O2. Sumpah Serapah
TELUH BILATUNG 13
──────────
"Perkataanmu kelak akan berbalik pada dirimu sendiri.──────────
- Zee -
Sore itu, Ayah kembali membuatku semakin membencinya. Bukan tanpa alasan aku membencinya, karena dia memang selalu saja membuat ulah. Sepertinya memang sudah tidak pantas dia aku sebut dengan embel-embel kata Ayah.
Andai saja, takdir bisa kuubah sendiri. Sungguh, aku tidak ingin mempunyai Ayah sepertinya. Air mataku rasanya pun sudah kering dan terbuang cukup sia-sia karena menangisi Ayah seperti dia.
Aku melihat Ayah yang kini terlihat sibuk mengeluarkan perabotan rumah. Katanya, semua perabotan itu peninggalan dari nenek namun, satu hal yang tak kumengerti apakah hal-hal kecil seperti itu pun harus dibawa olehnya? Sungguh, selain pemarah Ayah juga tamak.
"Mau dijualin lagi barangnya, Yah?" kataku dengan nada yang cukup menyentak.
"Kalau bisa, ya, Ayah jual."
Sekali lagi, aku hanya bisa menggelengkan kepalaku saja. "Aku kira barang yang katanya peninggalan nenek bakalan Ayah museumkan atau kalau tidak, ya, dipajang di dinding."
Ayah berdecak, mungkin dia kesal dengan ucapanku yang terbilang sangat lancang kepadanya.
"Ini ajaran ibumu, Zee? Tidak sopan!"
Ayah yang sedari tadi sibuk mengeluarkan dan memilah barang pun melengos dan beranjak meninggalkanku.
"Sudah tua, baperan pula!" kataku dengan perlahan.
***
Malamnya, Ayah dan Ibu kembali bertengkar di depan kami.
"Jadi, ini alasan kamu pengen pisah? Pengen bebas sampai kerja pun kamu di cafe? Sadar, Dyah! Kamu bahkan tahu tempat itu kotor!" Ayah berseru.
Ibu menatap tajam ke arah Ayah, terlihat jelas sorot mata itu menahan tangis dan amarah. Mata Ibu pun terlihat memerah, aku sudah mengerti suasana ini.
"Aa, tanggung jawab nggak ke anak? Mikirin nggak sekolahnya, makannya, bajunya? Dikira aku kerja ngapain di cafe, A? Aku jadi waiters!"
Suara ibu terdengar begitu menyakitkan di telingaku, bahkan kini Ibu sudah menangis dengan masih menatap Ayah dengan penuh emosi, napasnya pun terlihat memburu. Jika Ibu adalah seekor singa mungkin dia akan menerkamnya.
"Wallahu'alam, Aa aja nggak tahu kamu di cafe kerja gimana. Secara cafe, tempat begituan!"
"Begituan apa? Ya Allah, A, pikiranmu bener-bener jelek banget! Dyah segimana nggak ada uang pun nggak akan pernah nurunin harga diri, Dyah!"
Aku menangis ketika mendengar perkataan Ibu. Aku tahu, Ibuku bekerja sangat keras untukku dan juga untuk adik-adikku. Sungguh, semenjak perceraian kedua orang tuaku Ayah benar-benar tidak pernah memberiku atau adik-adikku uang sepeser apapun.
"Harus banget, Yah, bicara kayak gitu ke Ibu?" kataku dengan nada yang kini bergetar.
Ayah menoleh ke arahku. "Zee, kamu harus inget yang bikin keluarga kita berantakan itu pamanmu. Coba, pas keluarga kita bener-bener diujung tanduk mereka bantu nggak?"
Aku menatap sejenak wajah lelah Ibu, lalu beralih menatap ke arah Ayahku. Sungguh, kali ini emosiku benar-benar tidak bisa kubendung lagi. Persetan dengan semuanya, aku membenci Ayah.
"Aa kurang apa, Dyah? Giliran Aa udah nggak punya apa-apa, udah nggak punya siapapun, kamu ninggalin Aa. Bagus, Dyah! Bagus! Aa baru nyadar kalo kamu bener-bener jadi wanita yang haus kekayaan. Ah, iya, seperti ibumu!"
Lagi dan lagi Ayah memasang wajah memelas yang membuatku muak melihatnya. "Stop, Yah! A--ku ..."
"Jangan pernah bawa ibuku dalam permasalahan ini! Ngaca dirimu sendiri jangan salahin dan bawa-bawa orang lain!"
Ibu memotong pembicaraanku. Perdebatan mereka pun kini semakin memanas, bahkan suara tangisan dari adik-adikku pun mereka hiraukan. Aku sudah tidak tahan mendengar teriakan yang benar-benar menggema di seluruh ruangan rumahku, seolah keduanya benar-benar tidak peduli denganku ataupun dengan lingkungan sekitar rumahku.
"Stop, Yah!" Aku berteriak dengan sekuat mungkin. Bahkan, mataku kini tak lepas menatap tajam ke arah Ayah dengan emosi yang kini mulai memenuhi isi kepalaku. "Ayah yang salah, semua salah Ayah! Bukan paman, bukan Ibu yang salah!"
"Ayah nggak pernah mau buat kerja, terus aku sama adek-adek aku makan apa, Yah? Ayah sadar nggak kalo Ibu mati-matian hidupi aku bahkan, Ibu pun harus hidupi Ayah, gitu? Peran ayah dalam keluarga ini, tuh, mana?"
"Udah, cukup, Zee."
Ibu mencoba untuk memberhentikan pembicaraanku, tetapi aku belum puas dengan apa yang kubicarakan kepada Ayah. Belasan tahun aku hidup, Ayah hanya memberiku rasa sakit saja.
"Udah pinter ngomong kamu, Zee." Ayah menoleh ke arah Ibu. "Lihat didikanmu, Dyah. Anakmu mau jadi apa ke depannya? Gelandangan, atau jadi wanita sepertimu, hah?"
Aku tidak terima. "Bukannya ini didikan Ayah sendiri? Inget, Yah, bahkan Ayah bentak nenek sampai Nenek meninggal karena itu ulah Ayah sendiri. Dengan lantang Ayah bilang Ibu didik aku jadi seperti ini? Nggak ngaca, Yah. Apa masih pantes aku panggil dengan sebutan Ayah, hah?"
Waktu seolah melambat, aku tersentak dengan apa yang ayah lakukan kepadaku. Sungguh, Ayah menamparku?
Ibu memelukku dengan erat dengan isakan tangisnya yang menggema. "Maafin, Ibu, Zee. Maaf!"
Aku menangis ketika mendengar perkataan yang dilontarkan dari mulut Ibu, dadaku pun terasa sesak karena tidak pernah aku ditampar oleh keluargaku sendiri, apalagi Ayah kandungku. Kali ini, rasa sakit pada pipiku tidak sebanding dengan rasa sakit pada hatiku, aku benar-benar membenci Ayah.
"Jangan terus dibela anakmu, Dyah!" Ayah berteriak dengan penuh emosi.
"Pergi!" Ibu pun berteriak bahkan, kini melepas pelukan dan menarik lengan Ayah dengan sekuat tenaganya.
Ayah menghempaskan cekalan Ibu. "Camkan ini, Dyah! Kamu dan anak-anakmu akan hidup sengsara dan hidup seperti gembel."
Ayah menoleh ke arahku. "Dan kamu, Zeenia Claryssa hidupmu akan penuh dengan kesialan. Kamu akan benar-benar hidup seperti anak-anak dikolong jembatan karena udah berani pada ayahmu sendiri!"
Sumpah serapah keluar dari mulut Ayah, ia melontarkan semuanya dengan yakin, seolah ia adalah Tuhan yang bisa berkehendak. Aku tidak peduli. Sungguh.
"Dyah, hirup maneh mah kahareupna kahandap moal akaran kaluhur ge moal sirungan!"
◦•●◉✿ 𝑀𝐴𝑁𝐺𝐺𝐴 𝐿𝐴𝐽𝐸𝑈𝑁𝐺𝐾𝐸𝑈𝑁 ✿◉●•◦
Tong hilap vote, komen, sareng lebeutkeun kana reading list!!!
KAMU SEDANG MEMBACA
Teluh belatung 13 [On Going]
HororBASED ON A TRUE STORY [Follow sebelum Membaca] Dendam, amarah, dan putus asa kini terus menyelimutiku. Entah sampai kapan teror dan penyakit kulit yang tak kunjung ada penawarnya ini akan berakhir. Andai saja, kemampuanku ini benar-benar bisa kupaka...