Si Beruntung

16 4 33
                                        

Walau baru dua hari, rasanya sudah lama sekali tidak jumpa dengan Anindita, membuat pemuda dengan asma Prakarsa itu, tidak sabar menanti hari ini.

Rencananya, mau menjemput si sempurna, tapi nyatanya, balasan dari pesannya membuatnya menghelah napas pasrah.

Tawarannya ditolak.

Baiklah, mungkin saja Anindita ada urusan sendiri. Tidak baik juga jika ia terlihat terlalu mencampuri, bukan?

"Padahal udah rela ninggalin pacar kesayangan gue," ucap Prakarsa lirih meratapi kasurnya yang belum ia rapikan usai bangun dan bersiap.

Kelasnya masih dimulai--- notifikasi dari salah satu grub di pesannya membuat ia tertawa kecil.

Untunglah. Tidak sia-sia ia bersiap sepagi ini. Karena tiba-tiba saja ada dosen yang mengganti jam mata kuliahnya.

Prakarsa mengurungkan niatnya untuk membersihkan tempat tidurnya, lalu beranjak dengan sepeda motor kesayangannya.

"Bawa helm dua nggak, ya?" dialognya sendiri, sembari menatap helm berwarna biru di samping helm yang akan dia pakai.

"Nggak usah, deh."

"Tapi, nanti, siapa tahu pulang sama Anindita, kan?"

"Ah, mungkin dia ada urusan lagi kali, ya?"

"Ah, sial."

Akhirnya, tetap saja dia bawa.

Prakarsa terkekeh kecil sendiri, rasanya seperti ojek online dengan membawa helm di jok belakang.

***

Selesai jam mata kuliahnya, sang pemuja si sempurna itu terus meluaskan pandangannya kemana-mana. Siapa tahu, nanti netranya menemukan sosok yang sebenarnya sudah dari awal bangun memenuhi kepalanya.

Senyumnya merekah, saat akhirnya sosok yang diharapkan tertera di depan mata.

"AAANIIINDITAAA!"

Teriaknya membuat sang pemilik nama sedikit terkejut, juga terperangah. Sebab sebenarnya, jarak mereka tak sampai seratus meter. Dasarnya Prakarsa yang terlalu berlebihan mendalami perasaan rindu karena sudah sejak dua hari lalu tidak bertemu.

Dasar anak muda yang sedang jatuh cinta.

Anindita menghampiri, "Ya ampun, Prakarsa. Telingaku masih berfungsi sempurna. Tuh, jadi dilihatin semuanya, kan."

Prakarsa tertawa, "Nggak apa-apa, lah. Namanya juga kangen, ya gimana."

Sekarang malah Anindita yang memecahkan tawa, "Baru dua hari, Pra. Bukan dua tahun."

"Iya," Prakarsa duduk pada bangku di dekatnya, "dua hari nggak ketemu kamu, rasanya seperti dua tahun."

Pra, Pra. Dasar. Ucapannya membuat Anindita neledakkan tawa. Tidak kuat dengan gombalan yang keluar dari mulut Prakarsa. Padahal, sebenarnya, ya itulah yang sebenarnya.

Anindita ikut duduk. Dan, atensi Prakarsa tetap tak lepas dari sang gadis yang berhasil membuatnya percaya bahwa yang tampak sempurna itulah, yang menyimpan rahasia, yang bahkan tidak diketahui oleh dirinya sendiri.

"Bagaimana, Nin? Kemarin, lancar? "

Anindita menyuguhkan semangkuk sabit di bibirnya, "Syukurlah, iya."

"Syukurlah," ikut Prakarsa mengangguk. "Ngomong-ngomong, memangnya urusan apa, Nin? Sepertinya penting sekali." lanjut tanya Prakarsa.

Anindita menatap Prakarsa sesaat, dengan senyum yang tak lepas merekat.

"Bertemu seseorang," jawabnya, "Orang yang kehadirannya begitu spesial di hidupku. Orang yang buat pada akhirnya bisa ikut jatuh bersamaku."

Prakarsa terdiam, mendengar jawaban Anindita yang sedikit masih ambigu. Orang spesial itu....

INEFFABLETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang