"Papa."
"Ya, sayang?"
Aozora berdeham pelan, ia meremat kedua tangannya pertanda gugup. Dengan suara yang teramat lirih, ia memberanikan diri bertanya pada sang Papa. "Boleh gak kalau tahun baru nanti ketemu—𝘋𝘢𝘥𝘥𝘺?"
Tangan Takemichi berhenti menyulam, ia merapikan selimut sulaman setengah jadi miliknya dan beralih menghadap kepada sang anak sepenuhnya.
Ia tersenyum kecil, Takemichi bisa lihat gurat ragu dan takut di kedua bola mata anaknya. Seakan pertanyaannya tadi adalah hal besar yang tidak seharusnya ia tanyakan, "Kakak kangen, ya?"
Yang ditanya justru terdiam, bingung mesti menjawab seperti apa. Dibilang kangen pun sepertinya tidak mungkin, lagian juga sedari awal dirinya tidak pernah bertemu dengan sosok tersebut. Selama tujuh belas tahun dalam hidupnya, ia hanya mendengar cerita tentang pria itu dari bibir Papanya. Itu juga hanya di saat tertentu saja, tidak pernah sekalipun ia bertanya hal mendetail tentang bagaimana rupa sosok 𝘋𝘢𝘥𝘥𝘺-nya itu.
"Apa Kakak harus kangen dulu baru bisa bertemu 𝘋𝘢𝘥𝘥𝘺?"
Takemichi dibuat tertegun, diusapnya surai hitam milik anaknya. Persis seperti milik Manjiro dan juga mata biru itu, terlihat seperti miliknya sekali. Tidak dapat ia pungkiri jika Aozora adalah hasil cintanya bersama Manjiro, tapi ada satu hal yang ia takutkan saat ini. Bukan tentang permintaan anaknya namun, bagaimana reaksi yang akan diberikan Manjiro saat tahu jika Aozora adalah anaknya.
Apa pria itu akan menerimanya dan tidak ada penolakan lagi?
Bagimana jika hal yang sama seperti dulu terjadi lagi di masa ini?
"Papa egois ya, kak?"
Surai hitam itu menggeleng liar, ia menatap sang Papa dengan pandangan tidak percaya. 𝘏𝘦𝘭𝘭, ia sangat jelas tahu alasan kenapa dirinya tidak pernah bertemu dengan orangtua lainnya.
"Sekali lagi Papa ngomong gitu, kita marahan sampai besok. Aku tidur di rumah Om Cipuy aja, biar Papa tidur sendirian."
Takemichi tergelak mendengar ancaman kekanakan yang diberikan oleh putranya, ia tarik tubuh yang lebih besar darinya itu dan memeluknya dengar erat. Ciuman kupu-kupu ia berikan pada surai hitam itu, sembari ia usap penuh sayang dan cinta. Walau dalam hati ia meringis pilu dan mengucap kata seribu maaf, namun itu tidak akan pernah cukup untuk memaafkan ia dan Manjiro.
"Biar Papa tanya pada Om Koko, tunggu kabar darinya. Oke?"
Aozora mengangguk pelan, matanya memandang jauh pada jendela yang dibasahi rintik hujan. Dalam dinginnya malam, ia merasakan hangat bersama sang Papa. Tak apa jika ia tidak bisa bersama dengan orangtua yang lengkap, asal dengan Papa ia bisa jalani hidup sampai tau nanti.
.
.
.
.
.
Peluh membanjiri wajahnya, tangannya gemetar tanda ia tidak siap dengan segala hal yang akan terjadi nanti. Kaki Aozora terasa seperti jeli, yang mana akan hancur jika terlalu ditekan. Sama seperti mentalnya yang sekarang, tadi setelah pulang sekolah, ia nekat memutuskan untuk menghampiri tempat di mana 𝘋𝘢𝘥𝘥𝘺-nya bekerja.Sebenarnya ia bisa saja menunggu kabar dari Om Koko, tapi sudah tiga hari sejak hari di mana Papanya bertanya belum juga ada kabar yang mengembirakan.
Setidaknya, jika memang tidak ingin bertemu dengannya tolong jangan beri ia harapan palsu.
Memantapkan diri menuju gedung kantoran tersebut, Aozora merasa langkah yang ia ambil semakin berat dari waktu ke waktu. Ia menelan ludah susah payah dan baru menyadari jika tenggorokannya sangat kering, ia tidak mengerti cara agar bisa bertemu 𝘋𝘢𝘥𝘥𝘺-nya, tapi niat dan kemuan yang pasti bisa buat mereka bertemu.

KAMU SEDANG MEMBACA
𝐓𝐰𝐨𝐬𝐡𝐨𝐨𝐭; 𝐒𝐞𝐫𝐞𝐧𝐝𝐢𝐩𝐢𝐭𝐲 [MAITAKE]
Romance(N.) Finding something good without looking for it.