketika netramu menatap anak-anak di taman itu, kamu tidak memberikan ekspresi apa pun.

"Hei, awas!"

Terlambat. Ketika menengok, kamu dikejutkan oleh pantulan bola basket yang terlempar keras ke arah wajahmu, sehingga membuat mulutmu mengeluarkan darah. Lantas, para orang tua di sana menghampiri dan mengkhawatirkan keadaanmu. Namun, kamu menolak pertolongan mereka dan memilih berlari meninggalkan taman itu sambil menutupi mulut yang berlumuran darah.

Kamu memasuki suatu ruangan, yaitu toilet umum, kemudian menatap ke arah cermin dan membukakan mulut. Jajaran gigimu yang awalnya berwarna putih, seketika berubah menjadi merah segar berbau anyir.

Terlihat gigi depanmu goyang akibat serangan bola basket itu. Sejenak kamu memainkan gigi tersebut dengan lidah sambil sesekali merintih kesakitan, walaupun kelihatannya cukup menyakitkan, sepertinya kamu menikmati setiap goyangannya.

Setelah beberapa saat terpuaskan, akhirnya kamu memutuskan untuk mencabut gigi goyang itu dengan tangan. Perlahan tetapi pasti, ketika jemarimu sudah menyentuh gigi goyang tersebut, segeralah menariknya dengan pelan. Walau ada rintihan, bahkan teriakan, tetap kamu melakukannya.

Kamu terlihat masih ragu untuk menarik gigi tersebut dengan kencang. Alhasil ditariknya dengan pelan, padahal itu pasti akan terasa lebih menyiksa. Berhenti. Pergerakanmu yang menghentikan aktivitas menarik gigi, dan beralih menghidupkan keran di wastafel, lalu berkumur-kumur, itu sudah cukup membuktikan bahwa menarik gigi dengan pelan membuatmu semakin tersiksa.

Kamu mulai mengatur napas sambil mengusap air mata. Sedikit lagi gigimu akan terlepas. Dengan tatapan tajam ke arah cermin, kamu pun memantapkan diri untuk menarik gigimu kembali. Kini, tarikannya sangat kuat, sehingga saat gigimu terjatuh ke wastafel, darah kembali mengucur di sana—disusul dengan rintihan penderitaan darimu. Mungkin kali ini sakitnya sudah berlipat ganda.

Terdengar beberapa kalimat kasar terucap berasal dari mulutmu. Beberapa saat mengumpat karena merasakan penderitaan itu, kamu mengambil gigimu yang sempat terjatuh dan membersihkannya dengan air keran. Kamu kembali berkumur, memastikan bahwa tidak ada lagi noda merah di dalam mulut.

Tidak ingin berlama-lama di dalam toilet, selesai pelepasan gigi goyang itu, kamu pun keluar dari toilet. Sejenak pandanganmu menatap ke satu gigi yang saat ini berada di telapak tangan.

"Aku ingin kehidupanku berubah. Aku tidak ingin menderita lagi. Aku ingin disayangi! Kehidupan ini sungguh tidak adil."

Selepas mengatakan sederet keinginan, kamu pun melemparkannya ke tanah yang sudah dipenuhi dengan rerumputan hijau. Melangkah kembali menuju taman seraya menenteng karung lusuh warna kecokelatan yang isinya entah apa. Melihat ada banyak botol plastik di tong sampah, kamu pun segera mengambil semua botol di sana.

"Hei, Nak. Apakah kamu baik-baik saja?"

Sontak kamu menengok ke arah asal suara itu. Seorang wanita sekitar 40 tahunan berbicara dengan ramah. Dia menatap bajumu yang memiliki noda merah, mungkin itu berasal dari darahmu yang tidak sengaja menetes. Wanita itu mengusap wajahmu pelan, seperti membersihkan sesuatu di sana. Kemudian, seorang anak lelaki terlihat bersembunyi di balik tubuh wanita itu, ternyata dia adalah anak wanita tersebut yang melemparkan bola basket ke arahmu. Mereka menghampirimu untuk meminta maaf.

WITS Short Story EvenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang