O1. Aku
TELUH BILATUNG 13
──────────
"Jangan bohongi dirimu sendiri, utarakan jika memang tak tertahankan."
──────────
SENJAAYAAKU hidup namun mati di dalamnya.
Jika hidup ini memang harus dijalani dengan sangat ikhlas dan sabar, kali ini aku hanya memiliki rasa dendam, cemas, takut, dan amarah.
Apakah itu hanya omong kosong bagi kalian? Kemarilah, lihat diriku! Aku bernapas pun rasanya seperti tercekik setiap harinya, jika memang mati adalah akhir dari segala penyelesaian masalahku, akan kulakukan dari semenjak beberapa tahun silam.
Di sini, akan kuceritakan semuanya agar semua orang tahu bahwa manusia sangat mengerikan jika akal dan hati tidak dikendalikan dengan sangat baik. Inilah aku, inilah hidupku, dan aku benar-benar tidak peduli jika kalian tidak mempercainya.
***
Kisah ini dimulai tepat empat tahun silam, usiaku enam belas tahun.
Siang itu, mungkin sekitar pukul dua posisiku sedang berada di kamar dan berkutat dengan tugas-tugas sekolahku. Berbeda dengan adik-adikku, mereka semua berada di ruang keluarga seperti biasanya menonton televisi dengan sangat fokus.
Saat sedang fokus menulis, ketukan pintu rumah membuatku sedikit terganggu tetapi, siapa yang datang? Dengan malas aku beranjak dari kasurku dengan tangan yang kini sibuk mengikat rambut panjangku.
Disetiap langkahku aku merasa akan ada hal sesuatu, entah mengapa tetapi feelingku seolah berkata seperti itu. Semakin langkahku mendekati pintu rumah, suara ketukan pintu itu semakin terdengar jelas namun, anehnya ketukan itu tidak pada umumnya maksudku terdengar sangat kasar dan tidak sabar.
"Iya, sabar!" teriakku sedikit menyentak.
Aku membuka kasar pintu rumah tersebut, satu orang kini menatapku dengan tajam dan dia terlihat menenteng sebuah botol yang entah isinya apa serta yang menyita perhatianku dia membawa kresek hitam. Otakku langsung berpikir, jangan-jangan dia akan melakukan hal bodoh di sini.
"Zee, lama sekali membuka pintu. Bawaan Ayah sangat banyak, ambil ini!" Orang itu, dengan raut wajah marahnya berseru.
Ya, betul. Orang itu adalah ayahku sendiri. Tanpa banyak basa-basi lagi, dia masuk ke dalam rumahku tanpa permisi dan tanpa aku persilakan.
Aku menghela napas kasar dan membuka pintu selebar-lebarnya, berjaga-jaga bila ada sesuatu hal yang terjadi padaku dan adik-adikku.
"Kemana ibumu, Zee?" tanyanya dengan tatapan mengintimidasi.
"Kerja. Ayah tahu rumah ini dari siapa?"
Aku merutuki diriku sendiri, mengapa pertanyaan itu harus aku lontarkan. Ah, bodoh. Sangat bodoh.
"Kamu kenapa, Zee ... Adik kamu jatuh dari lantai dua gak ada hubungin ayah. Gak akan anggep lagi ayah sebagai ayah kandungmu lagi?"
Aku tertawa mendengar perkataan tersebut, pasalnya Ayahku selama belasan tahun aku hidup benar-benar tidak ada peran apapun di dalamnya. Selalu saja, setiap kami bertemu Ayah lebih banyak mengomel dan marah-marah.
"Kenapa kamu tertawa? Dasar anak tidak—"
Perkataan Ayahku terpotong ketika adik bungsuku—Dylan, mendekat ke arahnya. Ayahku langsung menggendong dan mengajaknya main, lain hal dengan adik keduaku—Zulfa aku melihatnya seperti orang yang benar-benar sangat membenci ayahku.
Ayahku terlihat berjalan ke arah kamar ibuku dengan masih menggendong Dylan. Aku berdiri tepat di belakang tubuh Ayahku, mengikutinya.
"Makan, di kantung kresek hitam itu ada makanan!" Ayahku kembali berseru.
Aku hanya mengangguk, segera membuka kantung kresek. "Fa, Yan, sini makan!"
Adik-adikku pun kini mendekat dan duduk untuk ikut makan bersama, begitupun dengan Dylan ia turun dari pangkuan Ayahku. Berbeda dengan Ayahku, ia terlihat masuk ke dalam kamar Ibu dan kembali keluar, setelah itu ia berjalan ke arah dapur dan masuk ke dalam kamar mandi. Entah apa yang sedang dirinya lakukan.
Aku menghiraukannya dan fokus kembali makan dan menyuapi adik bungsuku, namun entah mengapa perasaanku benar-benar terasa tidak enak.
◦•●◉✿ 𝑀𝐴𝑁𝐺𝐺𝐴 𝐿𝐴𝐽𝐸𝑈𝑁𝐺𝐾𝐸𝑈𝑁 ✿◉●•◦
Tong hilap vote, komen, sareng lebeutkeun kana reading list!!!
KAMU SEDANG MEMBACA
Teluh belatung 13 [On Going]
HorrorBASED ON A TRUE STORY [Follow sebelum Membaca] Dendam, amarah, dan putus asa kini terus menyelimutiku. Entah sampai kapan teror dan penyakit kulit yang tak kunjung ada penawarnya ini akan berakhir. Andai saja, kemampuanku ini benar-benar bisa kupaka...