Perusahaan baruku bergerak di bidang pengembangan industri hotel dan resort, tetapi bukan berarti aku, sebagai orang yang lebih sering berkutat dalam dunia teknik informatika, tidak dapat melamar dan mendapatkan suatu posisi dalam perusahaan ini. Untuk perusahaan-perusahaan besar, penggunaan teknologi memang kerap menjadi salah satu poin vital untuk terus bertahan. Informasi-informasi dari dunia maya mampu bergerak lebih cepat daripada informasi yang diedarkan dari mulut ke mulut. Bahkan, mungkin mulai merambah ke usaha-usaha kecil, biarpun tidak sampai memerlukan seorang ahli untuk dipekerjakan.
Lowongan kudapatkan setelah memang aku ingin berganti perusahaan. Bukan karena sebuah keterpaksaan, tetapi karena aku memang menginginkan suasana kerja yang baru. Bukan juga karena suasana di lingkungan kerjaku yang lama sangat buruk sampai-sampai aku akan muntah. Namun, siapa yang akan menyangkal bahwa tawaran gaji yang lebih besar tak mungkin menjatuhkan air liurnya?
Aku tidak mengambil resiko. Aku resign setelah yakin perusahaan baruku ini menerima lamaranku. Tidak memiliki niat untuk sombong, tapi mereka dengan mudah menerimaku. Cukup terkejut sebenarnya, apalagi, menurut pengakuan mereka, tidak ada sama sekali pegawai yang berkompeten dalam pengembangan API sepertiku.
Aku tahu, tersedianya prebuilt API di luar sana yang dapat memang mampu membatasi perusahaan untuk tidak merekrut orang-orang yang piawai dalam kustomisasi API. Namun kalau begitu, kenapa mereka tertarik dengan tawaran keahlian yang kumiliki?
Pertanyaanku terjawab setelah secara tak sopan aku bertanya. Menurut anggota HRD yang mewawancaraiku, pegawai sebelumnya, dengan fokus jobdesc-ku sekarang, kabur dan hilang dari tanggung jawab. Aku ingin bertanya kenapa mereka tak memiliki pegawai lain dengan keahlian yang sama. Namun, hei, aku baru bekerja di sini. Aku tak siap untuk kehilangan pekerjaan hanya karena terlalu banyak ingin tahu. Lagipula mungkin isinya tak begitu kompleks sampai-sampai membutuhkan sebuah tim untuk fokus ke dalam pekerjaan itu.
Tentu, hari-hari pertamaku tidaklah mudah. Kuhabiskan banyak waktu untuk mempelajari, memahami, dan mencari tahu pekerjaan apa saja yang telah dilakukan, agar tak kuhabiskan keringat dua kali lebih banyak untuk melakukan pekerjaan yang sama. Kalau kau pernah menyontek jawaban teman untuk menyelesaikan tugasmu kurang dari semalam, maka rasa yang serupa bisa kau rasakan. Oh, tunggu, pengandaian itu kurang tepat. Kalau kau pernah menyontek jawaban teman untuk menyelesaikan tugasmu,dan kau tidak pernah tahu apa soal yang diberikan, serta temanmu itu tidak menuliskan ulang soalnya, maka rasa yang serupa bisa kau rasakan.
Aku memperhatikan setiap isinya, sedetail mungkin. Seluruh pekerjaan yang dilakukan pegawai sebelumnya mungkin terlihat biasa saja untuk kebanyakan orang. Namun, astaga, aku hampir menutup mulut ketika melihatnya. Beberapa bagian memang tak bermasalah, tetapi aku menemukan banyak fungsi tak berguna yang bahkan isinya tak dapat kumengerti. Bloating adalah salah satu kata haram yang tak pernah boleh kau ciptakan sebagai seorang developer, dan aku melihat banyak baris yang menyebabkan hal itu.
Aku menggelengkan kepala. Semakin lama, semakin tak dapat kuraup logika otakku. Berbaris-baris kode hanya diisi oleh tulisan tanpa makna. Dan selalu saja, di antaranya, disisipi oleh kode optimal yang memang seharusnya ada di sana, seolah-olah si pegawai yang dulu menggunakan fitur copy paste, mencari kode yang ia butuhkan di internet, dan membiarkan semuanya begitu saja, asalkan program yang ia buat berjalan sebagaimana mestinya.
Ya, walaupun memang dapat bekerja, tetapi pekerjaannya tidak maksimal. Maksudku, kau juga bisa mengalikan dua dan tiga dengan transformasi Fourier dimensi 1729, tapi aku yakin orang-orang lebih memilih untuk menjumlahkan tiga sebanyak dua kali.
Kurasa pekerjaanku akan menumpuk cukup banyak.
Aku tidak menaruh perhatian lebih dari sekadar menyalahkan si pegawai sebelumnya, siapapun itu, yang seenaknya saja kabur dan meninggalkan hasil pekerjaan yang mengerikan seperti ini. Namun, ketika aku melihat lebih jauh, aku menemukan pola yang cukup mengesankan. Kalau kau mendapatkan nilai lima puluh pada suatu ujian pilihan ganda, mungkin hal itu akan terdengar biasa. Namun, kalau kau mendapatkan nilai lima puluh dengan membuat pola jawaban benar, salah, benar, salah, benar, salah, dan seterusnya secara bergantian, apa pendapatmu? Aneh, bukan?
Sama seperti yang kutemukan dalam pekerjaan ini.
Pekerjaannya semrawut, kuakui hal itu, tetapi kesemrawutan itu tertata dengan rapi. Sedikit kontradiktif, tetapi kuharap penjabaranku itu cukup jelas.
Kalau kau hanya menyalin kode dari internet, kurasa akan lebih masuk akal jika aku menemukan satu atau dua bagian penuh yang berisi kode tak efektif. Namun, kenyataannya tidak seperti itu.
Pekerjaan ini buruk, tapi tertata rapi. Kalaupun ingin kusebut sebagai sebuah kebetulan, aku memiliki pengalaman yang sama, ketika aku masih sekolah dulu, membuat program tak efektif, berakibat pada ukuran file yang besar. Aku tak pernah bisa membuat baris buruk dan baik secara berselang-seling. Aku tak bisa menganggap ini sebagai sebuah kebetulan.
Pekerjaanku yang seharusnya hanya sekadar melanjutkan pekerjaan sebelumnya kini bercabang: aku ingin mencari tahu kenapa si pegawai sebelumnya melakukan hal ini.
Tak adanya petunjuk membuat pertanyaanku itu tak dapat dijawab dengan mudah. Aku menanyakan berbagai hal mengenai si pegawai sebelumnya itu pada rekan-rekan kerjaku yang lain. Namun, mereka juga tak tahu menahu. Selain menurut mereka orang itu dapat diandalkan dan selalu mampu meng-handle situasi seorang diri, mereka juga terkejut ketika mendengar kabar bahwa ia kabur dari perusahaan.
Sekarang aku semakin yakin bahwa bloating-an yang ia lakukan bukanlah karena tak berkompeten, melainkan memang sengaja dilakukan.
Aku tidak menyerah, dan untungnya tidak menyerah, ketika sadar bahwa si pegawai itu menyisipkan pola lain yang benar-benar kabur dari pandangan mata. Sangat sederhana. Hanya masalah huruf kapital. Namun, dalam penulisan sensitif, biasanya hal itu tak pernah kuperhatikan karena mengira penggunaan huruf kapital itu hanyalah kebiasaan si pegawai sebelumnya.
Cukup cerdas, apalagi kurasa orang-orang yang tak mengerti kode ini tak akan menarik perhatian pada huruf-huruf kapital itu. Huruf-huruf kapital itu hanya ada pada fungsi tak berguna yang tak pernah digunakan sama sekali di dalam kode.
Aku mengambil masing-masing huruf kapital, menyusunnya satu persatu dari atas. Deretan huruf tak beraturan muncul di hadapanku. Tak bermakna, setidaknya sampai saat ini. Namun, aku juga tahu bahwa ia menyisipkan satu fungsi tak berguna terakhir di dalam kodenya. Fungsi untuk mengenkripsi karakter. Awalnya aku pikir ia membuatnya untuk masalah password, tapi aku tak menemukan satu barispun yang menghubungkan fungsi itu dengan setidaknya satu masalah password.
Aku membuat algoritma dekripsinya. Tidak sesulit brute force karena aku sudah tahu algoritma enkripsinya. Setidaknya tak menghabiskan waktu hingga berbulan-bulan hanya karena keingintahuan.
Aku berhasil memecahkannya.
Untaian kalimat, dalam bahasa Indonesia, tanpa spasi. Semuanya terangkum ke dalam deretan huruf ORANGORANGPERUSAHAANINIINGINMEMBUNUHKU.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pesan Kematian
Mystery / Thriller[Selesai di Google Playbook] Ketika mayat pegawai lama ditemukan, sang pegawai baru berusaha mengungkapkan kematiannya melalui pesan kematian yang dituliskan secara sembunyi-sembunyi oleh si pegawai lama. Dengan nyawa sebagai taruhannya.