"Berhenti di depan aja, Pra."
Seperti biasa, gadis ini tak pernah mau di antar sampai tepat di depan rumahnya. Entah apa sebab sebenarnya, tapi katanya, rumahnya sulit untuk kendaraan. Walau dengan sepeda motor, Anindita tetap tak mau rumahnya diketahui.
"Beneran, Nin? Sebaiknya sampai rumah aja, ya. Nggak enak, jadinya percuma aja kalau kamu masih mesti jalan kaki."
"Nggak, Prakarsa. Cuma sebentar lagi juga, jaraknya."
"Karena sebentar lagi itu, makanya sekalian sampai rumah."
Anindita menatap Prakarsa sejenak, laki-laki itu terlihat memohon dengan matanya yang seperti berkaca-kaca. Membuat Anindita akhirnya mengangguk menyetujui, setelah sebelumnya menghelah napas beberapa kali, berpikir.
Tidak jauh jaraknya dari tempat Anindita biasanya minta diturunkan, memang masuk ke gang kecil, membuat mobil Pra harus terparkir di lapangan depan gang-nya.
"Itu rumahku, di lantai 3."
Anindita menunjuk rumah susun sederhana 4 tingkat yang menjulang di hadapan mereka. Terlihat seperti rumah susun yang sudah lama umurnya, tapi masih tetap terjaga.
"Yasudah, kamu bisa pulang, Pra."
Prakarsa menatap Anindita tajam, mendengus panjang. Membuat Anindita menautkan alisnya bingung.
"Ayo!" ajak Pra menarik genggaman tangan Anindita, sedangkan yang diajak hanya tersekat menahan langkahnya sembari menautkan alis erat,
"Aku antar sampai rumah. Lagi pula, apa nggak mau nawarin aku minum dulu?"
Anindita terkekeh kecil, menarik tangannya pelan dari genggaman Pra, "Tidak. Jangan modus, ya! Udah sana, pulang!"
Bukannya pulang, Pra malah menarik tangan Anindita kembali. Membuat gadis itu hanya bisa mendesah kecil, pasrah dengan menatap laki-laki di hadapannya jengkel.
Anindita berhenti usai sampai depan pintu rumahnya. Menaikkan alis pada Pra, seakan tahu apa yang di pikirkan Pra,
"Nggak ada minum, Pra. Udah, deh. Pulang sana!"
Pra memanyunkan bibirnya, "Jahat banget, di usir."
Anindita melangkah mendekat, "Mau aku laporin atas pelanggaran privasi?" ujarnya sembari menatap Prakarsa mengntimidasi.
Setelahnya memecahkan tawa melihat ekspresi Pra yang tampak terkejut bukan main.
"Lain kali saja, Pra. Aku hanya takut mengajakmu mampir."
Pra membulatkan matanya sempurna usai berpikir sejenak,
"Ya ampun, Nin! Sumpah demi Tuhan, aku nggak berpikiran aneh-aneh!"
Sekarang malah Anindita yang dibuat panik, menggeleng kencang diikuti gerakan tangannya yang melambai,
"Nggak! Bukan gitu maksudnya, Pra!"
"Aduhhh" Anindita menghelah napas panjang, ragu. Ia menggaruk keningnya berpikir,
"Aku takut, kamu akan tiba-tiba memandangku dengan pandangan berbeda setelah kubiarkan mampir, seperti yang lain, sebelumnya."
Prakarsa tampak bingung, menautkan alis erat, berpikir.
"Baiklah, nggak apa-apa kalau kamu belum siap, Nin. Maaf, memaksamu."
Anindita hanya diam, menunduk dalam, tak berani menatap wajah Prakarsa yang masih setengah kebingungan.
Kemudian ia tertegun dibuatnya, sebab sebuah elusan di puncak kepalanya membuat ia mendongak sempurna. Prakarsa tersenyum hangat untuk Anindita, sebelum melangkah setelah membalikan badannya.

KAMU SEDANG MEMBACA
INEFFABLE
General Fiction*Ineffable ; terlalu indah/luar biasa/ tidak bisa digambarkan dengan kata-kata. Tidak Terlukiskan. "Tidak ada kata sempurna untuk manusia, Pra. Yang terlihat sempurna itulah yang sebenarnya banyak menyimpan rahasia, yang bahkan kadang tidak disadari...